Minggu, 03 Juni 2012

postheadericon Fiqh 1 Bab Cerai

*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap mencantumkan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku

CERAI

  1. PENGERTIAN CERAI ATAU TALAK
Talak diambil dari kata itlak, artinya melepaskan, atau meninggalkan. Dalam istilah agama, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan pernikahan.
Mengutip pendapat yang dikemukan Abdurrahman al-jaziri bahwa makna talak secara bahasa adalah melepaskan ikatan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangakan secara istilah al-jaziri mengatakan :
ازالة النّكاح رفع العقد بحيث لا تحلّ له الزّوجة بعد ذلك.
Sedangakan Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Dari definisi diatas jelaslah bahwa telak merupakan sebuah lembagai yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Disamping itu lembaga talak dalam Islam juga menunjukan bahwa konsep perkawinan dalam Islam bukanlah sebuah sakramen seperti yang terdapat dalam agama Hindu dan Budha, yakni sebuah perkawinan tidak bisa diputuskan. Talak dalam Islam merupakan alternatif terakhir sebagai upaya solutif terhadap persolan rumah tangga sehingga keberadaannya tidak lepas dari persoalan-persolan yang melatar belakanginya. Seperti percekcokan yang terjadi terus menerus, adanya nusyuz baiak yang dilakukan oleh isteri maupun suami Adapun beberapa unsur atau rukun yang harus dipenuhi dalam talak sebagaimana dikemukan Abdurrahman al Jaziri diantaranya, adanya suami dan isteri, adanya sighat talak, dan adanya niat atau maksud untuk menceraikannya.

  1. Talaq dalam Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Lahirnya regulasi perkawinan dalam bentuk undang-undang dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) tidak lain adalah untuk mengatur ketertiban, manjamin dan menjaga hak-hak kedua belah pihak agar tidak dirampas. Oleh karena itu perceraian bukanlah persolan Indvidual Affair semata akan tetapi sudah pula masuk dalam wilayah kewenangan Negara sebagai pengaturnya. Dalam perspektif undang-undang sebagaimana dijelaskan dalam UU No. Tahun 1974 pasal 38 dinyatakan :
Perkawinan dapat putus karena 3 sebab, yaitu:
a. kematian
b. perceraian
c. atas keputusan Pengadilan.
Redaksi pasal tersebut sama dengan redaksi pasal yang ada di Kompilasi Hukum Islam pasal 113. Apabila merujuk pada UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, maka perceraian hanya bisa dilakukan di muka pengadilan. Sebagaimana bunyi pasal UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan pasal 39 dinyatakan :
  1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an bahwa suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
  3. Tata cara perceraian di depan pengadilam diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Kemudian pada pasal 115 KHI dinyatakan :
Perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Dari dua redaksi pasal tersebut diatas dapat diketahui adanya perbedaan antara UU No.1 Tahun 1974 dengan KHI. Dalam KHI dinyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Kedua istilah tersebut tidak terdapat dalam UU Perkawinan. Dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, ketentuan mengenai perceraian juga diatur dalam pasal 66 ayat (1) :
Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan siding guna penyaksian ikrar talak.
Selanjutnya menyangkut saat mulai terjadinya perceraian karena talak dijelaskan didalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 17 sebagai berikut :
Sesaat setelah dilakukan siding pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 16. Ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Pada pasal 18 dinyatakan :
Perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan siding Pengadilan. Dalam hal ini KHI nampaknya sama dalam memandang saat awal perhitungan terjadinya talak seperti terdapat pada pasal 123 :
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.

  1. Macam-Macam Talak
Ditinjau dari segi wakttu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi tigamacam sebagai berikut:
  1. Talak sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.Perceraian dikatakan talak sunni bila memenuhi empat syarat:
  1. Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli.
  2. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak.
  3. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci.
  4. Suami tidak pernah dikumpuli istri selama dalam masa suci dalam manatalak itu dijatuhkan.
  1. Talak Bid’I, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengantuntunan sunnah. Yang termasuk talak Bid’I:
  1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haidh.
  2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah dikumpuli oleh suami.
  1. Talak Sunni Wal Bid’I, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak Sunni maupun talak Bid’I.
  1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli.
  2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haidh/telah lepashaidh.
  3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaittu:
  1. Talak Sahih, yaitu talak yang diucapkan dengan jelas sehingga ucapantersebut tidak dapat diartikan lain. Contoh: “aku talak engkau” atau “akuceraikan engkau”.
  2. Talak Inayah, yaitu ucapan talak yang tidak jelas atau melalui sindiran.Contoh: “pulanglah kamu”.Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
  1. Talak Raj’I, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernahdikumpuli bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertamakali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Firman Allah dalam surat Al-Thalak ayat 1:

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.

  1. Talak Ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya, unttuk mengembalikan bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syaratnya. Talak ba’in ada dua macam:
  1. Talak Ba’in Sughra, yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akadnikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
  2. Talak Ba’in Qubra, yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak initidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali kecuali bekas istrinyatelah menikah dengan orang lain.Ditinjau dari cara suami menyampaikan talak terhadap istrinnya, talak ada beberapa macam:
  1. Talak dengan ucapan.
  2. Talak dengan tulisan.
  3. Talak dengan isyarat.
  4. Talak dengan putusan.
Ditinjau dari masa berlakunya talak dapat berlaku seketika, artinya tidak bergantung pada waktu atau keadaan tertentu.Hukum Talak Berdasarkan bentuk-bentuk peristiwa talak yang tersebut diatas, maka talak dapat dibedakan ketetapan hukumnya yang dinamakan hukum talak:
  1. Talak wajib, yaitu wajib hukumnya melakukan talak kalau konflik antara suami istri terus menerus terjadi dan tidak dapat dipertemukan lagi baik oleh keluarga maupun oleh Pengadilan Agama.
  2. Talak haram, yaitu haram hukumnya bagi seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri tanpa sebab yang sah.
  3. Talak mubah, yaitu menceraikan istri tidak dianjurkan, tidak diwajibkan, atau tidak diharamkan asalkan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan akibat buruk bagi para pihak setelah terjadi perceraian itu.
  4. Talak sunnah, yaitu sunnah hukumya menceraikan istri kalau ia tidak mau merubah kebiasaan buruknya semasa belum kawin atau tidak mau menjaga harga diri sebagai seorang istri.
  5. Talak haram ringan, yaitu seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri dalam keadaan menstruasi yang sebelumnya tidak pernah digauli.

  1. Kewajiban Setelah Perceraian
Setelah proses perceeraian selesai, tidak otomatis maka hak dan kewajibanantara masing-massing mantan suami istri tersebut menjadi hilang. Ada beberapa hak dan kewajiban yang masih harus dilakukan oleh keduanya walaupun telah bercerai.Hal ini berdasarkan ketentuan yang tertulis dalam Al-quran dan sunnah yang mana Al-Quran dan sunnah lebih banyak menyebut keadaan istri (bagaimana para aktifis gender?).Diantara hak dan kewajiban bagi mantan suami setelah bercerai adalah memberikan nafkah sandang dan pangan bagi mantan istrinya selama dalam iddah. Jadi bagi istri yang belum dicampuri tidak punya hak untuk memperoleh nafkah tersebut karena ia juga tidak punya masa iddah. Hal ini hanya berlaku bagi istri yang telah dicampuridan hanya menyesuaikan dengan keadaan istri tersebut. Bila istri sedang hamil maka memberi nafkah sampai ia melahirkan (sesuai dengan masa iddahnya), jika istri tersebut sedang suci maka selama tiga kali suci –tiga kali masa menstruasi- (sesuai dengan masa iddahnya).

  1. Implikasi dan Dampak Bagi Individu Dan Sosial Positif Dan Negatif
Perkawinan adalah keadaan yang menyenangkan dimana dua insanmembangun mahligai rumah tangga demi melanjutkan keturunannya. Kehidupanyang baru bagi orang yang baru melakukan perkawinan tentunya akan menemui berbagai masalah yang harus dihadapi dan diatasi bersama. Sifat atau karakter masing-masing (suami atau istri) harus dapat disesuaikan demi kelancaran perjalanan rumah tangga. Benturan dari berbagai masalah yang tak kunjung habis tentunya tidak semua dapat diatasi bersama, bahkan tak jarang suami ataupun istri memaksakan kehendaknya (egois) sehingga timbullah masalah-masalah baru yang berujung pada penyelesaian akhir yaitu cerai.Islam pada dasarnya membenci adanya "cerai" karena itu berarti manusia tidak dapat berdamai dan hidup rukun. Akan tetapi dalam kehidupan manusia selalusaja menemukan masalah-masalah yang terkadang manusianya tidak dapat atau tidak mampu memyelesaikan masalah tersebut. Islam memaknai cerai sebagai jalan terbaik bagi kedua pasangan suami istri ketika memang tidak ada jalan lain, jika terdapat jalan yang lebih atau dipandang lebih layak dari cerai maka hendaklah cerai itudicegah. Hal ini dikemukakan karena mengingat banyaknya kekhawatiran yangdirasakan oleh si pelaku cerai dan keadan masyarakat disekitarnya.Kasus perceraian yang sering kita dengar dari TV (dalam hal ini artis-artis), mendengar berita itu saja kita sudah beranggapan "yang tidak-tidak", mengingat status janda atau pun duda sangatlah rawan akan pembicaraan orang-orang. Beban psikologis juga dirasakan pada anak-anak mereka (apabila si pelaku cerai mempunyai anak) karena tidak menutup kemungkinan ia akan kehilangan kasih sayang, diejek teman-temannya dan itu akan lebih mungkin akan menjerumuskan diri si anak pada hal-hal yang menyesatkan.


Kesimpulan 
 
Prinsip dasar pernikahan dalam Islam adalah menikahi wanita untuk menjadi istrinya sepanjang hidup. Apabila pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan telah berlangsung maka babak selanjutnya adalah peran kedua belah pihak untuk menjawab berbagai tantangan dan problem rumah tangga, karena rumah tangga tidak akan sepi dari masalah. Seorang suami tidak dibolehkan menjadikan talak sebagai senjata pamungkas untuk mengancam, menekan dan memprovokasi istrinya, sedikit-sedikit bilang, “Awas kamu akan kuceraikan.” Ini selain manyakiti batin istri juga akan menambah keretakan rumah tangga dan menjauhkan hati suami dan istri. Namun hendaknya talak merupakan akhir dari pemecahan suatu masalah setelah berbagai cara yang ditempuh menemui jalan buntu dan diperkirakan jika terus dipertahankan maka keadaan rumah tangga semakin memburuk



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, slamet, aminudin, FIQIH MUNAKAHAT, pustaka setia. Bandung

READ MORE - Fiqh 1 Bab Cerai

postheadericon Fiqh 1 Bab Shaf dalam Shalat Berjamaah

*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku

SHAF DALAM SHALAT BERJAMAAH


  1. Pengertian shaf
Shaf, adalah barisan kaum muslimin dalam sholat berjamaah. Salah satu kesempurnaan sholat berjama’ah adalah tergantung pada kesempurnaan shaf. Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat menganjurkan serta menjaga kerapian dan kesempurnaan shaf. Sedemikian pentingnya hal ini sehingga beliau tidak akan memulai sholat jama’ah jika shaf-shaf para shahabat Radhiyallahu ‘Anhu belum tersusun rapi terlebih dahulu.

Dalam sebuah hadis dari Bara’ bin Azib Ra., dia telah berkata: “Rasulullah biasa meneliti celah-celah shaf dari satu sisi ke sisi lainnya. Beliau mengusap dada-dada dan bahu-bahu kami seraya bersabda: “Janganlah kamu berselisih karena hal itu dapat menyebabkan hati kamu berselisih juga. Dan beliau bersabda lagi: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla dan para malaikat-Nya memberikan rahmat kepada shaf-shaf yang paling depan” (HR. Imam Abu Dawud).

Dari keterangan hadis di atas teranglah bagi kita bahwa merapikan shaf itu dengan merapatkan bahu, yakni menghilangkan celah-celah antara bahu dengan bahu, sehingga rapat satu dengan yang lainnya seumpama tembok yang kokoh.
Hari ini, ada segelintir umat Islam yang berfaham bahwa merapikan shaf adalah dengan merapatkan kaki-kaki, dan bukan bahu. Untuk itu, mereka mengangkangkan kaki-kaki mereka lebar-lebar agar mata kaki mereka merapat satu dengan yang lainnya. Hal ini tidak pernah diajarkan nabi kepada kita. Tidak ada dikatakan di dalam hadis bahwa sebelum memulai sholat berjama’ah, nabi memeriksa shaf-shaf seraya mengusap-usap tumit dan mata kaki para shahabat. Tetapi yang ada di dalam hadis-hadis adalah nabi mengusap dan meratakan bahu serta dada para shahabat, bukan tumit dan bukan pula mata kaki!
Dalam kenyataannya, jika posisi kaki yang dilebarkan, kemudian dirapatkan antara sesama mata kaki, maka menjadi rengganglah bahu-bahu para jama’ah antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian menjadi berselisihlah para individu yang ada dalam shaf-shaf itu satu dengan lainnya. Hal ini justru sangat dilarang oleh nabi Muhammad junjungan kita itu.

Dalam satu hadis yang lain Rasulullah bersabda: “Luruskanlah shaf-shaf kamu dan sejajarkanlah bahu-bahu kamu, bersikap lemah lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kamu, serta rapatkanlah celah-celah yang kosong, karena sesungguhnya syaitan menyusup di antara kamu seperti seekor anak kambing kecil” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Keterangan hadis di atas sangat nyata bagi kita bahwa menyempurnakan shaf adalah dengan meluruskan dan merapatkan bahu serta menutup celah-celah yang terbuka. Para ulama mengajarkan kepada kita agar shaf menjadi rapat dan sempurna, maka kaki tidak boleh dibuka lebar-lebar, karena dapat menyebabkan renggangnya bahu. Yang paling baik adalah dengan membuka kaki sekitar satu jengkal saja. Dengan demikian lebar kaki akan sejajar dengan lebar bahu, sehingga dengan demikian menjadi rapatlah kaki-kaki jama'ah sebagaimana rapatnya bahu-bahu mereka.

Imam ‘Aini dalam kitabnya Sarah Sunan Abu Dawud, Jilid III, halaman 217, menjelaskan sabda nabi: “Bersikap lemah lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kamu”. Maksudnya adalah bila seseorang datang dan masuk ke dalam shaf sebaiknya masing-masing orang melembutkan dan melenturkan kedua bahunya sehingga orang yang baru masuk ke dalam shaf tersebut dapat dengan mudah dan nyaman mengikuti sholat berjama'ah.
Keterangan di atas membuktikan bahwa sholat berjama'ah itu dilakukan dengan lembut dan lentur tidak berdiri kokoh kaku dan tegap seperti robot besi. Perilaku sholat seperti ini buruk adanya. Dan, tidak dapat dipungkiri bahwa akhir-akhir ini sudah terlihat banyak juga orang yang sholat seperti robot itu, tegak, kaku, keras dengan kaki mengangkang lebar. Semoga Allah menunjuki mereka……. Amin…….!

Selanjutnya, ada banyak hadis nabi yang memerintahkan kita untuk merebut shaf pertama karena besarnya rahmat Allah yang tercurah pada shaf pertama dalam sholat berjama'ah. Di antaranya hadis dari Irbath bin Syariah Radhiyallahu ‘Anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa berdoa memohonkan ampun untuk shaf pertama sebanyak tiga kali, dan untuk shaf kedua, beliau memohonkan ampun sebanyak satu kali saja(HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Thabrani).
Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf yang pertama dan shaf yang terburuk bagi laki-laki adalah yang terakhir, sedangkan bagi perempuan shaf yang terbaik adalah shaf yang terakhir, dan yang paling buruk bagi perempuan adalah shaf yang pertama.” (H.R. Muslim, Bab Meluruskan Shaf, nomor 985).
Dalam sholat berjamaah sangat penting untuk menjaga agar shaf tidak terputus. Dengan demikian jika ada celah yang merenggang ketika sholat berjama’ah sedang berlangsung, disunnahkan bagi kita untuk bergeser sedikit untuk merapatkan shaf yang merenggang itu. Bergeser merapatkan shaf adalah mengarah ke tengah tempat imam berdiri. Orang yang melakukan amalan untuk menutup celah yang muncul saat shalat berjama'ah akan diberi pahala dan diberi rahmat kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sesuai dengan sabda nabi: “Barangsiapa mengisi celah dalam shaf sholat berjama'ah, maka diampuni Allah dosa-dosanya”. (HR. Al Bazar, Hasan Shohih, Majmu’ Azzawaid, Jilid II, Halaman 251).
Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menyambung shaf maka Allah akan menyambung hubungan kasih sayang kepadanya dan barangsiapa memutuskan shaf, maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya” (HR. Abu Dawud)
\Di dalam hadis lain lagi dari Abdullah bin Umar dia berkata Rasulullah telah bersabda: “Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang paling lembut bahunya dalam sholat berjamaah. Dan tidak ada langkah yang lebih besar pahalanya dari pada langkah yang diayunkan seorang lelaki menuju celah yang terdapat pada sebuah shaf, kemudian orang itu menutup celah tersebut” (HR. Al Bazar dan Thabrani, Hasan)
Hadis di atas menjelaskan betapa dalam sholat berjama'ah umat Islam diperintahkan oleh nabi untuk melembutkan bahunya, bukan sebaliknya malah mengeraskan bahu dan mengokohkan kaki lebar-lebar seperti robot besi yang kaku. Hadis di atas juga menjelaskan boleh melangkah sedikit untuk menutup celah yang muncul dalam shaf sholat berjamaah. Imam Syafi’i masih mengizinkan menggerakkan anggota tubuh yang besar asal jangan sampai tiga kali berturut-turut. Menggerakkan dengan sengaja anggota tubuh yang besar tiga kali berturut-turut dapat membatalkan sholat.
Adapun orang yang batal wudhu’ dan sholatnya karena berhadas kecil ketika sedang mengerjakan sholat berjamaah, disunatkan duduk pada tempat sholatnya dan tidak menerjang shaf-shaf kaum muslimin, yang sedang berjama’ah bersamanya. Orang itu tidak dihitung memutuskan shaf walau terhenti dari sholatnya dan duduk di tempat sholatnya itu, sementara jama’ah lain terus menyelesaikan sholat mereka. Alam hal ini, seolah-olah orang yang batal sholatnya itu dianggap sebagai tiang dalam masjid tersebut. Bagaimanapun seorang muslim yang berhadas kecil tidaklah najis keberadaannya.
Selanjutnya jika sholat berjama'ah telah selesai dilaksanakan, maka orang yang berhadas itu dapat segera berwudhu’ lagi, untuk kemudian mengulangi sholatnya yang batal tadi secara sendirian. Adapun pahala yang akan diterimanya tetap sebesar 27 derajat karena dia dianggap tetap dalam jamaah, walaupun pada kenyataannya dia terluput dari sholat jama'ahnya sebab hadas kecil yang menerpa dirinya itu. Hal ini telah pun ditegaskan oleh nabi dalam beberapa hadis yang shohih.

  1. Menyempurnakan shaf mencakup beberapa hal, diantaranya :
1.Menyempurnakan shaf yang paling depan terlebih dahulu kemudian shaf berikutnya dan seterusnya.
2.Meluruskan shaf yang tidak diperbolehkan bagi setiap makmum untuk lebih maju atau lebih mundur dibanding makmum lainnya.
3 Merapatkan shaf dengan merapatkan pundak dan mata kaki makmum dengan pundak dan mata kaki makmum lainnya.
4.Mendekatkan setiap barisan shaf dengan barisan shaf yang ada di depannya sejarak sujudnya seseorang dengan sempurna
Beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyebutkan perintah dan keutamaan menyempurnakan shaf. Di sisi lain, juga menyebutkan larangan dan ancaman terhadap orang yang mengabaikan shaf dalam shalat berjamaah. Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menerangkan tata cara (kaifiyat) shaf dalam shalat berjamaah. Sungguh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

  1. Perintah dan Keutamaan Menyempurnakan Shaf
1.Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):
Luruskan shaf- shaf kalian karena meluruskan shaf itu termasuk dari menegakkan shalat.”
[H.R Al Bukhari].
2.Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):“…dan tegakkanlah shaf dalam shalat kalian karena menegakkan shaf itu termasuk dari kebaikan shalat.” [H.R Al Bukhari dan Muslim].
Dua hadits tersebut menyebutkan tentang perintah sedangkan hukum asal perintah Allah atau Rasul-Nya adalah wajib. Wallahu a’lam
3.Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):“Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat untuk orang- orang yang menyambung shaf dan barangsiapa menutup celah pada shaf (shalat) maka Allah akan angkat derajat orang tersebut.”  [H.R Ibnu Majah dan asy-Syaikh Al Albani menshahihkannya dengan beberapa riwayat pendukung lainnya di dalam ash-Shahihah 2532].
Makna shalawat dari Allah adalah pujian Allah terhadap hamba-Nya di hadapan para malaikat. Sedangkan shalawat dari malaikat adalah permohonan ampunan dan rahmat dari para malaikat kepada Allah untuk hamba tersebut.
4.Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):“Barangsiapa menutup celah pada shaf (shalat) maka Allah akan membuatkan rumah baginya di surga dan Allah akan angkat derajatnya.” [Ash-Shahihah 1892].
5.Hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah Shallallahu ‘aalihi Wasallam bersabda (artinya): “…dan tidaklah ada sebuah langkah kaki yang lebih besar pahalanya daripada langkah kaki seseorang menuju celah pada shaf (shalat) lalu ia menutupnya.” [Ash-Shahihah 2533].
Subhanallah ! Keutamaan- keutamaan yang sangat agung dan tidak dapat dibandingkan dengan harta sebanyak apa pun yang kita miliki, untuk sebuah amal shalih yang sangat mudah kita lakukan. Semoga keimanan mendorong kita untuk melakukannya dengan ijin Allah.

  1. Larangan dan Ancaman Bila Tidak Menyempurnakan Shaf.
1.Hadits ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Luruskanlah (shaf) kalian dan janganlah kalian saling menyimpang, niscaya kalbu kalian akan saling menyimpang pula..” [H.R Muslim].
Sungguh ! Penyimpangan di dalam bentuk tidak rapat atau tidak lurusnya shaf akan menimbulkan penyimpangan dalam kalbu orang yang melakukan penyimpangan tersebut.
2.Hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Barangsiapa menyambung shaf maka Allah akan menyambung (kebaikan) nya dan barangsiapa memutuskan shaf maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memutus (kebaikan) nya.” H.R An-Nasa’i. Lihat Abu Dawud dan dishahihkan asy-Syaikh Al Albani].
Ancaman yang disebutkan dua hadits di atas ini sangat jelas menunjukkan bahwa tidak menyempurnakan shaf dalam bentuk tidak merapatkan atau meluruskan shaf adalah perkara yang diharamkan, dapat mengurangi kesempurnaan shalat. Wallahul Musta’an !

  1. FaedahDari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau mendatangi kota Madinah lalu ditanya:“Apa yang anda ingkari dari amalan kami sejak hari anda masih bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam ?” Maka Anas menjawab :”Tidaklah aku mengingkari sesuatu pun melainkan kalian sudah tidak menegakkan shaf- shaf (shalat).”
    [Al Bukhari]
Apabila pengingkaran itu telah terjadi di masa para tabi’in, tidak lama sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, lalu bagaimana jika Anas melihat secara langsung sebagian manusia yang tidak menyempurnakan shaf di masa sekarang ?!
Seorang Imam Dituntut Untuk Mengingatkan/ Meminta Para Makmum Agar Menyempurnakan Shaf
An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam meluruskan shaf- shaf kami, seakan- akan beliau meluruskan anak- anak panah, sampai beliau melihat kami telah mengerti maksud beliau. Lalu pada suatu hari, beliau keluar memimpin shalat dan berdiri bertakbir. Ternyata, beliau melihat seseorang yang dadanya lebih maju melebihi barisan shaf. Maka beliau menegur (artinya): “Wahai hamba-hamba Allah ! Demi Allah, hendaknya kalian benar- benar meluruskan shaf- shaf kalian atau (bila tidak) Allah akan memalingkan wajah- wajah kalian.” [H.R Muslim].
Demikianlah, suri tauladan kita memberikan contoh berupa kepedulian seorang imam terhadap shaf para makmumnya sebelum shalat dimulai.


  1. Beberapa Hal Yang Perlu Diperhatikan Ketika Membuat shaf Shalat
1.Hendaknya seseorang tidak membuat shaf baru kecuali setelah shaf yang ada di depannya telah sempurna dan tidak memungkinkan untuk ditempati.
Apabila shaf di depannya belum sempurna dan memungkinkan untuk ia tempati, namun ternyata ia membuat shaf baru dalam keadaan sendirian (tidak ada makmum lain bersama dirinya) lalu shalat sampai imam bangun dari ruku’, maka shalatnya tidak sah.
Dari Wabishah bin Ma’bad Al Asadi radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang pernah shalat di belakang shaf sendirian. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam meminta orang tersebut untuk mengulangi shalatnya.
[H.R At Tirmidzi yang dishahihkan asy-Syaikh Al Albani].
2.Apabila seseorang ingin bermakmum dengan seorang imam dalam keadaan tidak ada makmum selain dirinya, maka hendaknya dia berdiri sejajar di samping kanan imam, tidak lebih mundur walaupun sejengkal.
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Aku pernah menghampiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam di akhir malam, lalu aku shalat di belakang beliau. Ternyata beliau memegang tanganku ke belakang dan memposisikan aku di samping beliau…”[Ash Shahihah 606, 2590 dan ash-Shahihul Musnad 601].Di dalam riwayat lain: Abdullah bin Abbas,berkata:
”…lalu aku datang dan berdiri di samping kiri beliau.Ternyata beliau menarik aku ke belakang dan memposisikan aku di sebelah kanan beliau…” [H.R Muslim]
Namun cara seperti itu hanya berlaku bagi makmum pria. Adapun makmum wanita maka dirinya mutlak berdiri di belakang imam sekali pun sendirian.
3.Apabila makmum tunggal ini didatangi makmum kedua (pria , bukan wanita), maka kedua makmum ini mundur untuk berdiri di belakang imam.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,berkata: “…lalu aku datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.Ternyata beliau memegang tanganku ke belakang dan memposisikan aku di sebelah kanan beliau. Kemudian Jabbar bin Shakhr datang berwudhu lalu berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memegang tangan kami dan memposisikan kami di belakang beliau…” [H.R Muslim]
4.Tidak diperkenankan bagi makmum untuk membuat shaf memanjang diantara tiang- tiang masjid karena dapat menyebabkan shafnya terputus.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Kami dahulu menghindari ini (tiang- tiang masjid-pen) di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.” [Abu Dawud yang dishahihkan asy-Syaikh Al Albani dan asy-Syaikh Muqbil].
Al Imam Malik rahimahullah berkata: “Tidak mengapa membuat shaf- shaf memanjang diantara tiang- tiang masjid apabila masjid tersebut sempit.”
READ MORE - Fiqh 1 Bab Shaf dalam Shalat Berjamaah

postheadericon Fiqh 1 Bab Nikah Digital

*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku

NIKAH DIGITAL 


A. NIKAH
Nikah atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulakn hak dan kewajiban antara keduannya. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang tidak menikah.
Larangan tidak menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Al Hadid ayat 27
Artinya:
Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa Putra Maryam ; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adanya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan pada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.“

Rahbaniyah adalah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Rosulullah saw. bersabda,
Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No. 1401)

Anjuran untuk menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 21

artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.“

B. KEDUDUKAN IJAB DAN QABUL DALAM AKAD NIKAH
Akad nikah didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela, ijab di ucapkan oleh wali, qabul di ucapkan oleh calon mempelai laki-laki. Apabila ijab dan qabul itu dapat didengar oleh saksi (terutama) dan orang yang hadir dalam majlis pernikahan itu, telah dipandang memenuhi syarat. Berarti pernikahan dipandang syah. Demikian pendapat ulama fiqh. Namun, mereka berbeda pendapat dalam masalah menafsirkan ”satu majlis”.
Yang pada garis besarnya dalam arti fisik, yaitu dua orang yang ber akad, harus berada dalam satu ruangan yang tidak dibatasi oleh pembatas. Dan dalam pengertian yang lain yaitu dalam persepsi non fisik, ijab qobul harus dilakukan dalam satu upacara yang tidak dibatasi oleh kegiatan-kegiatan yang menghilangkan arti ” satu upacara”
Berikut pandangan para fuqoha dengan adanya masalah tersebut:
  • Imam syafi’i cenderung memandang dalam arti fisik, dengan demikian wali dan calon mempelai laki-laki harus berada dalam satu ruangan, sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak (wali dan calon suami) saling mendengar dan dan memahami secara jelas ijab dan qobul yang mereka ucapkan.
Disamping itu akad nikah yang berlangsung dalam satu ruangan erat kaitannya dengan tugas dua orang saksi yang menjadi salah satu rukun nikah. Kesua saksi itu harus tahu betul apa yang didengar dan dilihat nya dalam majlis akad nikah itu. Demikian penegasan imam syafi’i, menurut beliau kesaksian orang buta tidak dapat diterima, karena tidak dapat melihat.hal ini berarti, bahwa akad nikah melalui telepon dipandang tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan-ketentuan diatas.
  • Imam ahmad bin hambali, mengartikan satu majlis dalam arti non fisik ( tidak mesti dalam satu ruangan). Ijab dan qabul bisa diucapkan dalam satu waktu atau satu upacara secara langsung dan tidak boleh diselingi oleh kigiatan lain.
  • Imam abu hanifah serta para fuqoha’ ahlurra’yi dan kufah yang sejalan dengan pemikiran mereka dengan pendapat imam ahmad bin hambali. Namun imam ahmad bin hambali menegaskan, bahwa ada dua orang saksi yang harus mendengarkan dan memahami ucapan ijab qabul itu. Hal ini berati bahwa melihat pihak-pihak yang berakad tidak merupakan keharusan tetapi kedua orang saksi harus mendengar ucapan ijab dan qabul secara sempurna.berdasarkan penjelasan diatas (pendapat imam hambali), maka niakh yang dilaksanakan melalui telepon dianggap sah asal saja diberi pengeras suara, karena mendengar ijab dan qabul merupakan suatu keharusan.

C. DILEMA PERNIKAHAN PADA MASA PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon. Ada contoh kasus yaitu ada seorang ayah yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan seorang ayah tersebut masih tertunda di Jakarta sedangkan akad nikah yang dilaksanakan di Yogyakarta akan segera dilaksanakan karena rukun nikah sudah terpenuhi kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai perempuan tetap bersikeras ingin menikahkan anaknya sendiri tanpa diwakilkan. Jalan keluar yang diambil yaitu akad nikah dilaksanakan dengan menggunakan video call atau 3G. Dari kasus tersebut, timbul suatu keraguan apakah pernikahan tersebut sah atau tidak sehingga perlu dilakukan akad nikah ulang.
Menentukan sah atau tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon.
Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam.
Oleh karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan tidak dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
  1. Nikah itu termasuk ibadah. Oleh karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).

  1. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
  “Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
  1. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.
لا ضرر ولا ضرارا
Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.”

Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.”
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah”

Peristiwa akad nikah lewat telepon mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat. Contoh lain yaitu pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami Drs. Ario sutarto yang sedang bertugas belajar di program Pascasarjana Indiana University Amerika Serikat, sedangkan calon istri adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya biaya perjalanan pulang pergi Amerika Serikat-Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon di rumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video.
Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di Amerika Serikat itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki, sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan Prof. DR. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam Islam mempunyai aturan-aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul,  sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.
Ketika seseorang menikah lewat telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam akad nikah lewat telpon tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak adanya wali perempuan, dan tidak ketemunya calon pengantin ataupun wakilnya. Ini yang menyebabkan akad pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Seandainya dia menghadirkan dua saksi dan wali perempuan dalam akad ini, tetap saja akad pernikahan tidak sah karena kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa kecuali orang yang sedang menelpon, begitu juga wali perempuan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada ditelpon itu belum tentu suara calon suami atau istri. Ringkasnya bahwa akad pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau rentan terjadinya penipuan dan manipulasi.
Disarankan siapa saja yang ingin menikah jarak jauh, untuk mewakilkan kepada orang yang dipercaya. Seandainya dia sebagai perempuan yang bekerja di luar negri, maka cukup walinya sebagai wakil darinya untuk menikahkan dengan lelaki yang diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang hadir. Bagi seorang laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan jarak jauh, maka hendaknya dia mewakilkan dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti adik, kakak, atau saudaranya dengan dihadiri wali perempuan dan kedua saksi. Seandainya ada laki-laki dan perempuan yang ingin menikah di luar negeri dan jauh dari wali perempuan, maka wali tersebut bisa mewakilkan kepada orang yang dipercayai. Wakil  dari wali tersebut beserta kedua saksi harus hadir di dalam akad pernikahan. Semua proses pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya disertai dengan bukti-bukti dari instasi resmi terkait, supaya tidak disalahgunakan.
Masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon isteri dan wali semua terpisah jarak. Toh tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah. Tetapi yang solusinya bukan nikah jarak jauh, melainkan solusinya adalah taukil atau perwakilan. Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi syarat seorang wali. Dan penunjukannya boleh dilakukan secara jarak jauh, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan boleh lewat SMS, chatting, e-mail, atau Video Conference 3.5 G.
Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki. Si wakil wali mengucapkan ijab yang bunyinya kira-kira: “Saya sebagai wakil dari fulan (nama ayah si gadis) menikahkan kamu (nama calon suami) dengan fulanah binti fulan (nama gadis dan nama ayahnya) dengan mahar sekian sekian.” Lalu calon suami menjawab (qabul), kira-kira bunyinya: “Saya terima nikahnya fulanah binti fulanah dengan mahar tersebut tunai.” Dan akad itu sudah sah.
Dan lebih menarik lagi, ternyata perwakilan itu bukan saja boleh dilakukan oleh wali kepada wakilnya, tetapi calon suami pun boleh pula mewakilkan dirinya kepada orang lain. Sehingga namanya menjadi wakil calon suami yang akan melakukan proses qabul.
Misalnya seorang calon suami tidak mungkin bisa datang ke negara di mana ayah si gadis tinggal, sementara ayah di gadis pun tidak mau mewakilkan dirinya kepada orang lain. Berarti calon suami yang mengalah dan mewakilkan dirinya kepada seseorang yang tinggal di satu kota dengan ayah di gadis. Proses pewakilannya sama saja, boleh jarak jauh dan menggunakan berbagai teknologi informasi modern. Asalkan jangan pakai telepati saja, tidak sah karena tidak ada bukti otentik. Lalu si wakil calon suami melakukan akad nikah dengan ayah si gadis dan urusannya selesai.
Bahkan yang lebih fantastis lagi, ternyata kedua belah pihak pun masih dibenarkan untuk mengajukan wakil masing-masing. Sehingga yang melakukan akad nikah justru masing-masing wakilnya saja.Maka pernikahan jarak jauh bukanlah akad nikah dilakukan lewat telepon SLI atau yang lebih murah pakai VoIP, namun yang yang dilakukan secara jarak jauh adalah proses mewakilkannya. Sedangkan akad nikahnya harus dilakukan dalam satu majelis, face to face, meski hanya oleh wakil dari masing-masing. Untuk itu, harus ada saksi yang memenuhi syarat. Syaratnya mudah dan sederhana, tidak harus keluarga, famili atau kerabat. Bahkan tidak kenal pun tidak apa-apa. Yang penting saksi adalah dua orang yang beragama Islam, laki-laki, berakal, sudah baligh, adil dan merdeka (bukan budak). Dan syarat saksi ini kira-kira sama dengan syarat orang yang berhak untuk menjadi wakil dari wali.
Dalam syariat Islam, akad nikah tidak terjadi antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau tidak melibatkan keduanya bersama.
Sama dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang bukan pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari pencuri. Kita hanya boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya,
Ketika menikahkan anak, kita harus 'membeli' langsung dari 'pemiliknya', yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang lain yang bukan pemilik.
Adapun orang lain yang bukan ayahnya, lalu tiba-tiba mendadak mengangkat diri menjadi wali, maka dia telah bertindak sebagai 'wali gadungan'. Akad nikah yang dilakukannya 100% tidak sah. Karena pada hakikatnya dia bukan wali sedangkan wanita itu masih punya wali yang sah.
'Wali gadungan'adalah pencuri yang akan disiksa di neraka nanti, karean telah menyerobot hak milik orang lain. Bahkan bukan sekedar mencuri, dia akan disiksa pedih karena telah menghalalkan perzinaan. Dia telah menipu orang awam dengan fatwa sesatnya.
Syarat mutlak dari sebuah pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi. Tidak boleh dirampas begitu saja. Sehingga pernikahan jarak jauh tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski ayah kandung tidak ikut dalam akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya menikahkan puterinya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan nikah jarak jauh adalah merampas hak seorang ayah kandung sebagai wali yang sah, maka hukumnya haram.
Tidak ada masalah untuk melakukan nikah jarak jauh, di mana pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidak saling bertemu. Sama sekali tidak ada masalah karena akad nikah atau ijab kabul dalam syariah Islam memang tidak terjadi antara pengantin laki dan pengantin perempuan. Ijab kabul terjadi antara pengantin laki-laki dengan ayah kandung atau wali dari pengantin perempuan. Maka cukuplah si pengantin laki-laki dan calon mertuanya itu saja yang mengucapkan ijab kabul. Asalkan ijab kabul itu disaksikan oleh dua orang laki-laki muslim yang sudah aqil baligh, akad itu sudah sah.
Bagi seorang wanita, tidak ada nikah tanpa wali. Dan wali adalah ayah kandungnya yang sah. Hanya di tangan ayah kandung sajalah seorang wanita boleh dinikahkan. Seandainya si ayah kandung tidak mampu menghadiri akad nikah anak gadisnya, maka dia boleh mewakilkan dirinya kepada orang lain yang dipercayainya. Namun hak untuk menjadi wali tidak boleh ''dirampas'' begitu saja dari tangan ayah kandung. Bila sampai perampasan itu terjadi, lalu wali gadungan itu menikahkan anak gadis itu, maka akad nikah itu tidak sah. Kalau mereka melakukan hubungan suami isteri, hukumnya zina.
Yang lebih menarik, justru kehadiran petugas pencatat nikah yang biasanya memimpin ijab qabul, sama sekali tidak masuk dalam urusan sah atau tidaknya pernikahan. Meski tugas itu didapat dari pemerintah secara resmi, namun tanpa kehadirannya akad nikah bisa tetap berlangsung. Sementara anggapan sebagian masyarakat kita, petugas KUA ini seolah menjadi tokoh inti dari sebuah ijab qabul. Padahal tugas hanya sekedar mencatat secara administratif saja. Hadir atau tidak hadir, tidak ada urusan dengan sahnya sebuah akad nikah. Namun demikian, demi tertibnya administrasi negara, sebaiknya petugas ini dihadirkan juga, akan akad nikah itu secara resmi juga tercatat dengan baik di pemerintahan.
Memang benar apa yang anda katakan, sebuah pernikahan itu harus dilakukan oleh wali dari pihak perempuan dan pihak mempelai laki-laki. Mereka berdua melafadzkan ijab dan qabul yang disaksikan oleh minimal 2 orang laki-laki muslim. Tanpa adanya keempat orang itu, nikahnya menjadi tidak sah. Karena tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan sebuah pernikahan. Namun yang perlu diperjelas di sini, bahwa seorang wali diperkenankan untuk meminta orang lain untuk mewakili tugas dan wewenang. Orang lain yang ditunjuk ini, tentu saja harus benar-benar ditunjuk dalam arti kata yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat, seringkali kita lihat orang tua mempelai wanita meski hadir dalam acara akad nikah itu, meminta kepada petugas pencatat nikah (KUA) untuk menjadi wakilnya. Sehingga yang mengucapkan ijab bukan orang tua mempelai wanita, melainkan petugas KUA. Petugas itu tidak boleh mengambil alih wewenang sebagai wali mempelai wanita, kecuali berdasarkan permintaan dari si wali tersebut. Demikian juga, mempelai laki-laki pun diperkenankan untuk meminta orang lain menjadi wakil dirinya, dalam akad nikah. Baik dirinya hadir dalam acara akad itu atau pun tidak.
Namun yang kedua ini memang kurang lazim terjadi. Tapi secara hukum, bila memang hal itu yang diingininya, hukum tetap sah. Seluruh ulama salaf dan khalaf sepakat membolehkan masalah mewakilkan wali nikah ini secara bulat. Baik Mazhab Abu Hanifah, Malik, As-Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Bahkan mazhab Abu Hanifah lebih jauh lagi dalam masalah ini, yaitu seorang wanita boleh menjadi wakil dari ayah kandungnya dalam pernikahan dirinya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa kebolehan mewakilkan wewenang kepada orang lain (tawkil) dalam menikahkan pasangan pengantin ini berlaku juga dalam hampir semua hal yang terkait dengan masalah muamalah. Seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, salaf, istishna' dan lainnya.

Sedangkan yang terkait dengan ibadah mahdhah dan bersifat langsung kepada Allah SWT, tidak berlaku kecuali bila ada dalil. Shalat dan puasa tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, namun ibadah haji termasuk rincian manasiknya seperti melontar jamarat dan lainnya, dimungkinkan untuk diwakilkan. Lantaran ada dalil yang tegas atas hal itu. Termasuk yang boleh diwakilkan adalah menyembelih qurban yang dipersembahkan kepada Allah SWT di hari Raya Qurban.
Pada dasarnya menurut para ulama, tidak disyaratkan ada persaksian dalam proses pemberian wewenang untuk menjadi wakil wali nikah. Namun mereka menganjurkan untuk dihadirkan saksi-saksi, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai orang yang sudah menyerahkan wewenang kepada wakilnya, tiba-tiba mengingkarinya.
Islam Memberi Kemudahan Namun Sesuai Prosedur. Kemungkinan menunjuk wakil dalam akad nikah ini untuk menjawab masalah nikah jarak jauh, di mana wali mempelai wanita dan mempelai laki-laki sulit untuk bisa duduk dalam satu majelis.
Daripada mereka melakukan ijab kabul lewat telepon, akan lebih utama bila secara sah mereka meminta orang lain mewakili mereka. Sebab ijab kabul jarak jauh ini masih meninggalkan banyak perdebatan. Lantaran ada keharusan disaksikan oleh dua orang saksi muslim, laki-laki, yang sudah aqil dan baligh. Sesuatu yang sulit dikerjakan bila dilakukan dengan jarak jauh dan bukan dalam satu majelis.
Maka yang bisa kita simpulkan adalah bahwa setiap personal yang terkait dalam sebuah akad nikah boleh mewakilkan wewenangnya kepada orang lain. Dalam hal ini adalah calon suami dan mertuanya. Keduanya berhak meminta orang lain untuk mewakili dirinya dalam sebuah akad.
Sedangkan saksi nikah yang dua orang itu, memang tidak tergantikan, tetapi saksi boleh siapa saja, asalkan muslim, laki, aqil, baligh, merdeka dan adil.

KESIMPULAN
Dari uraian yang penulis paparkan, dapat penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
1. Nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
3. Penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .

DAFTAR PUSTAKA
Afifi, Mustofa. 2005. Al-Muttaqien (LKS Pendidikan Agama Islam Untuk SMA). Purworejo : UD. Daya Famili.
Hasan, ali.2006. pedoman hidup berumah tangga dalam islam. Jakarta: fajar interpratama offset.
Efendi, satrian.2004. problematika hukum keluarga islam kontemporer. Rawanagun jakarta timur: pernada media.

READ MORE - Fiqh 1 Bab Nikah Digital

Popular Posts

Share