Kamis, 23 Juni 2011

postheadericon Makalah Studi Fiqh; fiqih jinayah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidup pastilah tidak selalu berjalan mulus, tetapi akan dijumpai permasalahan-permasalahan yang timbul dari kalangan umat manusia, khususnya islam. Permasalahn itu pada umumnya menyangkut bagaimana islam menghukumi atau menyelesaikannya dengan suatu hukum yang sesuai dan pantas, baik bagi pelaku yang memunculkan suatu permasalahan maupun bagi seseorang yang menjadi korban dari permasalahan tersebut.

Oleh Karen itu, islam memiliki serangkaian peraturan atau hukum yang melekat pada diri setiap kaum muslim.
Dari serangkaian hukum yang terdapat dalam islam, khususnya hukum pidana islam (fiqh jinayah) merupakan salah satu dari bagian syari’at islam yang materinya kurang begitu dikenal dikalangan umat islam sendiri dan menganggap bahwa hukum islam yang terjadi pada masa nabi dahulu sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di masa sekarang, hal ini disebabkan adanya pengaruh dari pemikiran kaum orientalis barat yang menyatakan bahwa hukum islam terlalu kejam dan lain sebagainya.

Kita ketahui bersama bahwa ajaran-ajaran islam ini adalah ajaran dari Allah langsung yang cara penyampaiannya dengan perantara para utusannya, seperti nabi Muhammad saw yang menyampaikan syari’at islam yang tercantum didalam Al-Qur’an, termasuk didalamnya terdapat hukum pidana islam yang juga Allah sendiri yang membuat atau meletakkan dasarnya yang tujuannya adalah untuk menjadikan hambanya, hamba yang taat dengan segala ajaran dan peraturan dalam islam dengan harapan dapat mencapai tingkat ketaatan yang tinggi disisi Allah SWT.

Jadi, tidaklah mungkin dalam Allah menentukan suatu peraturan atau hukum menjadikan hambanya terasa teraniaya, atau merasa susah karena beratnya hukum atau peraturan tersebut. Allah maha tahu, maha kasih sayang, sehingga tidaklah mungkin Allah mendholimi hambanya.

Didalam makalah ini terdapat pembahasan terkait hukum pidana islam (fiqh jinayah) yang diharapkan bisa membantu kita dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi segala larangannya. Dengan pengetahuan kita akan hukum pidana dalam islam beserta konsekwensinya, bisa menjadikan kita memiliki rasa takut untuk menanggungnya di dunia, terlebih di hadapan Allah kelak, jika kita sampai melakukan laranganNYA tersebut, sehingga kita bisa menjadi hamba Allah yang memiliki ketaatan yang tinggi yang akhirnya kita akan bisa menjumpai dan merasakan kebahagian di dunia dan di akherat.


1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah Jinayah itu dan permasalahan apa saja yang menjadi ruang kajiannya ?
2. Apa fungsi dan tujuan diterapkannya suatu hukuman terkait pelanggaran syari’at dan hak asasi manusia ?
3. Hukum apa saja yang menjadi bagian dari fiqh jinayah ?
4. Bagaimana penjelasan hukum Qisosh, Hudud dan Ta’zir berdasarkan macam-macam pelanggarannya ?

1.3 Tujuan

1. Memahami pengertian Jinayah beserta ruang kajiannya
2. Untuk mengetahui fungsi dan tujuan diterapkannya hukuman terhadap jarimah/ jinayah
3. Untuk mengetahui macam-macam hukum dala fiqh Jinayah
4. Memahami definsi hukum Qisosh, Hudud dan Ta’zir

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fikih Jinayah

Fikih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum- hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci [1].

Adapun jinayah menurut bahasa (etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan [2]. Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya [3].

Menurut istilah fiqih, jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang terhadap hak Allah atau larangan Allah ,hak-hak manusia dan hak binatang di mana orang yang melakukan wajib mendapat/ diberi hukuman yang sesuai baik dunia maupun di akhirat. Dalam rumusan lain di sebutkan bahwa jinayah adalah perbuatan dosa besar atau kejahatan (pidana/ kriminal) seperti membunuh, melukai seseorang, atau membuat cacat anggota badan seseorang [4]. Keberadaaan hukum jinayah dalam syariat Islam didasarkan kepada nash al-Quran antara lain adalah
        
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah 179)

                              •   ••  
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah 49)

                   
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ 65)

Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fikih jinayah itu adalah ilmu yang membahas pemahaman tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Pengertian fikih jinayah (hukum pidana islam) tersebut di atas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif (hukum hasil produk manusia). Atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya [5].

Namun antara hukum pidana islam dengan hukum positif tetap ada perbedaan diantara keduanya, diantaranya adalah:
a) Hukum pidana islam lebih mengarah pada pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur, sehingga setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak akan selalu dicela dan diancam dengan hukum islam.
Sedangkan hukum positif, atau yang dikenal dengan undang-undang hanya mengarah pada apa yang menyebabkan kerugian secara langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat, dan tidak mengarah pada akhlak atau budi pekerti, sehingga jika tidak menimbulkan kerugian secara langsung, walaupun bertentangan dengan akhlak maka itu tidak dianggap tindakan pidana.
b) Hukum positif (undang-undang) merupakan buatan/ produk manusia, sedangkan hukum pidana islam bersumber dari Allah (wahyu) yang ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-sunah, yaitu jarimah hudud dan jarimah qisash. Ada pula hukum yang diserahkan kepada ulil amri, yaitu jarimah ta’zir dengan berpedoman Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Dalam konteks ini pengertian jinayah sama dengan jarimah. Pengertian jarimah secara bahasa (etimologi) adalah melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama) [6]. Sedangkan menurut istilah (terminologi) sebagaimana dikemukakan oleh imam Al Mawardi adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

2.2 Fungsi dan Tujuan diterapkannya Hukuman
Hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan kepada seseorang atau kelompok oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat serta melindungi kepentingan individu.
Adapun tujuan Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat islam adalah sebagai berikut:

a. Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut dan menahan orang lain untuk tidak berbuat jarimah serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.

Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut., tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Apabila kondisinya demikian maka hukuman yang diberikan (terutama hukuman ta’zir ), dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat jarimah yang diperbuat [7].

b. Perbaikan dan Pendidikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia berubah menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapat ridha Allah. Kesadaran yang demikian keadaanya tentu merupakan alat yang paling baik untuk memberantas jarimah, karena seseorang sebelum berbuat jarimah ia akan berfikir bahwa Tuhan tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya baik di dunia maupun diakherat, baik perbuatannya itu diketahui orang atau tidak [8].

Sehingga dari ini dapat merubah atau memperbaiki akhlak manusia yang semula tidak terpuji menjadi akhlak yang terpuji atau luhur .

2.3 Macam-Macam Jinayah
Pada dasarnya dan yang ditinjau dari segi barat ringannya hukuman, jinayat dibagi menjadi 3, yaitu:

A. Qishos (pembalasan) dan Diat (denda)
Hukum qisos adalah pembalasan yang setimpal (sama) atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan badan. Adapun dalil yang mendasari hukkun qisos diantaranya adalah QS. Al-Maidah 45
   • • •                            
Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah 45)

                                         
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih (QS. Al-Baqarah 178)

Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam men-qisos adalah:
a) Pembunuh yang melakukan Qisos harus sudah dewasa, berakal, merdeka dan seagama.
b) Qisos pada anggota-anggota badan harus sejenis, misalnya tangan dengan tangan dsb.

Sedangkan diat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukun diad sebab membunuh atau melukai seseorang. Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak disengaja atau pembunuhan karena kesalahan (khoto’). Adapun dasar dalam hukum diat adalah
  •           
barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah
(QS. An-Nisa’ 92)

Menurut H. Moh Anwar [9] sebab- sebab yang menimbulkan diat adalah:
1) Karena diampuni dari hukum qisos dari keluarga/ ahli waris si korban, dan hanya menghendaki dengan diat saja. Yaitu diatnya 100 ekor unta.hukum
2) Dimana pelaku pembunuhan lari, namun telah diketahui orannya, maka beban diatnya ditanggungkan kepada keluarga atau ahli waris pelaku.
3) Karena susahnya melaksanakan qisos, seperti:
a) Ma’munah, yaitu melukai sampai kekulit tenggorokan atau otak. Diatnya 33 ekor unta lebih (1/3 dari diat membunuh)
b) Ja’ifhah, yaitu luka berat sampai kedalam perut. Diatnya 50 ekor unta (1/2 dari diat membunuh)
c) Munaqqilah, yaitu luka sampai menglihkan tulang atau memecahkannya. Diatnya 15 ekor unta lebih (1/6 dari diat membunuh)
d) Mudhihah, yaitu lika sampai kelihatan tulang. Diatnya 5 ekor unta (1/20 dari diat membunuh)

Adapun rincian diat 100 ekor unta bagi pembunuhan khoto’ dibagi 5 macam [10] , yaitu 20 ekor unta hiqqoh (unta umur 3 tahun), 20 ekor unta jadza’ah (unta umur 4 tahun), 20 ekor unta bintu makhod (unta betina umur lebih 1 tahun), 20 ekor unta ibnu labun (unta jantan umur lebih 2 tahun), 20 ekor unta bintu labun (unta betina umur lebih 2 tahun).

Hukum qisohs dan hukum diat, keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Hukum qishos di berikan kepada pelaku pengerusakan badan, akan tetapi dapat pula hukuman tersebut berupa denda (diyat). Menurut H.Moh Anwar menegaskan bahwa : hukuman yang dijatuhkan ,ialah dengan kisos atau diyat tergantung kepada sebab-sebab terjadinya perusakan karena di sengaja atau tidak di sengaja [11].
Dengan demikian ciri khas dari jarimah qisas dan diat adalah:
a) Hukumanya sudah tentu dan terbatas (sudah ditentukan oleh syara’)
b) Hukuman tersbut merupakan hak perseorangan (pihak korban berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.

Dalam masalah jinayah, husein bahreisj [12] memberi penjelasan dengan klasifikasi sebagai berikut:

1. Qisos :
a) Dalam hukum islam setiap terjadinya suatu pembunuhan yang sengaja harus dibalas (qisos) dengan pembunuhan pula, yang diputuskan perkaranya oleh hakim.
b) Orang muslim yang membunuh orang kafir yang mempunyai perjanjian dengan pemerintah islam (kafir dzimmi), maka tetap ada qisos.
c) Pembunuhberserikat harus dibunuh semuanya
d) Ahli waris atau keluarga pihak terbunuh atau korban berhaq menuntut qisos atau hanya menuntut diad saja kepada pelaku pembunuhan.
e) Orang muslim yang membunuh orang kafir harbi (kafir yang memerangi islam) tidak ada qisos. (pengecualian qisos).

2. Diat :
a) Pembunuhan yang tidak sengaja dengan membayar diat 100 unta dengan ketentuan diatas, yang ditimpakan kepada keluarga pembunuh.
b) Diat karena membunuh wanita adalah ½ dari diat membunuh laki-laki.
c) Setiap pembunuhan yang dimaafkan atau yang membayar diat, baginya dikenakan satu denda sebagai kafaroh dari perbuatannya, yaitu memerdekakan satu budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut
     •      •                                                      
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa’ 92)

B. Hadd atau hudud

Hudud, jamaknya “had”. Arti menurut bahasa ialah : menahan (menghukum). Menurut istilah hudud berarti: sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum.

Menurut hukum terdapat beberapa perbuatan yang dapat dikenakan had, yaitu zina, menuduh zina (Qodzaf), pencurian (sirqoh), begal/ perampok dan pemberontak (bughah), murtad dan sebagainya.

1. Hukuman Karena Zina

Apabila terjadi perzinaan, maka bagi pelakunya dijatuhkan hukum jilid atau rajam dengan ketentuan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh syara’. Apabila terjadi perzinaan yang telah memenuhi syarat maka hukumnya sebagai berikut:
Kalau orang yang berzina itu baik laki-laki ataupun perempuannya memang merdeka ,sudah baligh , maka hukumnya sebagai berikut:
a) Dengan jilid/dipukul 100 kali dan diasingkan selama setahun bagi orang yang merdeka,dewasa, berakal, tetapi belum pernah berjimak dengan istri yang syah.
• •  •                         
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.( QS, An-Nur ayat 2)

b) kalau orang yang berzina itu sudah merasai berjimak dengan istri yang sah, disebut zina muhson, maka hukumnya dengan rajam, yaitu dilempari batu hingga mati.


2. Hukuman (Had) karena Menuduh Zina (Qodhaf)

Termasuk tujuh dosa dan merusak amal kebaikan yaitu: menuduh zina (qodhaf). Tuduhan tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tulisan.
Firman Allah:
                    
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur 4)

Di dalam menuduh zina (qodhaf) terdapat dua hal yang perlu diperhatikan,yaitu:
a) Bagi orang yang menuduh zina boleh meminta disumpah orang yang dituduhnya. Kalau yang dituduh itu bersumpah, maka tetap dera bagi yang menuduhnya. Bila orang yang dituduh itu tidak bersumpah, maka tidak harus di dera orang yang menuduhkan dan orang yang dituduhnya tidak di had, kecuali jika ada 4 orang saksi.
b) Kalau seorang suami melihat atau mencurigakan kepada istrinya akan berbuat zina, maka bagi suami itu diperbolehkan mencerainya atau memelihara si istri dengan menutup rahasianya [13].

 3. Hukum Pencurian (Sirqoh)

Pengertian sirqoh menurut bahasa ialah mengambil sesuatu dengan sembunyi. Adapun menurut istilah: sirqoh adalah mengambil sesuatu (barang) hak milik orang lain secara sembunyi dan dari tempat persembunyiannya yang pantas.

Kebenaran hak bagi pencurian berdasarkan nash Al-Qur’an yaitu:
              
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Maidah ayat 38.)

Pelaksanaan hukum potong tangan memerlukan beberapa syarat, yaitu:
1. orang yang mencurinya:
a) sudah baligh. Berakal, sadar dan mengetahui akan haramnya mencuri.
b) terikat oleh hukum, bukan orang gila atau mabuk
2. barang yang dicurinya mencapai nizab, yaitu minimal ¼ dinar=3 dirham=3.36 gr emas. Dinar (hitungan emas)=12 dirham, 1 dirham=1,12 gr emas. Maka 1 dinar=12x1,12 gr emas=13,44 gr emas.
3. Barang curian itu benar-benar milik orang lain, baik semuanya atau sebagiannya dan bukan milik orang tuanya atau anaknya.
4. mengambilnya barang itu dengan sengaja sengaja
5. barangnya berada di tempat penyimpanan, seperti lemari untuk menyimpan pakaian atau perhiasan [14].

4. Hukuman Pembegal dan Perampok

Pengertian pembegalan adalah: merebut sesuatu atau barang orang lain secara paksa dan menakut-nakuti , sewaktu-waktu disertai penganiayaan atau membunuh pemilik barang tersebut. Seorang perampok yang membunuh maka hukumnya adalah dibunuh (qisos). Tetapi merampok yang membunuh dan mengambil harta orang lain maka hukumnya nya adalah dibunuh atau di salib jika perampok itu mengambil harta orang yang dirampok saja maka hukumannya adalah dipotong tangan seperti keputusan kepada pencuri. Dan jika ia menakut-nakuti orang maka ia ditahan dan di ta’zir [15].
         •                           
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (QS. Surat Al-Maidah ayat 33)

C. Hukum Ta’zir

Yang dimaksud dengan hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di tetapkan hukumannya dalam Quran dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman ringan. hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya.
nabi bersabda tidak boleh dipukul di atas 10 kali cambuk kecuali hukuman yang telah di tetapkan oleh Allah. Jadi ta’zir hukuman yang lebih ringan yang kesemuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim misalnya karena berjudi, berkelahi, mengejek, menggangu orang lain, dan termasuk pula memalsukan berat timbangan dan lain-lain.

Menurut H.Moh Anwar [16] menjelaskan: bahwa hukum ta’zir ini oleh islam diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam, akan tetapi dengan memperhatikan kepada hukum-hukum pidana positif (undang-undang) juga dengan berlandaskan atau dengan didasari hukum Al-Qur’an dan Al-Hadis, tidak boleh sewena-wena.

Maka oleh karena itu hakim berhak untuk menyusun KUH atau KUHP. Ta’zir ini di susun oleh suatu badan resmi yang di angkat oleh pemerintah kepala negara yang diberi tugas khusus untuk menyusunnya yang kemudian hasilnya diputuskan oleh DPR, lalu di syahkan oleh kepala Negara untuk dilaksanakan oleh setiap hakim dalam melaksanakan kewajibannya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Didalam fiqh jinayah, pembahasannya menyangkut permasalahan-permasalahan seputar pelanggaran syari’at dan hak asasi manusia, khususnya sesama kaum muslim. Sebab, fikih jinayah itu sendiri merupakan ilmu yang membahas pemahaman tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil terperinci, atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya. Pengertian fikih jinayah (hukum pidana islam) tersebut di atas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif (hukum hasil produk manusia) atau undang-undang karena tujuan umumnya hampir sama, yaitu menciptakan ketenangan dan ketenteraman dalam masyarakat.

Sedangkan tujuan utama dari penerapan hukuman dalam syariat islam mengenai jarimah adalah :
a) mencegah atau menahan seseorang berbuat, mengulangi dan meniru untuk melakukan jarimah (pelanggaran pidana) dan menjauhkan seseorang dari lingkungan jarimah. Perbaikan dan Pendidikan.
b) memperbaiki dan mendidik akhlah seseorang yang telah melakukan jarimah agar berubah menjadi lebih baik dan menyadari kesalahannya. sehingga menjauhkan manusia dari lingkungan jarimah, dan menjadikan akhlak yang terpuji atau luhur .

sehingga fiqh jinayah ini mengkaji seputar permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran syari’at dan hak asasi manusia demi menciptakan ketenangan dan ketenteraman dalam hidup bermasyarakat.
Macam-macam hukum yang masuk kedalam pembahasan kajian fiqh jinayah ini sangatlah banyak, yaitu semua hukum tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran syari’at dan hak asasi manusia dengan mengedepankan akhlah yang luhur. Secara garis besar, hukum- hukum tersebut dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu hukum qisos dan diat, hukum had atau hudud, dan hukum ta’zir

Hukum qisos adalah hukum hukum balas sebagai pembalasan kepada pelaku jarimah terhadap korban yang menanggung kerugian atau kerusakan anggota badan dengan pembalasan yang sesuai dengan kerugian atau kerusakan yang diderita korban. Sedangkan hukum diat adalah hukum yang mengharuskan atau mewajibkan seorang pelaku jarimah untuk membayar denda baik berupa barang atau harta sebab perbuatannya yang melanggar syari’at dan karena tuntutan dari pihak korban yang menanggung atau menderita kerusakan akibat dari perbuatannya atau karena sulitnya melakukan qisos.

Hukum had atau hudud merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum. Hukum had ini merupakan sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam), dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan.
Hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di tetapkan hukumannya dalam Quran dan Hadist yang merupakan hukuman yang sifatnya ringan. hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya. Hukum ta’zir ini dikeluarkan atau diserahkan sepenuhnya oleh hakim islam dengan memperhatikan hukum-hukum pidana positif (undang-undang) juga dengan berlandaskan atau dengan didasari hukum Al-Qur’an dan Al-Hadis, tidak boleh sewenang-wenang.

Daftar Pustaka
Audah, Abdul Qadir. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1.

Kallaf, Abdul wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968.

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2004

Abdullah, Musthafa. dkk. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983.

Anwar, Mohammad. Fiqh Islam._

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam._

Husein Bahreisj. Pedoman Fiqh Islam._

Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam._


Endnote :

[1] Abdul wahab kallaf. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968. Hal. 11

[2] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Pengantar Dan Asas Hukum Islam. Hal 1

[3] Abdul Qadir Audah. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1. Hal 67

[4] Drs. Sudarsono,SH. Pokok-Pokok Hukum Islam. Hal 527

[5] Musthafa Abdullah, S.H dkk. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983. Hal.9-10

[6] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Op. cit. hal 9

[7] Ibid hal 136

[8] Ahmad Hanafi, asas-asas hukum pidana islam, hal 255

[9] H. Moh. Anwar. Fiqh Islam. Hal 225

[10]Hadis riwayat Daruqutni

[11]H. Moh. Anwar. Op. Cit. Hal 240

[12]Husein Bahreisj. Pedoman Fiqh Islam. Hal 276-279

[13]H. Moh. Anwar. Op.cit. hal 281

[14]Ibid. hal 290-291

[15]Husein Bahreisj. op. cit. hal.289-200

[16]H. Moh. Anwar. Op.cit. hal 300


*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi. ketentuan hak cipta berlaku
READ MORE - Makalah Studi Fiqh; fiqih jinayah

postheadericon Makalah Ilmu Budaya Dasar; wujud dan unsur budaya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan itu muncul sebab adanya aktifitas manusia sebagai makhluk sosial, oleh karenanya, manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya dan pencipta kebudayaan itu sendiri [1]. sebab hampir semua tindakan manusia adalah budaya atau kebudayaan.

Apalagi dengan didukungnya perkembangan teknologi informasi pada masa sekarang ini yang semakin maju, dimana berbagai informasi dapat diakses dengan mudah oleh seluruh kalangan masyarakat, tidaklah menutup kemungkinan untuk masuk dan terciptanya kebudayaan baru dikalangan masyarakat, sebab manusia diciptaan oleh Allah dengan diberi kesempurnaan di bandingkan dengan yang lainnya, karena dilengkapi dengan akal budi [2]. Dan dengan akal budi itu manusia akan memproses segala data atau informasi yang sampai kepadanya.
Akal budi merupakan pemberian, sekaligus potensi dalam diri manusia yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Akal adalah kemampuan berfikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki, yang berfungsi untuk berfikir dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Budi berarti juga akal. Budi berasal dari bahasa sanskerta “budh” yang berarti akal. Budi adalah bagian dari kata hati yang berupa panduan akal dan perasaan dan yang dapat membedakan baik buruknya sesuatu. Menurut sultan alisyahbana, Budilah yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberikan penilaian objektif terhadap objek dan kajian.

Dengan akal budi tersebut, dan didukung dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin maju, manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan mampu menciptakan kebudayaan dan menjalankan proses transformasi budaya. Kebudayaan yang sudah diciptakan itu akan selalu berubah dan berkembang sesuai dengan kemampuan manusia dalam mengembangkan daya atau potensi yang terpendam dalam akal budinya dengan perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan sebagai alatnya

Sudah barang tentu, semua kebudayaan yang tercipta lewat alat perantara ini, akan menimbulkan dua nilai yang bertolak belakang, apalagi munculnya kebudayaan itu sendiri dipengaruhi kuat oleh “akal dan budi”, namun sisi negatiflah yang perlu aanya perhatian lebih khusus dari semua kalangan masyarakat.


1.2 Rumusan Masalah

1. apakah wujud dan unsur kebudayaan itu?
2. bagaimanakah proses transformasi kebudayaan itu berlangsung, jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi pada masa sekarang ini?
3. Bagaimanakah hubungan kebudayaan terhadap “free sex” kaum remaja terkait perkembangan teknologi informasi pada masa sekarang ini?


BAB II
KONSEPSI TEORI
2.1 Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata “budaya”, Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa sanskerta, yaitu “budhaya” yang merupakan bentuk jamak dari kata “buddi” yang berarti budi atau akal, yang dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Menurut P.J. Zoetmulder dalam bukunya Cultuur budaya, budaya adalah bentuk jamak dari kata ”budi dan daya”, yang berarti daya dari budi [3] . Oleh karena itu, mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Budaya itu adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan itu adalah segala hasil dari cipta, karsa dan rasa itu sendiri [4]. Namun, dalam bidang antropologi antara kebudayaan dengan budaya tidak diadakan perbedaan arti, hanya saja dipakai untuk singkatan saja. ‘Budi’ merupakan unsur rohani, sedangkan ‘daya’ merupakan unsur jasmani. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa “kebudayaan merupakan perkembangan dari bentuk jamak “budi daya” [5] . Budaya dapat juga di artikan sebagai totalitas aktifitas manusia yang disepakati bersama-sama dalam masyarakat tertentu yang tidak terlepas dari nilai.

Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa belanda diistilahkan dengan cultuur, dalam bahasa latin, berasal dari kata colera, yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani). Dengan demikian , kata budaya ada hubungannya dengan kemampuan manusia dalam mengelola sumber-sumber kehidupan manusia, dalam hal ini yang dimaksud adalah pertanian.
Mengenai definisi kebudayaan telah banyak dikemukakan oleh banyak ahli. ada 2 (dua) sarjana antropologi, yaitu A.L Krober dan C.Clukckhon yang pernah mengumpulkan sebanyak mungkin definisi tentang kebudayaan yang termaktub dalam banyak buku dan yang berasal dari banyak pengarang dan sarjana. Terbukti ada 160 definisi tentang kebudayaan yang kemudian dianalisis dan dicari intinya dan diklasifikasikan kedalam berbagai golongan, dan kemudian hasil penyelidikan itu diterbitkan kedalam suatu buku yang berjudul: Culture A Critical Review of Concept and Definitions, tahun 1952. Adapun ahli antropologi yang memberikan definisi tentang kebudayaan, diantaranya sebagai berikut:
a) Andreas Eppink menyatakan bahwa kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius dll, ditambah lagi dengan pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
b) Edward B. Taylor (Inggris) mengemukakan dalam buku Primitive Culturebahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
c) Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengatakan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
d) R. Linton mengungkapkan bahwa kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
e) Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan itu sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya tersebut [6].
f) A.L Krober dan Clyde Kluckhon. Kebudayaan adalah keseluruhan hasil perbuatan manusia yang bersumber dari kemauan, pemikiran dan perasaannya.
g) Prof. M.M. Djojodigoeno. Kebudayaan atau budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.

Cipta : hasil pengetahuan manusia dari pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil dari cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan.
Karsa : kemampuan manusia dalam menginsafi hal sangkan paran (bahasa jawa). Dari mana asal manusia sebelum lahir (=sangkan) dan kemana manusia setelah mati (=paran), hasilnya berupa norma- norma keagamaan, kepercayaan.
Rasa : kerinduan manusia akan keindahan , sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan. Buah perkembangan rasa ini terjelma dalam bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan bermacam-macam kesenian.

Sesuai dengan definisi Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia dari proses belajar pada lingkungan juga dari hasil pengamatan langsung, maka kebudayaan itu dapat diterima dengan 3 (tiga) bentuk, yaitu:
1. Melalui pengalaman hidup saat menghadapi lingkungan.
2. Melalui pengalaman hidup sebagai makhluk sosial.
3. Melalui komuniasi simbolis (benda, tubuh, gerak tubuh, dan peristiwa yang lain).

Walaupun kebudayaan itu berbeda, namun pada dasarnya memiliki hakikat yang sama, yaitu:
1. Terwujud dan tersalurkan lewat prilaku manusia.
2. Sudah ada sejak lahirnya generasi dan tetap ada setelah generasi pengganti mati.
3. Diperlukan manusia yang diwujudkan lewat tingkah laku.
4. Berisi aturan yang berisi kewajiban, tindakan yang diterima atau tidak, larangan dan pantangan.

Dari pemahaman pengertian kebudayaan diatas, dapat diketahui bahwa ruang lingkup konsepsi kebudayaan sangat berfariasi, dan setiap pembahasan arti yang diberikan akan sangat dipengaruhi oleh dasar pemikiran tentang azas-azas pembentukan masyarakat dan kebudayaan. Dan dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan secara garis besar, sebagai berikut :
1. Dari hasil-hasil budaya manusia itu dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
a) Kebudayaan jasmaniah (kebudayaan fisik) yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya alat-alat perlengkapan hidup.
b) Kebudayaan rohaniah (non material) yaitu semua hasil ciptaan manusia yang tidak bisa dilihat dan diraba, seperti : religi, ilmu pengetahuan, bahasa, seni.
 2. Kebudayaan itu tidak diwariskan secara genertif (biologis) melainkan hanya mungkin dapat diperoleh dengan cara belajar atau pengenalan.
3. Bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat, akan sukar bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Demikian juga sebaliknya, tanpa kebudayaan manusia ataupun masyarakat tidak akan bisa mempertahankan kehidupannya.
4. Jadi, hampir semua kegiatan/ tindakan manusia adalah budaya atau kebudayaan.

2.2. Wujud Kebudayaan Dan Unsur-Unsurnya
A. Wujud Kebudayaan


Wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktifitas manusia yang berpola. Dalam hal ini J.J. Honigmann dan Koentjaraningrat membagi budaya kedalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
a) Gagasan (Ideas)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide, gagasan dan sebagainya yang bersifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Karena hal ini terletak dalam kepala atau di alam pemikiran manusia.
b) Aktivitas atau tindakan (activities)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat yang berwujud sebagai sistem sosial yang terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud dari kebudayaan ini bersifat konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati dan didokumentasikan. Misalnya gotong royong dan kerja sama.
c) Artefak atau karya (artifact)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil karya dari semua aktifitas dan perbuatan masyarakat yang berupa benda-benda atau hal yang dapat diraba, dilihat dan bersifat paling konkret.

B. Unsur-Unsur Kebudayaan

Antropologi membagi tiap-tiap kebudayaan kedalam beberapa unsur besar, yang disebut culture universals. Artinya universal adalah ada dan bisa didapatkan didalam semua kebudayaan dari semua bangsa di dunia. Para sarjana antropologi memberikan pandangan tentang unsur kebudayaan dengan mengambil inti dari berbagai macam skema tentang cultural universe, yang kemudian kita dapat menganggap ada 7 (tujuh) unsur kebudayaan sebagai cultural universals yang didapatkan pada semua bangsa di dunia [7], yaitu:
1) Bahasa (lisan maupun tertulis).
2) Sistem teknologi (peralatan dan perlengkapan hidup manusia).
3) Sistem mata pencaharian (mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi).
4) Organisasi sosial (sistem kemasyarakatan).
5) Sistem pengetahuan.
6) Kesenian (seni rupa, sastra, suara, dan sebagainya).
7) Religi.

Dari ke-7 unsur kebudayaan yang universal tersebut, masing–masing mempunyai 3 wujud kebudayaan, yaitu sisitem budaya, sisitem sosial, dan kebudayaan fisik.
1) Sistem Budaya
Sistem kebudayaan merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya (cultural system) merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Sistem budaya dapat diartikan pula adat-istiadat yang mencakup sistem nilai budaya dan sistem norma yang ada dalam masyarakat, termasuk norma agama.

Fungsi sistem budaya adalah menata dan mematangkan tindakan-tindakan serta tinglah laku manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui pembudayaan atau pelembagaan (institutionalization). Dalam proses pelembagaan ini, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan peraturan yang hidup dalam kebudayaan. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian lingkungan diluar rumah, mula-mula dengan meniru berbagai macam tindakan. Setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan motivasi akan tindakan meniru itu diinternalisasi dalam kepribadiannya, maka tindakannya itu menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan.

2) Sistem Sosial
Sistem sosial merupakan kompleks dari aktifitas serta berpola dari manusia dalam organisasi dan masyarakat. Teori sistem sosial pertama kali diperkenalkan oleh seorang sosiolog Amerika, Talloctt Parsons. Konsep sistem sosial ini digunakan untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia dengan asumsi bahwa kelompok manusia merupakan sistem. Dalam suatu sistem sosial, parsons menyebutkan paling tidak ada 4 hal, yaitu:
a) 2 orang atau lebih.
b) Terjadi interaksi diantara mereka.
c) Bertujuan.
d) Memiliki struktur, simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya.

3) Sistem nilai Budaya
Beberapa pendapat tentang nilai, yaitu:
1. Peper (1959:7)
Nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik dan yang buruk.
2. Perry (1954)
Nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subyek.
3. Kluckhon (1951:399)
Definisi nilai dalam konsep literatur ilmu sosial adalah hasil pengaruh seleksi perilaku.
Dari berbagai pendapat tentang nilai ini, dapat di simpulkan definisi nilai (tentative) adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subyek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat. Batasan ini bersifat universal, namun dalam pembahasan tertentu dapat mengacu pada salah satu batasan sebelumnya, sebagai contoh seperti yang diungkapkan Alfin L Bertrand (1967) bahwa nilai sosial adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu obyek gagasan.
Nilai-nilai yang ada pada kebudayaan adalah :
1) Nilai etika (nilai tentang norma, moral, akhlak, kesusilaan).
2) Nilai estetika (nilai tentang keindahan, seni).
3) Nilai artistika (netral atau tidak fanatik terhadap nilai apapun).
4) Nilai religi (nilai tentang keagamaan)

Ada 4 unsur dasar penyusunan nilai (unsur konstruktif yang membuat sesuatu itu bernilai), yaitu:
• 2 unsur berasal dari obyek:
a) Kegunaan/ manfaat (utility).
b) Keperluan/ kepentingannya (importance).
• 2 unsur berasal dari subyek:
a) Kebutuhan (need).
b) Penilaian, penafsiran, penghargaan (estimation).

Kemudia nilai itu diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
1) Nilai intrinsik
Yaitu nilai atau harga yang dipandang vital, sangat penting dan menjadi komponen utama benda atau hal tersebut. Misalnya dinamo untuk mobil.
2) Nilai ekstrinsik
Yaitu nilai yang dipandang berguna, perlu untuk kelangsungan benda atau hal tersebut. Misalnya obat bagi orang sakit.

1.3 Transformasi Budaya

Masyarakat dan kebudayayan dimanapun selalu dalam keadaan berubah (mengalami proses transformasi), sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai perhubungan dengan masyarakat yang lain. Hal itu disebabkan karena adanya beberapa proses penerimaan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, diantaranya:

1. Proses Sosialisasi
proses ini yang bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam rangka proses sosialisasinya itu ia telah belajar cara-cara untuk bergaul dengan tiap individu dalam lingkungan kaum kerabat dan tetangga dekatnya, dan ia telah menggembangkan pola-pola tindakan yang berbeda-beda dalam hal menghadapi mereka. Individu yang tidak dapat menyesuaikan keberadaan dirinya terhadap lingkungan sosial sekitarnya dan dalam kehidupannya dipenuhi konflik maka disebut individu deviants [8].

2. Proses Enkulturasi
proses ini dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yang artinya “Pembudayaan”. Dalam bahasa inggris yaitu “Insitutionalization”. Dalam proses itu seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Sejak kecil proses enkulturasi itu sudah dimulai dalam alam pikiran warga suatu masyarakat yang mula-mula dari temannya bermain. Sering kali ia belajar dengan meniru saja dengan Berbagai macam tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakannya ‘dibudayakan’.

3. Proses Inkulturasi
Inkulturasi dapat diartikan sebagai ajang latihan setiap pelaku kebudayaan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kebudayaan yang terjadi cara pandang ini menekankan bahwa nilai adat-istiadat dan nilai sosial-budaya lama harus ditinggalkan apabila sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan zaman. Hal ini cenderung mengikis nilai-nilai lama dan menggantinya dengan yang nilai-nilai baru.

4. Akulturasi
Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contac mempunyai beberapa arti tetapi semua sepakat bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul dari bertemunya suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan asing dan berbaur didalamnya, dan unsur-unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri. Proses ini merupakan wahana bertemunya 2 kebudayaan, dimana masing-masing dapat menerima nilai-nilai bawaannya tanpa ada unsur dari salah satu kebudayaan itu yang dihilangkan. Agar proses akulturasi dapat berhasil, proses akulturasi perlu memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a) Persenyawaan (affinity), penyerapan atau penjiwaan.
b) Keseragaman (homogeneity).
c) Seleksi.
Ciri terjadinya proses akulturasi yang utama adalah diterimanya unsur kebudayaan luar atau baru yang diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian atau unsur kebudayaan asal [9].

5. Evolusi
Proses–proses evolusi sosial budaya yang dipandang seolah-olah dari jauh hanya akan menampakkan kepada peneliti perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang, Proses ini disebut directional processe.
Proses yang mengarah pada evolusi kebudayaan kita pandang seolah-olah jauh, dengan mengambil interval waktu yang panjang, misalnya beberapa ribu tahun, maka akan tampak perubahan-perubahan besar yang seolah-olah bersifat menentukan arah (directional). Pada masa sekarang gejala ini menjadi perhatian khusus dari sub ilmu antropologi, yaitu ilmu prehistori [10]

6. Difusi
Difusi adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi, yang dibawa oleh kelompok-kelompok manusia yang bermigrasi. Penyebaran suatu manusia, ilmu palaentropologi telah memperkirakan bahwa manusia terjadi di suatu daerah tertentu dimuka bumi. Hal ini dapat diterangkan dengan adanya proses pembiakan dan gerak penyebaran atau migrasi-migrasi yang di sertai dengan proses penyesuaian atau adaptasi fisik dan sosial budaya dari manusia dalam jangka waktu yang panjang sejak zaman purba. Ada hal-hal yang menyebabkan migrasi yang lambat dan otomatis, ada pula yang menyebabkan migrasi yang cepat dan mendadak. Migrasi yang lambat dan otomatis adalah sejalan dengan perkembangan dari manusia yang jumlahnya selalu banyak sejak masa munculnya manusia dimuka bumi ini hingga sekarang. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan bersama dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia dimuka bumi, turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan keseluruh penjuru dunia yang disebut dengan proses difusi (diffusion)
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau bangsa-bangsa dari suatu tempat ketempat yang lain, tetapi oleh karena adanya individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali. Ada beberapa cara terjadinya difusi, diantaranya adalah :
 Cara pertama adalah hubungan dimana bentuk dari kebudayaan itu masing-masing hampir tidak berubah,cara ini disebut dengan hubungan simbolik.
 Cara kedua adalah bentuk hubungan yang disebabkan karena perdagangan yang terjadi dengan dibawanya hubungan simbolik dari unsur-unsur kebudayaan asing oleh para pedagang yang masuk kedalam kebudayaan penerima dengan tidak sengaja dan tanpa paksaan. Hubungan ini sering disebut dengan Penetration Pacifique (pemasukan secara damai).

7. Asimilasi
Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Pada hakikatnya suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan antar individu dalam suatu kelompok.
Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut:
a) terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
b) terjadi pergaulan antar individu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.
c) Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.

8. Penemuan (discovery)
Discovery adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat baru, ide baru yang diciptakan oleh seorang individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Discovery merupakan jenis penemuan baru yang mengubah persepsi mengenai hakikat suatu gejala mengenai hubungan dua gejala atau lebih. Suatu penemuan biasanya juga merupakan suatu proses sosial yang panjang melalui dua tahap khusus yaitu discovery dan invention.

9. Inovasi (invention)
Invention akan berlangsung apabila masyarakat sudah mengakui, menerima dan menerapkan penemuan baru (Discovery). Inovasi adalah suatu proses pembauran dari penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi yang dibuatnya produk yang baru. Dengan demikian inovasi itu mengenai pembauran kebudayaan yang khusus mengenai unsur teknologi dan ekonomi. Proses inovasi sudah tentu sangat erat dengan penemuan baru dalam teknologi.
Dalam sebuah penemuan baru pertanyaan yang penting adalah: faktor apakah yang menjadi pendorong bagi individu dalam masyarakat untuk memulai dan mengembangkan penemuan-penemuan baru. Para sosiolog mengatakan bahwa faktor pendorong itu adalah kesadaran para individu akan kekurangannya atas kebudayaan. Butuh keahlian dalam suatu kebudayaan, sebagai sistem perangsang bagi aktifitas pencipta dalam masyarakat.

2.4 Hubungan Manusia Dengan Kebudayaan

Dalam sejarah perkembangan kebudayaan umat manusia, jauh sebelum diterbitkannya buku The Origin of Species oleh Charles Darwin, telah terdapat 3 (tiga) pandangan dasar dikalangan orang eropa terkait hubungan manusia dengan kebudayaannya [11], yaitu:
 Pandangan dasar pertama, terdapat pendapat bahwa manusia diciptakan beraneka macam (polygenesis) dan menganggap orang berkulit putih di Eropa merupakan manusia yang paling baik dan yang paling kuat, sehingga kebudayaan yang mereka miliki pun dianggap yang paling sempurna dan yang paling tinggi diantara yang lain.
 Pandangan dasar kedua, adalah adanya keyakinan bahwa manusia memang diciptakan hanya sekali saja (monogenesis) yaitu dari satu makhluk induk (nabi adam) dan semua manusia merupakan keturunan nabi adam, dan segala kebudayaan dari yang tinggi sampai yang rendah merupakan akibat proses kemunduran yang disebabkan oleh dosa abadi yang pernah dilakukan nabi adam.
 Pandangan dasar ketiga berpendapat bahwa sebenarnya manusia dan kebudayaan nya tidak pernah mengalami proses degenerasi (penurunan). Akan tetapi, perbedaan kebudayaan yang terjadi pada masa kini lebih disebabkan oleh tingkat kemajuan yang berbeda diantara manusianya.

Setelah itu, di Eropa terjadi kebangkitan studi kesusasteraan dan ilmu pengetahuan yunani dan rumawi klasik pada abad ke XVI, yang dikenal dengan renaissance. Pada abad XVIII di Eropa mengalami zaman aufklaarung atau “pencerahan” dengan diadakannya pengkajian diberbagai bidang, termasuk upaya untuk meneliti tentang hubungan keanekaragaman manusia dengan kebudayaannya dengan August Comte dan Herbert Spencer sebagai tokoh yang mewarnai pada zaman aufklaarung pada saat itu.

Agaknya, pola pikir cendikiawan pada masa aufklaarung yang memandang bahwa hubungan masyarakat manusia dengan kebudayaannya merupakan sebagai satu kesatuan yang mana bagian-bagian dan unsur-unsurnya saling terkait antara yang satu dengan yang lain sebagai suatu sistem yang bulat, sampai sekarang ini masih tetap relevan dalam bidang antropologi.

Selanjutnya, terdapat pemikiran yang lain yang mengatakan bahwa keanekaragaman masyarakat manusia dengan kebudayaannya itu, disamping disebabkan oleh akibat dari sejarah mereka masing-masing, juga karena pengaruh lingkungan alam dan struktur internnya. Oleh karena itu, suatu unsur atau adat dalam suatu kebudayaan tidak dapat dinilai dari pandangan kebudayaan lain, melainkan harus dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan itu sendiri (relativisme kebudayan).

Sejak pertama kalinya makhluk yang bercirikan manusia muncul di muka bumi, yaitu dengan ditemukannya fosil Pithecanthropus Erectus sekitar 1 juta tahun yang lalu sampai sekarang, telah terjadi berbagai perubahan kebudayaan, sementara itu proses evolusi organic manusia tak secepat perkembangan kebudayaannya. Dan seolah-olah perubahan kebudayaan berjalan begitu cepat dan meninggalkan proses evolusi organiknya. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu sifat kebudayaan adalah superorganik.

Selain disebabkan oleh mekanisme lain, seperti munculnya penemuan baru (invention), difusi, dan akulturasi, perubahan suatu lingkungan juga akan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Selama perjalana waktu yang lama, dengan akal yang dimilikinya, manusia akan semakin memiliki kemampuan untuk menyempurnakan kebudayaannya yang mereka miliki.setiap kali mereka berupaya menyempurnakan dirinya, maka akan menyebabkan perubahan kebudayannya. Suatu prubahan kebudayaan dapat berasal dari pendukungnya, dan dimungkinkan pula berasal dari luar lingkungan pendukung kebudayaan tersebut. Sementara itu, tidak menutup kemungknan hilangnya unsur-unsur kebudayaan lama sebagai akibat dari ditemukannya unsur-unsur kebudayaan baru.

Dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia, terdapat pendapat bahwa ada 3 (tiga) jenis revolusi terpenting dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia. Perubahan dan perkembangan yang sedemikian pesat itu, lebih dikenal dengan revolusi kebudayaan pertama, dimana pada waktu itu manusia telah mengenal kebudayaan sisitem bercocok tanam sekitar 10.000 (sepuluh ribu) tahun yang lalu, di sekitar daerah pertemuan antara sungai Tigris dan Eufrat di lembah Mesopotamia. Yang sebelumnya hanya berburu dan meramu yang terjadi pada manusia Homo Sapiens sekitar 80.000 (delapan puluh ribu) tahun yang lalu.
Setelah itu barulah mengenal sistem bermukim, yang artinya sudah mulai bertempat tinggal menetap sekitar 60.000 (enam puluh ribu) tahun yang lalu di pulau Kreta Yunani. Dan ini dikenal dengan revolusi kebudayaan kedua. Dimana pada revolusi ini perkembangan kebudayaan manusia semakin pesat, dan akhirnya terjadi Revolusi di Inggris pada abad ke XVII yang oleh Gordon Childe dianggap sebagai revolusi kebudayaan ketiga. Setelah Revolusi Industri ini, manusia mulai mengenal teknik memproduksi barang secara masal, karena tenaga manusia mulai digantikan dengan tenaga mesin-mesin yang telah ditemukan. Sejak saat itulah, kebudayaan manusia semakin tumbuh dengan pesat seolah-olah melepaskan dirinya dari proses evolusi organik atau evolusi biologis manusia.

Tingkat kemajuan masyarakat manusia dapat dibagi kedalam 3 (tiga) periode evolusi. Yaitu periode berburu atau liar (savage), periode beternak atau barbar (barbarism), dan periode yang berkembang kearah peradaban (civilization).
Dibawah ini dijelaskan bagan tentang tingkatan perkembangan kebudayaan manusia yang dimulai sejak zaman liar hingga zaman modern seperti sekarang ini.
PERIODE TAHAPAN CRITERIA

I. Liar (Savagery)
A. Liar bawah, Sejak munculnya ras manusia hingga periode berikutnya
B. Liar madya,Sejak menguasai cara menangkap ikan dan
mampu membuat api pada kehidupan subsisten
C. Liar atas, Sejak ditemukannya panah dan busur

II. Barbar (Barbarism)
1. Barbar bawah, Sejak dikenalnya pembuatan barang tembikar
2. Barbar madya, Mulai beternak binatang dan mengenal pertanian dan Irigrasi

3. Barbar atas, Sejak kemahiran melebur bsi dan mempergunakan besi sebagai alat

III. Peradaban (Civilization) - Sejak ditemukannya aksara hingga sekarang

Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sementara itu, pendukung kebudayaan itu adalah manusia itu sendiri. Sekalipun manusia akan mati, namun kebudayaan yang telah tercipta itu tidak akan mati, karena akan diteruskan dan akan diwariskan pada keturunannya, demikian seterusnya.

Pewarisan kebudayaan tidak hanya secara vertikal saja (turun temurun kepada anak cucu mereka), namun bisa juga secara horizontal (manusia satu mempelajari kebudayaan manusia lainnya). Kebudayaan mengenal ruang, waktu dan tempat tumbuh kembangnya, dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan. Sehingga, oleh karena kebudayaan itu diluar masanya, maka kebudayaan itu dapat dipandang ketinggalan zaman (anarkronistik), dan diluar tempatnya, dipandang asing atau janggal.


BAB III
INTEGRASI TEORI
Pada kajian hubungan manusia dan kebudayaan ini diintegrasikan kedalam Al-Qur’an yang merupakan firman Allah sebagai sang pencipta yang menciptakan manusia sebagai khalifah-NYA di muka bumi ini. Allah maha kuasa dan maha pencipta yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya termasuk manusia yang Allah ciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk.
      
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya”.(At-Thiin 95: 4)

Dalam penciptaan ini, Allah menciptakan manusia dengan penuh kesempurnaan bila dibandingkan dengan penciptaan makhluk yang lainnya. Sebab, manusia diciptakan dengan dikaruniai akal dan budi. Dengan akal budi ini, manusia mampu memikirkan konsep-konsep maupun menyusun prinsip-prinsip umum yang diikhtiarkan dari berbagai pengamatan dan percobaan. Dan dengan akal budi inilah manusia mampu menjadikan keindahan penciptaan alam semesta seluruhnya.
         •  
“Dan dialah yang Telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. amat sedikitlah kamu bersyukur” (Al-Mu’minun 23:78)

Allah sendiri telah memberi dorongan kepada manusia untuk memikirkan alam semesta, mengadakan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, merenungkan keindahan ciptaan-NYA, dan mengungkap hukum-hukum-NYA di alam semesta. Seruan untuk mengadakan tinjauan, pemikiran, penelitian dan pembahasan ilmiah dapat ditemukan di berbagai tempat dalam Al-Qur’an :
            •   •     
“ Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Ankabut 29:20)
      
“ Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi… “ (Yunus 10:101)
              •          
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj 22:46)

Dengan seruan Allah itu, manusia sebagai khalifah di bumi, dengan akal budi dan ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh Allah dan dari sesama manusia, manusia dituntut untuk mampu menciptakan piranti kehidupan, yaitu kebutuhan rohani, (seperti : ilmu, seni, budaya, bahasa, sastra) dan kebutuhan jasmani atau fisik (seperti :sandang, pangan, perumahan, peralatan teknologi) dan kebutuhan sosial (seperti : sarana ibadah, sarana pendidikan, sarana pembangunan manusia, sarana umum dll). Dengan karunia Allah, lewat akal, budi serta cipta, rasa dan karsa, manusia mampu menghasilkan kebudayaan.


BAB IV
STUDI KASUS
Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi memang tidak bisa dibendung lagi. kemajuan zaman telah mengantarkan manusia pada kebudayaan dan peradaban yang lebih maju. Hal itu terbukti dengan mudahnya seseorang mengakses data dan informasi dari berbagai media, bahkan hampir diseluruh pelosok desa sudah menggunakan jasa layanan internet dengan kecepatan akses yang bervariasi. Penggunanyapun bervariasi, mulai dari pejabat, pegawai kantoran, pelajar dan masyarakat umum pun sudah mulai membudayakan pemakaian layanan internet sebagai bagian dari aktifitas hidup dan kebutuhan mereka.

Kemajuan teknologi informasi tersebut memang membawa manusia pada kebudayaan dan peradaban yang lebih maju dan lebih berkembang jika dibandingkan dengan kebudayaan atau peradaban primitif zaman dulu. Namun disisi lain dari semua itu muncul pula dampak negatif terhadap psikologi perkembangan anak dan remaja serta pergeseran nilai kebudayaan [12] pada masa sekarang ini. Hal ini terbukti dengan adanya fakta yang mengejutkan di daerah kota wisata Batu, Malang. Yang mana, Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Junrejo, kota Batu, malang mencatat kurang lebih 60 persen dari 328 pasangan nikah didesa tersebut sejak tahun 2010, hamil diluar nikah [13].

Hal itu disinyalir dari maraknya situs porno yang mudah diakses di internet yang memungkinkan membuat anak-anak dan remaja mengalami guncangan budaya sehingga menyebabkan mereka memiliki keinginan untuk coba-coba dalam hal sex bebas [14] dan pada akhirnya berdasarkan fakta sekarang ini, free sex telah umum dilakukan oleh kaum remaja dewasa ini, sehingga dapat dikatakan telah menjadi budaya baru di kalangan remaja Indonesia. Hal ini merupakan budaya prilaku yang menyimpang dari budaya asli bangsa Indonesia yang identik dengan budaya ke-timuran, yang pada dasarnya lebih mengedepankan nilai, norma kesusilaan dan kesopanan. Sekalipun hal ini merupakan prilaku menyimpang dari kebudayaan asal, namun karena hampir sudah menjadi kebiasaan, maka hal ini merupakan paradigma kebudayaan baru, lebih tepatnya dapat dikatakan dengan desintegrasi moral .

BAB V
ANALISA dan KESIMPULAN
5.1 Analisa

Dari studi kasus yang telah kita pelajari bersama diatas, maka dapat di analisa bahwa wujud dari semua kebudayaan itu hanya ada tiga, yaitu :
1. Ide atau gagasan
2. Aktifitas atau tindakan
3. Kebudayaan fisik (hasil karya)

Adapun unsur yang terdapat dalam kebudayaan ada 7 (tujuh) unsur yang bersifat universals, yaitu:
1) Bahasa
2) Sistem mata pencaharian
3) Sistem pengetahuan
4) Religi
5) Sistem teknologi
6) Organisasi sosial
7) Kesenian

Dan selain itu, unsur dalam suatu kebudayaan tidak terlepas dari unsur nilai. Dimana unsur nilai tersebut dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
1) Nilai etika
2) Nilai estetika
3) Nilai artistika
4) Nilai religi

Kebudayaan itu akan selalu berubah sesuai kemampuan manusia dalam menggunakan budi dan daya mereka serta bagaimana mereka menanggapi kebudayaan yang datang dari luar. Dalam hal ini kebudayaan mengalami proses transformasi (perubahan). Proses transformasi tersebut berlangsung secara bertahap dan terjadi karena adanya beberapa proses transformasi untuk menuju ketahapan yang lebih komplek, proses tersebut diantaranya:

1) Proses sosialisasi 6) Proses Enkulturasi
2) Proses Inkulturasi 7) Akulturasi
3) Evolusi 8) Difusi
4) Asimilasi 9) Penemuan (discovery)
5) Inovasi (invention)

Adanya proses transformasi yang berlangsung pada diri remaja Indonesia yang mengakibatkan adanya penyimpangan kebudayaan yang pada akhirnya menyebabkan desintegrasi (penurunan) moral ini adalah karena adanya proses asimilasi terhadap nilai sosial budaya yang dibawa melalui dunia maya tersebut. Namun proses asimilisi tersebut menyimpang jauh dari tujuan yang sebenarnya, sehingga dapat dikatakan proses asimilasi yang bersifat negatif. Penyimpangan itu disebabkan karena tidak adanya filterisasi dan pembatasan terhadap penggunaan teknologi informasi yang berkembang begitu pesatnya di Era sekarang ini, terutama terhadap penggunanya. Sebagaimana free sex yang telah membudaya dikalangan remaja Indonesia sekarang ini, tidaklah terlepas dari pengaruh teknologi informasi yang tengah berkembang pesat saat ini. Sehingga, hubungan antara keduanya sangatlah berkaitan dan erat, selama tidak adanya kesadaran diri dan perhatian khusus dari pihak terkait yang menangani permasalahan tersebut.

Seperti apa yang telah diungkapkan oleh A.L Krober dan Clyde Kluckhon “Kebudayaan adalah keseluruhan hasil perbuatan manusia yang bersumber dari kemauan, pemikiran dan perasaannya”. Apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan, akan menimbulkan keinginan untuk mengungkapkan atau melakukan hal itu. Dengan tidak adanya filterisasi dan batasan kesadaran diri dari diri sendiri, orang tua dan pihak terkait mengenai tayangan porno di dunia maya, maka bagi remaja yang telah menyaksikan adegan yang tak bermoral tersebut, fakta membuktikan bahwa sebagian besar dari mereka akan timbul keinginan atau hawa nafsu untuk melakukannya.

Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Sayekti pribadiningtyas, Psikolog universitas wisnu wardana (surya post. Edisi rabu, 23 februari 2011. Hal 3) bahwa telah tampak pergeseran nilai pada kebudayaan di tubuh remaja Indonesia, yang mana pada biasanya free sex itu terjadi di kota-kota besar, namun hal ini telah menjamah ke daerah kota kecil, seperti di kota Batu, Malang.

Sehingga, hubungan antara kebudayaan free sex dengan perkembangan teknologi tersebut erat kaitannya, seperti yang terjadi pada abad XVIII di mana pada waktu itu di Eropa mengalami zaman aufklaarung atau “pencerahan” yang kemudian disusul dengan revolusi di Inggris pada abad ke XVII yang dianggap sebagai revolusi kebudayaan ketiga. Setelah Revolusi Industri ini, kebudayaan manusia semakin tumbuh dengan pesat sampai sekarang ini, seolah-olah perkembangan itu telah melepaskan dirinya dari proses evolusi organik atau evolusi biologis manusia.

5.2 Kesimpulan

Kehidupan manusia tidaklah terlepas dari budaya, adat istiadat, kebiasaan dan hubungan sosial budaya lainnya, hal itu dikarenakan hampir semua interaksi sosial manusia, seperti tingkah laku, kebiasaan, norma, dan lain sebagainya itu sangat erat kaitannya dengan budaya atau kebudayaan. Dan kebudayaan seperti itu tidak akan bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

Dan dalam kehidupan sosial budaya, manusia merupakan pelaku utama dalam terciptanya kebudayaan itu, dan kebudayaan itu akan selalu berubah menuju ke hal yang lebih komplek sesuai kemampuan manusia dalam menggunakan akal, budi dan daya yang diapresiasikan lewat cipta, karsa dan rasa yang ia miliki. Dan perubahan yang terjadi pada kebudayaan itu terbentuk lewat berbagai macam proses sosial budaya sebagai wujud dari hubungan manusia terhadap lingkungan sekitar dan kebudayaan yang telah ada.

Dan pada hakikatnya, semua yang tercipta pastilah mempunyai unsur pembentuk, demikian juga dengan kebudayaan, yang merupakan produk atau hasil cipta, rasa dan karsa manusia lewat pemikiran yang diinterpretasikan kedalam tingkah laku, kebiasaan dalam kehidupan sosial budaya.

Dan perkembangan ataupun perubahan terhadap kebudayaan itu sudah tentu dipengaruhi atau berkaitan arat dengan media pendukungnya, dan hal itu tidak dapat dipungkiri dan tidak dapat dibendung lagi, hanya kesadaran dari diri sendiri dan peran aktif orang tua yang bisa mencegah terjadinya penyimpangan dan desintegrasi moral generasi remaja, dan juga tidak kalah pentingnya perhatian pemerintah akan permasalahan yang tengah dihadapi bangsa tersebut agar identitas dan karakter nilai budaya bangsa dapat dipertahankan keutuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

Herimanto dkk. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Bumi Aksara: JAKARTA

Soelaeman, M. Munandar.2000. ilmu budaya dasar. PT Refika Aditama: BANDUNG

Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. Erlangga: JAKARTA

Zuhro, Ni’matuz dkk.2005. Proses dan Struktur Sosial. Aditya Media : YOGYAKARTA

Notowidagdo, H. Rohiman.2000. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. PT Raja Grafindo Persada: JAKARTA

M. Setiadi, Elly.2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar . Kencana Prenada Media Group.: JAKARTA

Poerwanto, Hari. 2006. Kebudayaan dan Lingkungan: dalam perspektif antropologi. Pustaka Pelajar: YOGYAKARTA

M.Setiadi, Elly dkk. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar: edisi kedua. Kencana Prenada Media Group: JAKARTA

Muhammad, abdulkadir. 2004. Ilmu Sosial Budaya Dasar. PT. Citra Aditya Bakti: BANDUNG

Djoyodiguno, M.M. 1958.  Asas-asas sosiolog.

Koentjaraningrat. 1982.  Pengantar Antropologi. Aksara Baru; Jakarta.

Kontjaraningrat. 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan Nasional.


Endnote:
[1] Herimanto dkk.2008.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.bumi aksara:Jakarta timur. Hal. 21

[2] Ibid. Hal.18

[3] Koentjaraningrat, dalam pengantar antropologi (aksara baru; Jakarta. Cet.V, 1982), hal.80

[4] M.M Djoyodiguno, Asas-asas sosiolog, 1958, hal 54-57

[5] Koentjaraningrat. 1981. Hal.5

[6] Koentjaraningrat. 1984. Hal. 180-181

[7] Kontjaraningrat, Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan Nasional, 1985

[8] Deviants artinya “individu yang tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan system budaya dilingkungan social sekitarnya”.

[9] Kuntjaraningrat 1994:5

[10]prehistori adalah ilmu mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka waktu yang panjang dan juga oleh sarjana ilmu sejarah yang mencoba merekontruksi kembali sejarah perkembangan seluruh unit manusia yang harus juga bekerja dengan jangka waktu yang panjang.

[11]Hari Poerwnto. 2006. Kebudayaan dan Lingkungan. Pustaka Pelajar:Jogjakarta

[12]Sayekti pribadiningtyas. Psikolog universitas wisnu wardana (surya post. Edisi rabu, 23 februari 2011. Hal 3)

[13]Ibid. Hal 3

[14]Ibid

*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi. ketentuan hak cipta berlaku
READ MORE - Makalah Ilmu Budaya Dasar; wujud dan unsur budaya
Rabu, 22 Juni 2011

postheadericon Makalah Filsafat Ilmu; struktur dasar ilmu pengetahuan dalam filsafat

BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak terlepas dari peran filsafat. Sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kedudukan filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan, memiliki proses perumusan yang sangat sulit dan membutuhkan pemahaman yang mendalam, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat dimanifestasikan oleh seseorang filsuf yang otentik.

Perumusan tersebut merupakan suatu stimulus atau rangsangan untuk memberikan suatu bimbingan tentang bagaimana cara kita harus mempertahankan hidup. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran, dalam eksistensinya terdapat tiga bentuk kebenaran, yaitu ilmu pengetahuan, filsafat dan agama.

Filsafat disebut pula sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat eksistensial, artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan filsafat menjadi dasar bagi motor penggerak kehidupan, baik sebagai makhluk individu atau pribadi maupun makhluk kolektif dalam masyarakat.

Oleh karena itu kita perlu mempelajari filsafat hingga keakar-akarnya. Khususnya pada dasar ilmu pengetahuan, sebab manusia hidup pastilah memiliki pengalaman yang berbeda-beda, yang kemudian dari pengalaman itu akan muncul ilmu sebagai kumpulan dari pengalaman atau pengetahuan yang ada agar terbuka wawasan pemikiran yang filosofis.


1. 2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengertian ilmu, pengetahuan serta ilmu pengetahuan dalam bidang filsafat ?
2. Bagaimanakah struktur dasar ilmu pengetahuan dalam berfilosofis ?
3. Apakah ciri dari berfikir filosofis terhadap pengetahuan ?
4. Pokok-pokok apa sajakah yang terdapat dalam ilmu pengetahuan ?

1.3 Tujuan

1. Dapat mengetahui definisi antara ilmu, pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
2. Dapat mengetahui proses munculnya ilmu pengetahuan secara filosofis berdasarkan struktur ilmu pengetahuan.
3. Dapat memahami ciri seorang filsuf yang filosofis terhadap pengetahuan.
4. Mengetahui sumber, hakikat dan tujuan ilmu pengetahuan.



BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Definisi Pengetahuan

Secara bahasa (etimologi), pengetahuan berasal dari bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah “kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief)[1]. Menurut istilah (terminologi), pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Menurut Sidi Gazalba dalam bukunya sistematika filsafat, pekerjaan tahu adalah hasil dari kenal, sadar, insyaf, mengerti dan pandai [2] . Sehingga pengetahuan merupakan hasil dari proses usaha manusia untuk menjadi tahu.

Masalah munculnya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi, sebab akan menimbulkan jawaban yang bervariasi paham filsafatnya, apakah jawaban itu bersifat apriori (jawaban yang belum terbukti dengan pengalaman indra maupun batin) atau aposteriori (jawaban yang telah terbukti dengan adanya pengalaman dan percobaan). Dengan demikian, Abbas Hammami berpendapat bahwa pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif [3] . Dibawah ini ada beberapa sumber dalam memperoleh pengetahuan, yaitu :
1. Pengalaman indera (sense experience)
Pengindraan adalah alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan, karena pengetahuan berawal mula dari kenyataan yang dapat diinderai. Paham seperti ini dapat juga disebut dengan realisme, yaitu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui adalah kenyataan saja.
2. Nalar (reason)
penalaran (reason) yaitu berfikir dengan menggabungkan beberapa pemikiran yang dianggap dapat diterima (rasional) untuk memperoleh pengetahuan.
3. Otoritas (authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan karena dengan hak otoritas seseorang, kelompok memiliki pengetahuan, dan pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tidak diujikan lagi kebenarannya, karena kewibawaan sang penguasa.
4. Intuisi (intuition)
Intuisi adalah suatu kemampuan manusia melalui proses kejiwaan yang mampu membuat suatu pernyataan yang dapat diakui sebagai pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh dari intuisi ini tidak dapat dibuktikan melalui kanyataan, namun diyakini kuat sebagai pengetahuan.
5. Wahyu (revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan tuhan kepada utusannya untuk kepentingan umat. Yang kemudian dijadikan sebagai suatu kepercayaan karena didalamnya terdapat pengetahuan.

Bagi kelompok pragmatis [4] , seperti yang dinyatakan oleh John Dewey tidak membedakan antara pengetahuan (knowledge) dengan kebenaran (truth), jadi pengetahuan itu harus benar, dan setiap kebenaran adalah pengetahuan. Jika diambil kesimpulan dari john dewey diatas, pengetahuan itu bersifat umum, sehingga kajiannya pun sangat luas. Namun burhanuddin salam mengklasifikasikan pengetahuan itu kedalam 4 pokok bahasan [5], yaitu:
1) Pengetahuan biasa atau umum (common sense atau good sense), yaitu pengetahuan dasar yang dinilai sesuai dengan apa yang dirasakan, diketahui, dilihat (sesuai dengan fakta yang ada) yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: sesuatu dinilai atau dikatakan merah, karena memang keadaan warna yang sebenarnya adalah berwarna merah.
2) Pengetahuan ilmu (science), dapat di artikan secara sempit untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan objektif [6], yang berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense dengan cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
3) Pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang membahas suatu hal dengan lebih mendasar, luas dan mendalam.
4) Pengetahuan Agama, yaitu pengetahuan tentang ajaran ketuhanan, lewat utusan-NYA.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu. Sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berasal dari common sense yang kemudian di tindak lanjuti secara ranah yang lebih ilmiah, sehingga pengetahuan ilmiah merupakan a higher level of knowledge dalam dunia keilmuan. Maka dari itu filsafat ilmu tidak dapat dipisahkan dari filsafat pengetahuan .

Telah kita ketahui bersama bahwa pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang fisik. Namun pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi, baik lewat indra maupun akal, sebab pengetahuan adalah kepandaian dari segala sesuatu yang diketahui [7]. Sedangkan Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat keilmuan, dan dapat disebut sebagai pengetahuan ilmiah. Sehingga ada syarat-ayarat tertentu bagi suatu ilmu atau pengetahuan untuk bisa dikatakan sebagai suatu pengetahuan ilmiah. Adapun syarat-syaratnya antara lain adalah sebagai berikut [8] :
a) Harus memiliki objek tertentu (formal dan material).
b) Harus mempunyai sistem (harus runtut atau berkaitan).
c) Harus memiliki metode (deduksi, induksi atau analisis).

Menurut surajiyo dalam bukunya ilmu filsafat suatu pengantar, menjelaskan suatu ilmu atau pengetahuan ilmiah memiliki sifat atau ciri sebagai berikut :
a) Empiris. Pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
b) Sistematis. Berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan (berkaitan) dan teratur.
c) Objektif. Ilmu yang berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi (harus sesuai keadaan objek).
d) Analitis. Pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok persoalannya kedalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian tersebut.
e) Verivikatif. Dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.

Sedangkan menurut poedjawijatno sifat ilmiah itu adalah sebagai berikut :
a) Bermetode
b) berobjektivitas (memiliki objek)
c) universal (menyeluruh, umum)
d) bersistem

2.2 Pengertian Definisi Ilmu

Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif dalam menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia fuktual dan berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense [9]. Sehingga definisi ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar-benar disusun dengan sistematis dan metodologis untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji atau diverifikasi kebenarannya [10]. Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology atau teori pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada kedudukannya”.

Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi pada hakikatnya merupakan suatu kajian Filosofis yang bermaksud mengkaji masalah umum secara menyeluruh dan mendasar untuk menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Membahas Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan dapat diuji kebenarannya?, manakah ruang lingkup dan batasan-batasan kemampuan manusia untuk mengetahui?, serta membahas pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari adanya pengetahuan dan memberi pertanggung jawaban secara rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Sehingga epistemologi merupakan disiplin ilmu yang bersifat :
a) Evaluative, yaitu menilai apakah teori yang digunakan dapat dipertanggung jawabkan secara nalar atau tidak.
b) Normative, yaitu menentukan tolok ukur kebenaran atau norma dalam bernalar.
c) Kritis, yaitu menguji penalaran cara dan hasil dari pelbagai akal (kognitif) manusia untuk dapat ditarik kesimpulan.

Adapun cara kerja metode pendekatan epistemologi adalah dengan cara bagaimana objek kajian itu didekati atau dipelajari. Cirinya adalah dengan adanya berbagai macam pertanyaan yang diajukan secara umum dan mendasar dan upaya menjawab pertanyaan yang diberikan dengan mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Dengan tujuan agar manusia bisa lebih bertanggung jawab terhadap jawaban dan pandangan atau pendapatnya dan tidak menerima begitu saja pandangan dan pendapat secara umum yang diberikan.

Berdasarkan cara kerja atau metode yang digunakan, maka epistemologi dibagi menjadi beberapa macam. Berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum, epistemologi dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Epistemologi metafisis
Epistemologi metafisis adalah pemikiran atau pengandaian yang berasal dari paham tertentu dari suatu kenyataan lalu berusaha bagaimana cara mengetahui kenyataan itu. Kelemahan dari pendekatan ini adalah hanya menyibukkan diri dalam mendapatkan uraian dari masalah yang dihadapi tanpa adanya pertanyaan dan tindakan untuk menguji kebenarannya.
2. Epistemologi skeptis
Epistemologi skeptis lebih menekankan pada pembuktian terlebih dahulu dari apa yang kita ketahui sampai tidak adanya keraguan lagi sebelum menerimanya sebagai pengetahuan. Kelemahan dari pendekatan ini adalah sulitnya mencari jalan keluar atau keputusan.
3. Epistemologi kritis
Pada Epistemologi ini tidak memperioritaskan Epistemologi manapun, hanya saja mencoba menanggapi permasalahan secara kritis dari asumsi, prosedur dan pemikiran, baik pemikiran secara akal maupun pemikiran secara ilmiah, dengan tujuan untuk menemukan alasan yang rasional untuk memutuskan apakah permasalahan itu bisa diterima atau ditolak.

Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan atau sistem yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkkan penjelasan yang ada dengan metode tertentu. Dalam hal ini, ilmu mempunyai struktur dalam menjelaskan kajiannya. Struktur ilmu menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistematisir, terbangun atau terkonstruksi dalam suatu lingkungan (boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur nampak secara jelas. Struktur ilmu merupakan A scheme that has been devided to illustrate relationship among facts, concepts, and generalization, yang berarti struktur ilmu merupakan ilustrasi hubungan antara fakta, konsep serta generalisasi. Dengan keterkaitan tersebut akan membentuk suatu bangun kerangka ilmu tersebut. sementara itu, definisi struktur ilmu adalah seperangkat pertanyaan kunci dan metode penelitian yang akan membantu untuk memperoleh jawabannya, serta berbagai fakta, konsep, generalisasi dan teori yang memiliki karakteristik yang khas yang akan mengantarkan kita untuk memahami ide-ide pokok dari suatu disiplin ilmu yang bersangkutan. Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa terdapat dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu, yaitu :
1. A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan lingkungan (boundary) yang dimilikinya. Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan, dari mulai yang konkrit (berupa fakta) sampai ke level yang abstrak (berupa teori), semakin ke fakta maka semakin spesifik, sementara semakin mengarah ke teori maka semakin abstrak karena lebih bersifat umum.
2. A mode of inquiry, yaitu cara pengkajian atau penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.
Terkadang, “pengetahuan” dan “ilmu” disama artikan, bahkan terkadang dijadikan kalimat majemuk yang mempunyai arti tersendiri. Padahal, jika kedua kata tersebut dipisahkan, akan mempunyai arti sendiri dan akan tampak perbedaannya.

Ilmu adalah pengetahuan. Jika dilihat dari asal katanya, “pengetahuan” di ambil dari bahasa inggris yaitu knowledge, sedangakan “ilmu” dari kata science dan peralihan dari kata arab ilm atau ‘alima (ia telah mengetahui) sehingga kata jadian ilmu berarti juga pengetahuan. Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ditinjau dari segi bahasa, antara pengetahuan dan ilmu mempunyai sinonim arti, namun jika dilihat dari segi arti materialnya (kata pembentuknya) maka keduanya mempunyai perbedaan.

Dalam encyclopedia Americana, di jelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang besifat positif dan sistematis. The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles Of Scientific Research memberi batasan definisi ilmu, yaitu suatu bentuk proses usaha manusia untuk memperoleh suatu pengetahuan baik dimasa lampau, sekarang, dan kemudian hari secara lebih cermat serta suatu kemampuan manusia untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta merubah sifat-sifatnya sendiri [11], sedangkan menurut Carles Siregar, ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan [12].

Ilmu dapat memungkinkan adanya kemajuan dalam pengetahuan sebab beberapa sifat atau ciri khas yang dimiliki oleh ilmu. Dalam hal ini randall mengemukakan beberapa ciri umum dari pada ilmu [13] , diantaranya:
1. Bersifat akumulatif, artinya ilmu adalah milik bersama. Hasil dari pada ilmu yang telah lalu dapat digunakan untuk penyelidikan atau dasar teori bagi penemuan ilmu yang baru.
2. Kebenarannya bersifat tidak mutlak, artinya masih ada kemungkinan terjadinya kekeliruan dan memungkinkan adanya perbaikan. Namun perlu diketahui, seandainya terjadi kekeliruan atau kesalahan, maka itu bukanlah kesalahan pada metodenya, melainkan dari segi manusianya dalam menggunakan metode itu.
3. Bersifat obyektif, artinya hasil dari ilmu tidak boleh tercampur pemahaman secara pribadi, tidak dipengaruhi oleh penemunya, melainkan harus sesuai dengan fakta keadaan asli benda tersebut.


Prof. Drs .Harsojo menambahi, bahwa ciri umum suatu ilmu itu harus memiliki atau bersifat:
1. Bersifat rasional (masuk akal)
2. Bersifat empiris (sesuai kenyataan)
3. Bersifat umum (tidak boleh dimonopoli)
4. Bersifat akumulatif

2.3 Munculnya Ilmu Pengetahuan

Ilmu Pengetahuan muncul dari rasa ingin tahu yang merupakan sifat dan ciri khas manusia. Pengetahuan dapat dikembangkan oleh manusia karena ada 2 alasan yang mendasar, yaitu :
a) Manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan jalan pikirannya yang melatar belakangi munculnya ilmu pengetahuan.
b) Manusia mempunyai kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.

Dalam ruang lingkup filsafat, ilmu pengetahuan diketahui dari adanya beberapa aliran pemikiran, diantaranya :
1) Empirisme
Empirisme berasal dari bahasa yunani, empeirikos yang artinya “pengalaman”. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuannya lewat pengalaman. Yang dimaksud pengalaman disini adalah pengalaman indrawi (sense experience). Namun aliran seperti ini banyak kelemehannya, diantarnya :
a) Indera yang terbatas. Contoh : penglihatan terhadap benda yang jauh.
b) Indera yang menipu. Contoh : penderita malaria merasakan gula terasa pahit dll.
c) Objek yang menipu. Contoh : fatamorgana dan ilusi.

2) Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan, dengan cara manusia menangkap objek lalu diukur kebenarannya dengan akal. Dengan aliran ini, kesalahan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi dengan akal yang sehat. Namun dengan adanya alat indera, menjadikan akal terangsang untuk berfungsi dengan maksimal.

Adapun cara yang digunakan akal dalam menyusun pengetahuan adalah dengan melakukan penalaran atau mengolah konsep-konsep rasional yang universal yang sudah mapan. Kelemahan dari aliran ini adalah tidak dapat melakukan evaluasi kebenaran dari penalaran ini, sebab penalaran itu bersifat abstrak. Contoh, ide yang menurut seseorang baik belum tentu dianggap baik oleh orang lain.

3) Kritisisme
Aliran ini merupakan penyempurna dan penyelesaian dari pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Aliran ini dikemukakan oleh Immanuel kant dengan metode kritisismenya. Aliran ini menggunakan pengalaman sebagai pengumpul data, akal sebagai pengolah data atau konsep dengan dikuatkan oleh pengadaan eksperimen dan memasukkan ukuran-ukuran batasan tertentu. sehingga muncul 3 pengetahuan baru dalam aliran pemikiran ini, yaitu :
a) Pengetahuan analitis, yaitu pengetahuan yang memerlukan perhitungan analisis terhadap objek. contoh, adanya peritungan bahwa lingkaran itu bulat.
b) Pengetahuan sintetis aposteriori, yaitu pengetahuan yang dihubungkan dengan pengalaman indrawi. Misalnya pada kalimat “hari ini sudah turun hujan” merupakan suatu hasil observasi indrawi terhadap hujan yang telah turun.
c) Pengetahuan sintetis apriori, yaitu pengetahuan yang memadukan antara akal dengan pengalaman indrawi. Misalnya Ilmu pasti (sains), ilmu pesawat, ilmu alam, dll.

Dari ke-3 aliran diatas, semuanya bersandar pada hakikat pengetahuan yang tidak terlepas darinya, yaitu hakikat dari realisme dan idealisme.

Realisme adalah hakikat pengetahuan yang menggaris-bawahi bahwa pengetahuan akan bernilai benar jika sesuai dengan fakta atau keadaan yang sebenarnnya (kenyataan). Sedangkan idealisme memberikan gambaran bahwasannya pengetahuan tidaklah menggambarkan hakikat kebenaran, karena pengetahuan hanyalah pendapat atau penglihatan orang yang mengetahuinya (subjek). Dalam dunia filsafat, pengembangan ilmu pengetahuan itu dilandasi oleh 3 buah sistematika atau pendekatan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, diantaranya yaitu :
a) Ontologi, teori yang membahas atau mendefinisikan (apa) “keberadaan” sesuatu benda, atau ilmu secara empiris. Sehingga menghasilkan realitas, misalnya; apakah alam semesta itu?, apa yang dimaksud makhluk hidup? dll.
b) Epistemologi, teori yang mengkaji tentang pengetahuan. Epistemologi membahas “bagaimana” pengetahuan itu bisa lahir atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan itu, sehingga akan menghasilkan suatu metode ilmu yang nantinya akan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan (sains) seperti yang dikenal sekarang.
c) Aksiologi, teori yang membahas ”mengapa/ untuk apa” adanya ilmu atau suatu benda, sehingga menghasilkan tujuan dan nilai (yang didalamnya terkandung norma sosial, dasar berpikir/ bernalar, landasan hidup dan guna dari pengetahuan tersebut, dll).

2.4 Ruang Lingkup Ilmu Pengetahuan

Filsafat ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang bidang kajiannya umum dan sangatlah luas, sehingga perlu adanya batasan atau ruang lingkup dalam kajiannya dengan tujuan untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan bidang kajiannya sesuai dengan kelompok yang sesuai, sehingga akan lebih mudah dalam mempelajari dan memahaminya.

Karena filsafat ilmu pengetahuan ini pada hakikatnya mempelajari bagaimana proses terbentuknya sesuatu (ilmu pengetahuan), maka secara garis besar kajiannya mencakup objek dan sudut pandang yang terjadi dalam proses tersebut.

2.4a Objek

Didunia ini banyak sekali lapangan pengetahuan yang masing-masing mempunyai ilmu pengetahuan tersendiri, seperti contoh ilmu alam, ilmu sosiologi, ilmu hayat, ilmu bumi, ilmu exact dll. Selain itu mungkin ada 2 atau lebih ilmu pengetahuan yang objek kajiannya sama namun ada pada dalam ilmu kajian yang berbeda, seperti ilmu kedokteran, ilmu jiwa, ilmu sosiologi, ilmu mendidik/ pendidikan dsb, semua objek kajiannya adalah manusia. Selain itu pula, ada ilmu antropologi, ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu alam/ sains dsb, juga objek kajiannya adalah manusia. Lalu apa yang membedakan pelbagai ilmu pengetahuan tersebut?. Maka secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa objek kajian ilmu pengetahuan adalah alam, manusia dan juga semua yang ada dan yang mungkin ada. Objek itu sendiri dibagi menjadi 2, yaitu :
a) Objek material, yaitu objek jika dilihat keseluruhan. Contoh: manusia, minyak tanah, dokter (dalam keseluruhan dan belum mendapat perlakuan)
b) Objek formal (sudut pandang), yaitu objek jika dipandang menurut suatu aspek atau sudut tertentu saja dan yang telah diberi perlakuan (sebagai terapaan). Contoh: kedokteran untuk orang yang sakit, arca yang merupakan kumpulan dari batu yang dibentuk, dll.

2.4b Sudut Pandang

Mengapa sudut pandang begitu penting? Sesungguhnya manusia itu terbatas, dari berbagai benda yang ada, ia hanya bisa melihat satu sudut saja, sebaliknya satu objek benda dapat dipandang dari berbagai sudut. Misalnya minyak tanah jika dilihat dari susunannya, maka terjadilah ilmu kimia. Jika dilihat dari tempat terbentuknya, akan jadi ilmu geologi, dsb.

2.5 Perbedaan Filsafat Pengetahuan dengan Ilmu

Berbicara perbedaan antar ilmu filsafat dengan ilmu yang lain, dapat kita lihat dari beberapa aspek, yaitu [14] :
Aspek Ilmu Filsafat :
1 lahan pembahasan Bersifat luas dan menyeluruh, tidak membatasi pembahasan.
2 Tujuan Mencari tahu asal-asul, hubungan dan proses interaksi antara manusia dengan alam.
3 Cara pembahasan Menggunakan akal pikiran.
4 kesimpulan Tidak memberikan kesimpulan atau keyakinan yang mutlak.

Ilmu Pengetahuan:
1.Bersifat sempit dan membatasi pembahasan/ penyelidikan.
2.Hanya meneliti sifat-sifat alam dan kejadian didalamnya saja.
3.Menggunakan panca indera dan percobaan-percobaan.
4.Memberikan kepastian dengan didasari penglihatan dan percobaan yang dikemas melalui rumusan penelitian.

2.6 Berpikir Filosofis

Berfikir kefilsafatan atau filosofis memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dengan ilmu yang lain. Berikut ini beberapa ciri berfikir filosofis menurut ali mudhofir dalam bukunya “pengenalan filsafat” [15], yaitu :
1. Radikal, artinya berfikir sampai pada substansinya atau akar-akarnya yang terpenting.
2. Universal, artinya bersifat menyeluruh menyangkut pengalaman umum manusia.
3. Konseptual, artinya merupakan hasil dari pengalaman (konsep) manusia.
4. Koheren (sesuai kaidah berfikir logis) dan konsisten (bernilai benar, tidak kontradiksi).
5. Sistematik, artinya berkaitan atau saling berhubungan secara teratur dalam sistematika dan mengandung tujuan tertentu.
6. Komprehensif, artinya bersifat menjelaskan secara menyeluruh.
7. Bebas, artinya berupa hasil pemikiran yang bebas tanpa adanya keterikatan
8. Bertanggung jawab, artinya seorang filsuf harus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya.

Selain mempunyai ciri diatas, bagi seorang filsuf harus memiliki 5 prinsip penting dalam berfilsafat [16] , yaitu :
1. Tidak boleh merasa paling tahu dan paling benar sendiri (congkak).
2. Memiliki sikap mental, kesetiaan dan jujur terhadap kebenaran.
3. Bersungguh-sungguh dalam berfilsafat serta berusaha dalam mencari jawabannya.
4. Latihan memecahkan persoalan filsafati dan bersikap intelektual secara tertulis maupun lisan.
5. Bersikap terbuka.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Pengetahuan merupakan hasil dari proses usaha manusia untuk menjadi tahu, sedangkan ilmu dapat diartikan sebagai suatu metode berfikir secara obyektif dalam menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia fuktual dan berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, sehingga ilmu pengetahuan merupakan kumpulan pengetahuan yang benar-benar disusun dengan sistematis dan metodologis untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji atau diverifikasi kebenarannya.
Adapun munculnya ilmu pengetahuan secara filosofi, dapat digambarkan dengan adanya struktur ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu:
1) Fakta (realita dari common sense) dan konsep (rencana dasar).
2) Generalisasi (proses dari berfikir untuk mendapatkan pendapat yang global) dan teori (pedoman dasar).
3) Proposisi (rancangan usulan) dan asumsi (praduga atau anggapan sementara).
4) Definisi/ batasan atau ketentuan pengertian.
5) Paradigma (bentuk kasus serta pemecahannya atau pandangan ilmu pengetahuan).

Struktur ilmu pengetahuan diatas, terbentuk dengan diawali oleh common sense yang kemudian diolah dengan kaidah dan metode ilmiah serta berlandaskan ontology, epistemology dan axiology, sehingga menjadikannya sebagai filsafat ilmu pengetahuan.

Sedangkan bagi seorang filsuf hendaknya mempunyai ciri dalam berfilosofis terhadap ilmu pengetahuan, diantaranya dengan memiliki ciri sebagai berikut:
1. Radikal 5. Universal
2. Konseptual 6. Koheren
3. Sistematik 7. Komprehensif
4. Bebas 8. Bertanggung jawab

Kedudukan filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan, memiliki proses perumusan yang sangat sulit dan membutuhkan pemahaman yang mendalam serta memiliki bidang kajian yang sangat luas dibanding ilmu yang lain yang semuanya itu untuk mendalami dan memahami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat mengetahui dan memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu tersebut.

Adapun sumber dari pengetahuan berasal dari: pengalaman indera (commen sense), nalar, otoritas, intuisi dan wahyu. Sedangkan hakikat ilmu pengetahuan adalah mempelajari bagaimana proses terbentuknya sesuatu (ilmu pengetahuan) dengan dasar realisme dan idealisme yang bertujuan meneliti sifat-sifat alam dan kejadian secara sistematis dan metodologis untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan bidang kajiannya sesuai dengan kelompok yang sesuai, sehingga akan lebih mudah dalam mempelajari dan memahaminya.

Daftar Pustaka

Bakhtiar, Amsal .2004. Filsafat Ilmu (edisi revisi). PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat ; Suatu Pengantar. Bumi Aksara: Jakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Balai Pustaka: Jakarta.

Salam, Burhanuddin. 2005. Pengantar Filsafat. Bumi Aksara : Jakarta.

AM, Suhar. 2009. Filsafat Umum; Konsepsi, Sejarah dan Aliran. GP Press : Jakarta.

Mustansir, Rizal, dkk. 2007. Filsafat Ilmu. pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Gazalba, Sidi.1992.Sistematika Filsafat, Cet.1. Jakarta: Bulan Bintang.




Endnote:

[1] Amsal Bakhtiar.2004. Filsafat Ilmu (edisi revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm 85

[2] Sidi Gazalba.1992.Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. Cet 1. Hal 21

[3] Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat ; Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. hlm 55

[4] Pragmatis adalah kelompok yang meyakini benar, jika dapat membuktikan kebenaran tersebut.

[5] Burhanuddin Salam. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 5

[6] Ibid. Hlm. 9

[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: balai Pustaka

[8] Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat ; Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. hlm 62-63

[9] Burhanuddin Salam. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 10

[10] Dikutip dari Abdul Malik Karim Amrulloh, M.Pd.I saat pengajaran perkuliyahan filsafat ilmu dikelas PAI/E

[11] Amsal Bakhtiar.2004. Filsafat Ilmu (edisi revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm.91

[12] Ibid.

[13] Burhanuddin Salam. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 23-24

[14] Suhar A.M. 2009. Filsafat Umum; Konsepsi, Sejarah dan Aliran. Jakarta: GP Press. Hlm 13-16

[15] Rizal Mustansir, dkk. 2007. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: pustaka Pelajar. Hlm 4-5

[16] Ibid. hlm 36-38


*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi. ketentuan hak cipta berlaku
READ MORE - Makalah Filsafat Ilmu; struktur dasar ilmu pengetahuan dalam filsafat

Popular Posts

Share