Minggu, 03 Juni 2012
Fiqh 1 Bab Cerai
19.01 | Diposting oleh
eko aw |
Edit Entri
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap mencantumkan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku
READ MORE - Fiqh 1 Bab Cerai
CERAI
- PENGERTIAN CERAI ATAU TALAK
Talak diambil dari
kata itlak,
artinya melepaskan, atau meninggalkan. Dalam istilah agama, talak
adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan
pernikahan.
Mengutip
pendapat yang dikemukan Abdurrahman al-jaziri bahwa makna talak
secara bahasa adalah melepaskan ikatan atau mengurangi pelepasan
ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangakan secara
istilah al-jaziri mengatakan :
ازالة
النّكاح رفع العقد بحيث لا تحلّ له الزّوجة
بعد ذلك.
Sedangakan Sayyid
Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan
ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu
sendiri. Dari definisi diatas jelaslah bahwa telak merupakan sebuah
lembagai yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan.
Disamping itu lembaga talak dalam Islam juga menunjukan bahwa konsep
perkawinan dalam Islam bukanlah sebuah sakramen seperti yang terdapat
dalam agama Hindu dan Budha, yakni sebuah perkawinan tidak bisa
diputuskan. Talak dalam Islam merupakan alternatif terakhir sebagai
upaya solutif terhadap persolan rumah tangga sehingga keberadaannya
tidak lepas dari persoalan-persolan yang melatar belakanginya.
Seperti percekcokan yang terjadi terus menerus, adanya nusyuz baiak
yang dilakukan oleh isteri maupun suami Adapun beberapa unsur atau
rukun yang harus dipenuhi dalam talak sebagaimana dikemukan
Abdurrahman al Jaziri diantaranya, adanya suami dan isteri, adanya
sighat talak, dan adanya niat atau maksud untuk menceraikannya.
- Talaq dalam Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Lahirnya regulasi
perkawinan dalam bentuk undang-undang dan KHI (Kompilasi
Hukum Islam)
tidak lain adalah untuk mengatur ketertiban, manjamin dan menjaga
hak-hak kedua belah pihak agar tidak dirampas. Oleh karena itu
perceraian bukanlah persolan Indvidual
Affair semata
akan tetapi sudah pula masuk dalam wilayah kewenangan Negara sebagai
pengaturnya. Dalam perspektif undang-undang sebagaimana dijelaskan
dalam UU No. Tahun 1974 pasal 38 dinyatakan :
Perkawinan dapat
putus karena 3 sebab, yaitu:
a. kematian
b. perceraian
c. atas keputusan
Pengadilan.
Redaksi pasal
tersebut sama dengan redaksi pasal yang ada di Kompilasi Hukum Islam
pasal 113. Apabila merujuk pada UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, maka
perceraian hanya bisa dilakukan di muka pengadilan. Sebagaimana bunyi
pasal UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan pasal 39 dinyatakan :
- Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
- Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an bahwa suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
- Tata cara perceraian di depan pengadilam diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Kemudian pada
pasal 115 KHI dinyatakan :
Perceraian hanya
dapat dilakukan didepan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan
Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
Dari dua redaksi
pasal tersebut diatas dapat diketahui adanya perbedaan antara UU No.1
Tahun 1974 dengan KHI. Dalam KHI dinyatakan bahwa putusnya perkawinan
yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Kedua istilah tersebut tidak terdapat
dalam UU Perkawinan. Dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, ketentuan mengenai perceraian juga diatur dalam pasal 66 ayat
(1) :
Seseorang suami
yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan siding guna penyaksian
ikrar talak.
Selanjutnya
menyangkut saat mulai terjadinya perceraian karena talak dijelaskan
didalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 17 sebagai berikut :
Sesaat setelah
dilakukan siding pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang
dimaksud dalam pasal 16. Ketua pengadilan membuat surat keterangan
tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu
dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi untuk
diadakan pencatatan perceraian.
Pada pasal 18
dinyatakan :
Perceraian itu
dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan siding
Pengadilan. Dalam hal ini KHI nampaknya sama dalam memandang saat
awal perhitungan terjadinya talak seperti terdapat pada pasal 123 :
Perceraian itu
terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
Pengadilan.
- Macam-Macam Talak
Ditinjau
dari segi wakttu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi
tigamacam sebagai berikut:
- Talak sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.Perceraian dikatakan talak sunni bila memenuhi empat syarat:
- Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli.
- Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak.
- Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci.
- Suami tidak pernah dikumpuli istri selama dalam masa suci dalam manatalak itu dijatuhkan.
- Talak Bid’I, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengantuntunan sunnah. Yang termasuk talak Bid’I:
- Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haidh.
- Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah dikumpuli oleh suami.
- Talak Sunni Wal Bid’I, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak Sunni maupun talak Bid’I.
- Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli.
- Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haidh/telah lepashaidh.
- Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaittu:
- Talak Sahih, yaitu talak yang diucapkan dengan jelas sehingga ucapantersebut tidak dapat diartikan lain. Contoh: “aku talak engkau” atau “akuceraikan engkau”.
- Talak Inayah, yaitu ucapan talak yang tidak jelas atau melalui sindiran.Contoh: “pulanglah kamu”.Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
- Talak Raj’I, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernahdikumpuli bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertamakali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Firman Allah dalam
surat Al-Thalak ayat 1:
Hai Nabi, apabila
kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui
barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
- Talak Ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya, unttuk mengembalikan bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syaratnya. Talak ba’in ada dua macam:
- Talak Ba’in Sughra, yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akadnikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
- Talak Ba’in Qubra, yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak initidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali kecuali bekas istrinyatelah menikah dengan orang lain.Ditinjau dari cara suami menyampaikan talak terhadap istrinnya, talak ada beberapa macam:
- Talak dengan ucapan.
- Talak dengan tulisan.
- Talak dengan isyarat.
- Talak dengan putusan.
Ditinjau dari masa
berlakunya talak dapat berlaku seketika, artinya tidak bergantung
pada waktu atau keadaan tertentu.Hukum Talak Berdasarkan
bentuk-bentuk peristiwa talak yang tersebut diatas, maka talak dapat
dibedakan ketetapan hukumnya yang dinamakan hukum talak:
- Talak wajib, yaitu wajib hukumnya melakukan talak kalau konflik antara suami istri terus menerus terjadi dan tidak dapat dipertemukan lagi baik oleh keluarga maupun oleh Pengadilan Agama.
- Talak haram, yaitu haram hukumnya bagi seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri tanpa sebab yang sah.
- Talak mubah, yaitu menceraikan istri tidak dianjurkan, tidak diwajibkan, atau tidak diharamkan asalkan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan akibat buruk bagi para pihak setelah terjadi perceraian itu.
- Talak sunnah, yaitu sunnah hukumya menceraikan istri kalau ia tidak mau merubah kebiasaan buruknya semasa belum kawin atau tidak mau menjaga harga diri sebagai seorang istri.
- Talak haram ringan, yaitu seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri dalam keadaan menstruasi yang sebelumnya tidak pernah digauli.
- Kewajiban Setelah Perceraian
Setelah proses
perceeraian selesai, tidak otomatis maka hak dan kewajibanantara
masing-massing mantan suami istri tersebut menjadi hilang. Ada
beberapa hak dan kewajiban yang masih harus dilakukan oleh keduanya
walaupun telah bercerai.Hal ini berdasarkan ketentuan yang tertulis
dalam Al-quran dan sunnah yang mana Al-Quran dan sunnah lebih banyak
menyebut keadaan istri (bagaimana para aktifis gender?).Diantara hak
dan kewajiban bagi mantan suami setelah bercerai adalah memberikan
nafkah sandang dan pangan bagi mantan istrinya selama dalam iddah.
Jadi bagi istri yang belum dicampuri tidak punya hak untuk memperoleh
nafkah tersebut karena ia juga tidak punya masa iddah. Hal ini hanya
berlaku bagi istri yang telah dicampuridan hanya menyesuaikan dengan
keadaan istri tersebut. Bila istri sedang hamil maka memberi nafkah
sampai ia melahirkan (sesuai dengan masa iddahnya), jika istri
tersebut sedang suci maka selama tiga kali suci –tiga kali masa
menstruasi- (sesuai dengan masa iddahnya).
- Implikasi dan Dampak Bagi Individu Dan Sosial Positif Dan Negatif
Perkawinan adalah
keadaan yang menyenangkan dimana dua insanmembangun mahligai rumah
tangga demi melanjutkan keturunannya. Kehidupanyang baru bagi orang
yang baru melakukan perkawinan tentunya akan menemui berbagai masalah
yang harus dihadapi dan diatasi bersama. Sifat atau karakter
masing-masing (suami atau istri) harus dapat disesuaikan demi
kelancaran perjalanan rumah tangga. Benturan dari berbagai masalah
yang tak kunjung habis tentunya tidak semua dapat diatasi bersama,
bahkan tak jarang suami ataupun istri memaksakan kehendaknya (egois)
sehingga timbullah masalah-masalah baru yang berujung pada
penyelesaian akhir yaitu cerai.Islam pada dasarnya membenci adanya
"cerai" karena itu berarti manusia tidak dapat berdamai dan
hidup rukun. Akan tetapi dalam kehidupan manusia selalusaja menemukan
masalah-masalah yang terkadang manusianya tidak dapat atau tidak
mampu memyelesaikan masalah tersebut. Islam memaknai cerai sebagai
jalan terbaik bagi kedua pasangan suami istri ketika memang tidak
ada jalan lain, jika terdapat jalan yang lebih atau dipandang lebih
layak dari cerai maka hendaklah cerai itudicegah. Hal ini dikemukakan
karena mengingat banyaknya kekhawatiran yangdirasakan oleh si pelaku
cerai dan keadan masyarakat disekitarnya.Kasus perceraian yang sering
kita dengar dari TV (dalam hal ini artis-artis), mendengar berita itu
saja kita sudah beranggapan "yang tidak-tidak", mengingat
status janda atau pun duda sangatlah rawan akan pembicaraan
orang-orang. Beban psikologis juga dirasakan pada anak-anak mereka
(apabila si pelaku cerai mempunyai anak) karena tidak menutup
kemungkinan ia akan kehilangan kasih sayang, diejek teman-temannya
dan itu akan lebih mungkin akan menjerumuskan diri si anak pada
hal-hal yang menyesatkan.
Kesimpulan
Prinsip dasar
pernikahan dalam Islam adalah menikahi wanita untuk menjadi istrinya
sepanjang hidup. Apabila pernikahan antara seorang laki-laki dan
perempuan telah berlangsung maka babak selanjutnya adalah peran kedua
belah pihak untuk menjawab berbagai tantangan dan problem rumah
tangga, karena rumah tangga tidak akan sepi dari masalah. Seorang
suami tidak dibolehkan menjadikan talak sebagai senjata pamungkas
untuk mengancam, menekan dan memprovokasi istrinya, sedikit-sedikit
bilang, “Awas kamu akan kuceraikan.” Ini selain manyakiti batin
istri juga akan menambah keretakan rumah tangga dan menjauhkan hati
suami dan istri. Namun hendaknya talak merupakan akhir dari pemecahan
suatu masalah setelah berbagai cara yang ditempuh menemui jalan buntu
dan diperkirakan jika terus dipertahankan maka keadaan rumah tangga
semakin memburuk
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, slamet,
aminudin, FIQIH
MUNAKAHAT,
pustaka setia. Bandung
Label:
Cerai
|
0
komentar
Fiqh 1 Bab Shaf dalam Shalat Berjamaah
18.56 | Diposting oleh
eko aw |
Edit Entri
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku
Dalam sebuah hadis dari Bara’ bin Azib Ra., dia telah berkata: “Rasulullah biasa meneliti celah-celah shaf dari satu sisi ke sisi lainnya. Beliau mengusap dada-dada dan bahu-bahu kami seraya bersabda: “Janganlah kamu berselisih karena hal itu dapat menyebabkan hati kamu berselisih juga. Dan beliau bersabda lagi: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla dan para malaikat-Nya memberikan rahmat kepada shaf-shaf yang paling depan” (HR. Imam Abu Dawud).
Dari keterangan hadis di atas teranglah bagi kita bahwa merapikan shaf itu dengan merapatkan bahu, yakni menghilangkan celah-celah antara bahu dengan bahu, sehingga rapat satu dengan yang lainnya seumpama tembok yang kokoh.
READ MORE - Fiqh 1 Bab Shaf dalam Shalat Berjamaah
SHAF DALAM SHALAT BERJAMAAH
- Pengertian shaf
Shaf,
adalah barisan kaum muslimin dalam sholat berjamaah. Salah satu
kesempurnaan sholat berjama’ah adalah tergantung pada kesempurnaan
shaf. Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat
menganjurkan serta menjaga kerapian dan kesempurnaan shaf. Sedemikian
pentingnya hal ini sehingga beliau tidak akan memulai sholat jama’ah
jika shaf-shaf para shahabat Radhiyallahu ‘Anhu belum tersusun rapi
terlebih dahulu.
Dalam sebuah hadis dari Bara’ bin Azib Ra., dia telah berkata: “Rasulullah biasa meneliti celah-celah shaf dari satu sisi ke sisi lainnya. Beliau mengusap dada-dada dan bahu-bahu kami seraya bersabda: “Janganlah kamu berselisih karena hal itu dapat menyebabkan hati kamu berselisih juga. Dan beliau bersabda lagi: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla dan para malaikat-Nya memberikan rahmat kepada shaf-shaf yang paling depan” (HR. Imam Abu Dawud).
Dari keterangan hadis di atas teranglah bagi kita bahwa merapikan shaf itu dengan merapatkan bahu, yakni menghilangkan celah-celah antara bahu dengan bahu, sehingga rapat satu dengan yang lainnya seumpama tembok yang kokoh.
Hari
ini, ada segelintir umat Islam yang berfaham bahwa merapikan shaf
adalah dengan merapatkan kaki-kaki, dan bukan bahu. Untuk itu, mereka
mengangkangkan kaki-kaki mereka lebar-lebar agar mata kaki mereka
merapat satu dengan yang lainnya. Hal ini tidak pernah diajarkan nabi
kepada kita. Tidak ada dikatakan di dalam hadis bahwa sebelum memulai
sholat berjama’ah, nabi memeriksa shaf-shaf seraya mengusap-usap
tumit dan mata kaki para shahabat. Tetapi yang ada di dalam
hadis-hadis adalah nabi mengusap dan meratakan bahu serta dada para
shahabat, bukan tumit dan bukan pula mata kaki!
Dalam
kenyataannya, jika posisi kaki yang dilebarkan, kemudian dirapatkan
antara sesama mata kaki, maka menjadi rengganglah bahu-bahu para
jama’ah antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian menjadi
berselisihlah para individu yang ada dalam shaf-shaf itu satu dengan
lainnya. Hal ini justru sangat dilarang oleh nabi Muhammad junjungan
kita itu.
Dalam satu hadis yang lain Rasulullah bersabda: “Luruskanlah shaf-shaf kamu dan sejajarkanlah bahu-bahu kamu, bersikap lemah lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kamu, serta rapatkanlah celah-celah yang kosong, karena sesungguhnya syaitan menyusup di antara kamu seperti seekor anak kambing kecil” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Dalam satu hadis yang lain Rasulullah bersabda: “Luruskanlah shaf-shaf kamu dan sejajarkanlah bahu-bahu kamu, bersikap lemah lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kamu, serta rapatkanlah celah-celah yang kosong, karena sesungguhnya syaitan menyusup di antara kamu seperti seekor anak kambing kecil” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Keterangan
hadis di atas sangat nyata bagi kita bahwa menyempurnakan shaf adalah
dengan meluruskan dan merapatkan bahu serta menutup celah-celah yang
terbuka. Para ulama mengajarkan kepada kita agar shaf menjadi rapat
dan sempurna, maka kaki tidak boleh dibuka lebar-lebar, karena dapat
menyebabkan renggangnya bahu. Yang paling baik adalah dengan membuka
kaki sekitar satu jengkal saja. Dengan demikian lebar kaki akan
sejajar dengan lebar bahu, sehingga dengan demikian menjadi rapatlah
kaki-kaki jama'ah sebagaimana rapatnya bahu-bahu mereka.
Imam
‘Aini dalam kitabnya Sarah Sunan Abu Dawud, Jilid III, halaman 217,
menjelaskan sabda nabi: “Bersikap lemah lembutlah terhadap
tangan-tangan saudara kamu”. Maksudnya adalah bila seseorang datang
dan masuk ke dalam shaf sebaiknya masing-masing orang melembutkan dan
melenturkan kedua bahunya sehingga orang yang baru masuk ke dalam
shaf tersebut dapat dengan mudah dan nyaman mengikuti sholat
berjama'ah.
Keterangan
di atas membuktikan bahwa sholat berjama'ah itu dilakukan dengan
lembut dan lentur tidak berdiri kokoh kaku dan tegap seperti robot
besi. Perilaku sholat seperti ini buruk adanya. Dan, tidak dapat
dipungkiri bahwa akhir-akhir ini sudah terlihat banyak juga orang
yang sholat seperti robot itu, tegak, kaku, keras dengan kaki
mengangkang lebar. Semoga Allah menunjuki mereka……. Amin…….!
Selanjutnya,
ada banyak hadis nabi yang memerintahkan kita untuk merebut shaf
pertama karena besarnya rahmat Allah yang tercurah pada shaf pertama
dalam sholat berjama'ah. Di antaranya hadis dari Irbath bin Syariah
Radhiyallahu ‘Anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam biasa berdoa memohonkan ampun untuk shaf pertama sebanyak
tiga kali, dan untuk shaf kedua, beliau memohonkan ampun sebanyak
satu kali saja(HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Thabrani).
Dalam
hadis yang lain Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik shaf bagi
laki-laki adalah shaf yang pertama dan shaf yang terburuk bagi
laki-laki adalah yang terakhir, sedangkan bagi perempuan shaf yang
terbaik adalah shaf yang terakhir, dan yang paling buruk bagi
perempuan adalah shaf yang pertama.” (H.R. Muslim, Bab Meluruskan
Shaf, nomor 985).
Dalam
sholat berjamaah sangat penting untuk menjaga agar shaf tidak
terputus. Dengan demikian jika ada celah yang merenggang ketika
sholat berjama’ah sedang berlangsung, disunnahkan bagi kita untuk
bergeser sedikit untuk merapatkan shaf yang merenggang itu. Bergeser
merapatkan shaf adalah mengarah ke tengah tempat imam berdiri. Orang
yang melakukan amalan untuk menutup celah yang muncul saat shalat
berjama'ah akan diberi pahala dan diberi rahmat kepada Allah
Subhanahu Wata’ala, sesuai dengan sabda nabi: “Barangsiapa
mengisi celah dalam shaf sholat berjama'ah, maka diampuni Allah
dosa-dosanya”. (HR. Al Bazar, Hasan Shohih, Majmu’ Azzawaid,
Jilid II, Halaman 251).
Dalam
hadis yang lain Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menyambung shaf
maka Allah akan menyambung hubungan kasih sayang kepadanya dan
barangsiapa memutuskan shaf, maka Allah akan memutuskan hubungan
dengannya” (HR. Abu Dawud)
\Di
dalam hadis lain lagi dari Abdullah bin Umar dia berkata Rasulullah
telah bersabda: “Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang
paling lembut bahunya dalam sholat berjamaah. Dan tidak ada langkah
yang lebih besar pahalanya dari pada langkah yang diayunkan seorang
lelaki menuju celah yang terdapat pada sebuah shaf, kemudian orang
itu menutup celah tersebut” (HR. Al Bazar dan Thabrani, Hasan)
Hadis
di atas menjelaskan betapa dalam sholat berjama'ah umat Islam
diperintahkan oleh nabi untuk melembutkan bahunya, bukan sebaliknya
malah mengeraskan bahu dan mengokohkan kaki lebar-lebar seperti robot
besi yang kaku. Hadis di atas juga menjelaskan boleh melangkah
sedikit untuk menutup celah yang muncul dalam shaf sholat berjamaah.
Imam Syafi’i masih mengizinkan menggerakkan anggota tubuh yang
besar asal jangan sampai tiga kali berturut-turut. Menggerakkan
dengan sengaja anggota tubuh yang besar tiga kali berturut-turut
dapat membatalkan sholat.
Adapun
orang yang batal wudhu’ dan sholatnya karena berhadas kecil ketika
sedang mengerjakan sholat berjamaah, disunatkan duduk pada tempat
sholatnya dan tidak menerjang shaf-shaf kaum muslimin, yang sedang
berjama’ah bersamanya. Orang itu tidak dihitung memutuskan shaf
walau terhenti dari sholatnya dan duduk di tempat sholatnya itu,
sementara jama’ah lain terus menyelesaikan sholat mereka. Alam hal
ini, seolah-olah orang yang batal sholatnya itu dianggap sebagai
tiang dalam masjid tersebut. Bagaimanapun seorang muslim yang
berhadas kecil tidaklah najis keberadaannya.
Selanjutnya
jika sholat berjama'ah telah selesai dilaksanakan, maka orang yang
berhadas itu dapat segera berwudhu’ lagi, untuk kemudian mengulangi
sholatnya yang batal tadi secara sendirian. Adapun pahala yang akan
diterimanya tetap sebesar 27 derajat karena dia dianggap tetap dalam
jamaah, walaupun pada kenyataannya dia terluput dari sholat
jama'ahnya sebab hadas kecil yang menerpa dirinya itu. Hal ini telah
pun ditegaskan oleh nabi dalam beberapa hadis yang shohih.
- Menyempurnakan shaf mencakup beberapa hal, diantaranya :
1.Menyempurnakan
shaf yang paling depan terlebih dahulu kemudian shaf berikutnya dan
seterusnya.
2.Meluruskan
shaf yang tidak diperbolehkan bagi setiap makmum untuk lebih maju
atau lebih mundur dibanding makmum lainnya.
3
Merapatkan shaf dengan merapatkan pundak dan mata kaki makmum dengan
pundak dan mata kaki makmum lainnya.
4.Mendekatkan
setiap barisan shaf dengan barisan shaf yang ada di depannya sejarak
sujudnya seseorang dengan sempurna
Beberapa
hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyebutkan perintah
dan keutamaan menyempurnakan shaf. Di sisi lain, juga menyebutkan
larangan dan ancaman terhadap orang yang mengabaikan shaf dalam
shalat berjamaah. Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam menerangkan tata cara (kaifiyat) shaf dalam shalat
berjamaah. Sungguh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi kita,
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
- Perintah dan Keutamaan Menyempurnakan Shaf
1.Hadits
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):
“Luruskan
shaf- shaf kalian karena meluruskan shaf itu termasuk dari menegakkan
shalat.”
[H.R Al Bukhari].
[H.R Al Bukhari].
2.Hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda (artinya):“…dan
tegakkanlah shaf dalam shalat kalian karena menegakkan shaf itu
termasuk dari kebaikan shalat.”
[H.R Al Bukhari dan Muslim].
Dua
hadits tersebut menyebutkan tentang perintah sedangkan hukum asal
perintah Allah atau Rasul-Nya adalah wajib. Wallahu a’lam
3.Hadits
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda (artinya):“Sesungguhnya
Allah dan para malaikat bershalawat untuk orang- orang yang
menyambung shaf dan barangsiapa menutup celah pada shaf (shalat) maka
Allah akan angkat derajat orang tersebut.”
[H.R Ibnu Majah dan asy-Syaikh Al Albani menshahihkannya dengan
beberapa riwayat pendukung lainnya di dalam ash-Shahihah 2532].
Makna
shalawat dari Allah adalah pujian Allah terhadap hamba-Nya di hadapan
para malaikat. Sedangkan shalawat dari malaikat adalah permohonan
ampunan dan rahmat dari para malaikat kepada Allah untuk hamba
tersebut.
4.Hadits
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda (artinya):“Barangsiapa
menutup celah pada shaf (shalat) maka Allah akan membuatkan rumah
baginya di surga dan Allah akan angkat derajatnya.”
[Ash-Shahihah 1892].
5.Hadits
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah
Shallallahu ‘aalihi Wasallam bersabda (artinya): “…dan
tidaklah ada sebuah langkah kaki yang lebih besar pahalanya daripada
langkah kaki seseorang menuju celah pada shaf (shalat) lalu ia
menutupnya.”
[Ash-Shahihah 2533].
Subhanallah
!
Keutamaan- keutamaan yang sangat agung dan tidak dapat dibandingkan
dengan harta sebanyak apa pun yang kita miliki, untuk sebuah amal
shalih yang sangat mudah kita lakukan. Semoga keimanan mendorong kita
untuk melakukannya dengan ijin Allah.
- Larangan dan Ancaman Bila Tidak Menyempurnakan Shaf.
1.Hadits
‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari radhiyallahu ‘anhu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Luruskanlah
(shaf) kalian dan janganlah kalian saling menyimpang, niscaya kalbu
kalian akan saling menyimpang pula..”
[H.R Muslim].
Sungguh
! Penyimpangan di dalam bentuk tidak rapat atau tidak lurusnya shaf
akan menimbulkan penyimpangan dalam kalbu orang yang melakukan
penyimpangan tersebut.
2.Hadits
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Barangsiapa
menyambung shaf maka Allah akan menyambung (kebaikan) nya dan
barangsiapa memutuskan shaf maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memutus
(kebaikan) nya.”
H.R An-Nasa’i. Lihat Abu Dawud dan dishahihkan asy-Syaikh Al
Albani].
Ancaman
yang disebutkan dua hadits di atas ini sangat jelas menunjukkan bahwa
tidak menyempurnakan shaf dalam bentuk tidak merapatkan atau
meluruskan shaf adalah perkara yang diharamkan, dapat mengurangi
kesempurnaan shalat. Wallahul Musta’an !
- FaedahDari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau mendatangi kota Madinah lalu ditanya:“Apa yang anda ingkari dari amalan kami sejak hari anda masih bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam ?” Maka Anas menjawab :”Tidaklah aku mengingkari sesuatu pun melainkan kalian sudah tidak menegakkan shaf- shaf (shalat).”
[Al Bukhari]
Apabila
pengingkaran itu telah terjadi di masa para tabi’in, tidak lama
sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, lalu bagaimana
jika Anas melihat secara langsung sebagian manusia yang tidak
menyempurnakan shaf di masa sekarang ?!
Seorang
Imam Dituntut Untuk Mengingatkan/ Meminta Para Makmum Agar
Menyempurnakan Shaf
An
Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dahulu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam meluruskan shaf- shaf kami,
seakan- akan beliau meluruskan anak- anak panah, sampai beliau
melihat kami telah mengerti maksud beliau. Lalu pada suatu hari,
beliau keluar memimpin shalat dan berdiri bertakbir. Ternyata, beliau
melihat seseorang yang dadanya lebih maju melebihi barisan shaf. Maka
beliau menegur (artinya): “Wahai hamba-hamba Allah ! Demi Allah,
hendaknya kalian benar- benar meluruskan shaf- shaf kalian atau (bila
tidak) Allah akan memalingkan wajah- wajah kalian.” [H.R Muslim].
Demikianlah,
suri tauladan kita memberikan contoh berupa kepedulian seorang imam
terhadap shaf para makmumnya sebelum shalat dimulai.
- Beberapa Hal Yang Perlu Diperhatikan Ketika Membuat shaf Shalat
1.Hendaknya
seseorang tidak membuat shaf baru kecuali setelah shaf yang ada di
depannya telah sempurna dan tidak memungkinkan untuk ditempati.
Apabila
shaf di depannya belum sempurna dan memungkinkan untuk ia tempati,
namun ternyata ia membuat shaf baru dalam keadaan sendirian (tidak
ada makmum lain bersama dirinya) lalu shalat sampai imam bangun dari
ruku’, maka shalatnya tidak sah.
Dari Wabishah bin Ma’bad Al Asadi radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang pernah shalat di belakang shaf sendirian. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam meminta orang tersebut untuk mengulangi shalatnya. [H.R At Tirmidzi yang dishahihkan asy-Syaikh Al Albani].
Dari Wabishah bin Ma’bad Al Asadi radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang pernah shalat di belakang shaf sendirian. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam meminta orang tersebut untuk mengulangi shalatnya. [H.R At Tirmidzi yang dishahihkan asy-Syaikh Al Albani].
2.Apabila
seseorang ingin bermakmum dengan seorang imam dalam keadaan tidak ada
makmum selain dirinya, maka hendaknya dia berdiri sejajar di samping
kanan imam, tidak lebih mundur walaupun sejengkal.
Dari
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Aku pernah
menghampiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam di akhir malam,
lalu aku shalat di belakang beliau. Ternyata beliau memegang tanganku
ke belakang dan memposisikan aku di samping beliau…”[Ash
Shahihah 606, 2590 dan ash-Shahihul Musnad 601].Di
dalam riwayat lain: Abdullah bin Abbas,berkata:
”…lalu
aku datang dan berdiri di samping kiri beliau.Ternyata beliau menarik
aku ke belakang dan memposisikan aku di sebelah kanan beliau…”
[H.R
Muslim]
Namun
cara seperti itu hanya berlaku bagi makmum pria. Adapun makmum wanita
maka dirinya mutlak berdiri di belakang imam sekali pun sendirian.
3.Apabila
makmum tunggal ini didatangi makmum kedua (pria , bukan wanita), maka
kedua makmum ini mundur untuk berdiri di belakang imam.
Dari
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,berkata: “…lalu aku
datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam.Ternyata beliau memegang tanganku ke belakang dan
memposisikan aku di sebelah kanan beliau. Kemudian Jabbar bin Shakhr
datang berwudhu lalu berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam. Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam memegang tangan kami dan memposisikan kami di belakang
beliau…” [H.R
Muslim]
4.Tidak
diperkenankan bagi makmum untuk membuat shaf memanjang diantara
tiang- tiang masjid karena dapat menyebabkan shafnya terputus.
Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Kami dahulu menghindari
ini (tiang- tiang masjid-pen) di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam.” [Abu
Dawud yang dishahihkan asy-Syaikh Al Albani dan asy-Syaikh Muqbil].
Al
Imam Malik rahimahullah berkata: “Tidak mengapa membuat shaf- shaf
memanjang diantara tiang- tiang masjid apabila masjid tersebut
sempit.”
Label:
Shaf dalam Shalat Berjamaah
|
2
komentar
Fiqh 1 Bab Nikah Digital
18.52 | Diposting oleh
eko aw |
Edit Entri
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku
READ MORE - Fiqh 1 Bab Nikah Digital
NIKAH DIGITAL
A. NIKAH
Nikah atau
perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim sehingga
menimbulakn hak dan kewajiban antara keduannya. Menurut UU RI Nomor 1
Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang
tidak menikah.
Larangan
tidak menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Al Hadid ayat 27
Artinya:
“Kemudian
Kami iringi di belakang mereka dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami
iringi (pula) dengan Isa Putra Maryam ; dan Kami berikan kepadanya
Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa
santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH padahal
Kami tidak mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adanya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan
pada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak
di antara mereka orang-orang fasik.“
Rahbaniyah
adalah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam
biara. Rosulullah saw. bersabda,
“Sedangkan aku shalat, aku
tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barang siapa
yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No.
1401)
Anjuran
untuk menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 21
artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.“
B. KEDUDUKAN IJAB DAN QABUL DALAM AKAD NIKAH
Akad nikah
didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela, ijab di ucapkan
oleh wali, qabul di ucapkan oleh calon mempelai laki-laki. Apabila
ijab dan qabul itu dapat didengar oleh saksi (terutama) dan orang
yang hadir dalam majlis pernikahan itu, telah dipandang memenuhi
syarat. Berarti pernikahan dipandang syah. Demikian pendapat ulama
fiqh. Namun, mereka berbeda pendapat dalam masalah menafsirkan ”satu
majlis”.
Yang pada
garis besarnya dalam arti fisik, yaitu dua orang yang ber akad, harus
berada dalam satu ruangan yang tidak dibatasi oleh pembatas. Dan
dalam pengertian yang lain yaitu dalam persepsi non fisik, ijab qobul
harus dilakukan dalam satu upacara yang tidak dibatasi oleh
kegiatan-kegiatan yang menghilangkan arti ” satu upacara”
Berikut
pandangan para fuqoha dengan adanya masalah tersebut:
- Imam syafi’i cenderung memandang dalam arti fisik, dengan demikian wali dan calon mempelai laki-laki harus berada dalam satu ruangan, sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak (wali dan calon suami) saling mendengar dan dan memahami secara jelas ijab dan qobul yang mereka ucapkan.
Disamping itu
akad nikah yang berlangsung dalam satu ruangan erat kaitannya dengan
tugas dua orang saksi yang menjadi salah satu rukun nikah. Kesua
saksi itu harus tahu betul apa yang didengar dan dilihat nya dalam
majlis akad nikah itu. Demikian penegasan imam syafi’i, menurut
beliau kesaksian orang buta tidak dapat diterima, karena tidak dapat
melihat.hal ini berarti, bahwa akad nikah melalui telepon dipandang
tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan-ketentuan diatas.
- Imam ahmad bin hambali, mengartikan satu majlis dalam arti non fisik ( tidak mesti dalam satu ruangan). Ijab dan qabul bisa diucapkan dalam satu waktu atau satu upacara secara langsung dan tidak boleh diselingi oleh kigiatan lain.
- Imam abu hanifah serta para fuqoha’ ahlurra’yi dan kufah yang sejalan dengan pemikiran mereka dengan pendapat imam ahmad bin hambali. Namun imam ahmad bin hambali menegaskan, bahwa ada dua orang saksi yang harus mendengarkan dan memahami ucapan ijab qabul itu. Hal ini berati bahwa melihat pihak-pihak yang berakad tidak merupakan keharusan tetapi kedua orang saksi harus mendengar ucapan ijab dan qabul secara sempurna.berdasarkan penjelasan diatas (pendapat imam hambali), maka niakh yang dilaksanakan melalui telepon dianggap sah asal saja diberi pengeras suara, karena mendengar ijab dan qabul merupakan suatu keharusan.
C. DILEMA PERNIKAHAN PADA MASA PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
Sebagaimana
hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul permasalahan baru dalam
soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya
dilaksanakan melalui telepon. Ada contoh kasus yaitu ada seorang ayah
yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan seorang ayah
tersebut masih tertunda di Jakarta sedangkan akad nikah yang
dilaksanakan di Yogyakarta akan segera dilaksanakan karena rukun
nikah sudah terpenuhi kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai
perempuan tetap bersikeras ingin menikahkan anaknya sendiri tanpa
diwakilkan. Jalan keluar yang diambil yaitu akad nikah dilaksanakan
dengan menggunakan video
call atau
3G. Dari kasus tersebut, timbul suatu keraguan apakah pernikahan
tersebut sah atau tidak sehingga perlu dilakukan akad nikah ulang.
Menentukan
sah atau
tidaknya
suatu nikah, tergantung pada dipenuhi
atau
tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah
lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami
dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun,
jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya,
tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya,
identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan
untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan
perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah
pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah
cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang
tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul
langsung dengan telepon.
Juga para
saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan
pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka
tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan.
Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda
lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan
Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam.
Oleh karena
itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan tidak dibolehkan menurut
Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan
keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya
sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’
sebagai berikut :
- Nikah itu termasuk ibadah. Oleh karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل
فى العبادة حرام
“Pada
dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah,
manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
- Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
“Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang
kuat.”
- Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.
لا
ضرر ولا ضرارا
“Tidak
boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.”
Dan
hadis Nabi
دعما
يريبك الا مالا يريبك
“Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang
tidak meragukan engkau.”
درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari
mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari)
maslahah”
Peristiwa
akad nikah lewat telepon mengundang reaksi yang cukup luas dari
masyarakat. Contoh lain yaitu pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad
nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon,
yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di
Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami Drs. Ario sutarto yang sedang
bertugas belajar di program Pascasarjana Indiana University Amerika
Serikat, sedangkan calon istri adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar
IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan
sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak
keduanya untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang tua kedua
belah pihak.
Sehubungan
dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan
tiadanya biaya perjalanan pulang pergi Amerika Serikat-Jakarta dan
studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat
nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation
of authority)
dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam
akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu
pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil
itu, padahal surat undangan untuk walimatul
urs
sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah
pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat
telepon di rumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua
alat perekam, ialah kaset, tape
recorder
dan video.
Alat
pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah
Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di Amerika Serikat
itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua
orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat
mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali
mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki,
sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat
bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad
nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari
calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan,
maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia
mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena
menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni
hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa
nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat,
terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan
mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain
Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum
MUI pusat, dan Prof. DR. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat
membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat
nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka
ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan
nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused
(keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan
syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa
status nikah lewat telepon itu syubhat,
artinya belum safe,
sehingga perlu tajdid
nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis
kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang
sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak
diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama
dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah
secara mutlak.
Proses
pernikahan dalam Islam mempunyai aturan-aturan yang ketat. Sebuah
akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Rukunnya adalah
ijab dan qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali
perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan
dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan
pengelabuhan. Oleh karena itu calon suami atau wakilnya harus hadir
di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di
tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan
akad pernikahan.
Ketika seseorang menikah lewat
telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam akad nikah
lewat telpon tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak adanya
wali perempuan, dan tidak ketemunya calon pengantin ataupun wakilnya.
Ini yang menyebabkan akad pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Seandainya dia menghadirkan dua
saksi dan wali perempuan dalam akad ini, tetap saja akad pernikahan
tidak sah karena kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa
kecuali orang yang sedang menelpon, begitu juga wali perempuan tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada ditelpon itu belum
tentu suara calon suami atau istri. Ringkasnya
bahwa akad pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau
rentan terjadinya penipuan dan manipulasi.
Disarankan siapa saja yang ingin
menikah jarak jauh, untuk mewakilkan kepada orang yang dipercaya.
Seandainya dia sebagai perempuan yang bekerja di luar negri, maka
cukup walinya sebagai wakil darinya untuk menikahkan dengan lelaki
yang diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang hadir. Bagi seorang
laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan jarak jauh, maka
hendaknya dia mewakilkan dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti
adik, kakak, atau saudaranya dengan dihadiri wali perempuan dan kedua
saksi. Seandainya ada laki-laki dan perempuan yang ingin menikah di
luar negeri dan jauh dari wali perempuan, maka wali tersebut bisa
mewakilkan kepada orang yang dipercayai. Wakil dari wali
tersebut beserta kedua saksi harus hadir di dalam akad pernikahan.
Semua proses pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya disertai dengan
bukti-bukti dari instasi resmi terkait, supaya tidak disalahgunakan.
Masalah jarak
yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan
syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya
atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon
isteri dan wali semua terpisah jarak.
Toh tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah. Tetapi yang solusinya
bukan nikah jarak jauh, melainkan solusinya adalah taukil atau
perwakilan. Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya
menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan
dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi
syarat seorang wali. Dan penunjukannya boleh dilakukan secara jarak
jauh, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan
boleh lewat SMS, chatting,
e-mail,
atau Video Conference
3.5 G.
Cukup ditetapkan siapa yang akan
menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya satu kota dengan
calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu
majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki. Si wakil
wali mengucapkan ijab yang bunyinya kira-kira: “Saya sebagai wakil
dari fulan (nama ayah si gadis) menikahkan kamu (nama calon suami)
dengan fulanah binti fulan (nama gadis dan nama ayahnya) dengan mahar
sekian sekian.” Lalu calon suami menjawab (qabul), kira-kira
bunyinya: “Saya terima nikahnya fulanah binti fulanah dengan mahar
tersebut tunai.” Dan akad itu sudah sah.
Dan lebih menarik lagi, ternyata
perwakilan itu bukan saja boleh dilakukan oleh wali kepada wakilnya,
tetapi calon suami pun boleh pula mewakilkan dirinya kepada orang
lain. Sehingga namanya menjadi wakil calon suami yang akan melakukan
proses qabul.
Misalnya
seorang calon suami tidak mungkin bisa datang ke negara di mana ayah
si gadis tinggal, sementara ayah di gadis pun tidak mau mewakilkan
dirinya kepada orang lain. Berarti calon suami yang mengalah dan
mewakilkan dirinya kepada seseorang yang tinggal di satu kota dengan
ayah di gadis. Proses
pewakilannya sama saja, boleh jarak jauh dan menggunakan berbagai
teknologi informasi modern. Asalkan jangan pakai telepati saja, tidak
sah karena tidak ada bukti otentik. Lalu si wakil calon suami
melakukan akad nikah dengan ayah si gadis dan urusannya selesai.
Bahkan yang lebih fantastis
lagi, ternyata kedua belah pihak pun masih dibenarkan untuk
mengajukan wakil masing-masing. Sehingga yang melakukan akad nikah
justru masing-masing wakilnya saja.Maka pernikahan jarak jauh
bukanlah akad nikah dilakukan lewat telepon SLI atau yang lebih murah
pakai VoIP, namun yang yang dilakukan secara jarak jauh adalah proses
mewakilkannya. Sedangkan akad nikahnya harus dilakukan dalam satu
majelis, face to face,
meski hanya oleh wakil dari masing-masing. Untuk itu, harus ada saksi
yang memenuhi syarat. Syaratnya mudah dan sederhana, tidak harus
keluarga, famili atau kerabat. Bahkan tidak kenal pun tidak apa-apa.
Yang penting saksi adalah dua orang yang beragama Islam, laki-laki,
berakal, sudah baligh, adil dan merdeka (bukan budak). Dan
syarat saksi ini kira-kira sama dengan syarat orang yang berhak untuk
menjadi wakil dari wali.
Dalam syariat
Islam, akad nikah tidak terjadi antara seorang calon suami dengan
calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan
laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau
tidak melibatkan keduanya bersama.
Sama
dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang
bukan pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari
pencuri. Kita hanya boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling
tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang
tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu
tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya,
Ketika
menikahkan anak, kita harus 'membeli' langsung dari 'pemiliknya',
yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita
dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita
ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah
kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus
menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan
orang lain yang bukan pemilik.
Adapun orang
lain yang bukan ayahnya, lalu tiba-tiba mendadak mengangkat diri
menjadi wali, maka dia telah bertindak sebagai 'wali gadungan'. Akad
nikah yang dilakukannya 100% tidak sah. Karena pada hakikatnya dia
bukan wali sedangkan wanita itu masih punya wali yang sah.
'Wali
gadungan'adalah pencuri yang akan disiksa di neraka nanti, karean
telah menyerobot hak milik orang lain. Bahkan bukan sekedar mencuri,
dia akan disiksa pedih karena telah menghalalkan perzinaan. Dia telah
menipu orang awam dengan fatwa sesatnya.
Syarat mutlak
dari sebuah pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin
wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah
kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili
dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi.
Tidak boleh dirampas begitu saja. Sehingga pernikahan jarak jauh
tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski ayah kandung tidak ikut dalam
akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang
memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya
menikahkan puterinya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan nikah
jarak jauh adalah merampas hak seorang ayah kandung sebagai wali yang
sah, maka hukumnya haram.
Tidak ada masalah untuk
melakukan nikah jarak jauh, di mana pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan tidak saling bertemu. Sama sekali tidak ada masalah karena
akad nikah atau ijab kabul dalam syariah Islam memang tidak terjadi
antara pengantin laki dan pengantin perempuan. Ijab kabul terjadi
antara pengantin laki-laki dengan ayah kandung atau wali dari
pengantin perempuan. Maka cukuplah si pengantin laki-laki dan calon
mertuanya itu saja yang mengucapkan ijab kabul. Asalkan ijab kabul
itu disaksikan oleh dua orang laki-laki muslim yang sudah aqil
baligh, akad itu sudah sah.
Bagi seorang wanita, tidak ada
nikah tanpa wali. Dan wali adalah ayah kandungnya yang sah. Hanya di
tangan ayah kandung sajalah seorang wanita boleh dinikahkan.
Seandainya si ayah kandung tidak mampu menghadiri akad nikah anak
gadisnya, maka dia boleh mewakilkan dirinya kepada orang lain yang
dipercayainya. Namun hak untuk menjadi wali tidak boleh ''dirampas''
begitu saja dari tangan ayah kandung. Bila sampai perampasan itu
terjadi, lalu wali gadungan itu menikahkan anak gadis itu, maka akad
nikah itu tidak sah. Kalau mereka melakukan hubungan suami isteri,
hukumnya zina.
Yang lebih menarik, justru
kehadiran petugas pencatat nikah yang biasanya memimpin ijab qabul,
sama sekali tidak masuk dalam urusan sah atau tidaknya pernikahan.
Meski tugas itu didapat dari pemerintah secara resmi, namun tanpa
kehadirannya akad nikah bisa tetap berlangsung. Sementara anggapan
sebagian masyarakat kita, petugas KUA ini seolah menjadi tokoh inti
dari sebuah ijab qabul. Padahal tugas hanya sekedar mencatat secara
administratif saja. Hadir atau tidak hadir, tidak ada urusan dengan
sahnya sebuah akad nikah. Namun demikian, demi tertibnya administrasi
negara, sebaiknya petugas ini dihadirkan juga, akan akad nikah itu
secara resmi juga tercatat dengan baik di pemerintahan.
Memang benar apa yang anda
katakan, sebuah pernikahan itu harus dilakukan oleh wali dari pihak
perempuan dan pihak mempelai laki-laki. Mereka berdua melafadzkan
ijab dan qabul yang disaksikan oleh minimal 2 orang laki-laki muslim.
Tanpa adanya keempat orang itu, nikahnya menjadi tidak sah. Karena
tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan sebuah pernikahan. Namun
yang perlu diperjelas di sini, bahwa seorang wali diperkenankan untuk
meminta orang lain untuk mewakili tugas dan wewenang. Orang lain yang
ditunjuk ini, tentu saja harus benar-benar ditunjuk dalam arti kata
yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat, seringkali
kita lihat orang tua mempelai wanita meski hadir dalam acara akad
nikah itu, meminta kepada petugas pencatat nikah (KUA) untuk menjadi
wakilnya. Sehingga yang mengucapkan ijab bukan orang tua mempelai
wanita, melainkan petugas KUA. Petugas itu tidak boleh mengambil alih
wewenang sebagai wali mempelai wanita, kecuali berdasarkan permintaan
dari si wali tersebut. Demikian juga, mempelai laki-laki pun
diperkenankan untuk meminta orang lain menjadi wakil dirinya, dalam
akad nikah. Baik dirinya hadir dalam acara akad itu atau pun tidak.
Namun yang kedua ini memang
kurang lazim terjadi. Tapi secara hukum, bila memang hal itu yang
diingininya, hukum tetap sah. Seluruh ulama salaf dan khalaf sepakat
membolehkan masalah mewakilkan wali nikah ini secara bulat. Baik
Mazhab Abu Hanifah, Malik, As-Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Bahkan
mazhab Abu Hanifah lebih jauh lagi dalam masalah ini, yaitu seorang
wanita boleh menjadi wakil dari ayah kandungnya dalam pernikahan
dirinya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa
kebolehan mewakilkan wewenang kepada orang lain (tawkil) dalam
menikahkan pasangan pengantin ini berlaku juga dalam hampir semua hal
yang terkait dengan masalah muamalah. Seperti jual beli, sewa
menyewa, gadai, salaf, istishna' dan lainnya.
Sedangkan yang terkait dengan
ibadah mahdhah
dan bersifat langsung kepada Allah SWT, tidak berlaku kecuali bila
ada dalil. Shalat dan puasa tidak boleh diwakilkan kepada orang lain,
namun ibadah haji termasuk rincian manasiknya seperti melontar
jamarat dan lainnya, dimungkinkan untuk diwakilkan. Lantaran ada
dalil yang tegas atas hal itu. Termasuk yang boleh diwakilkan adalah
menyembelih qurban yang dipersembahkan kepada Allah SWT di hari Raya
Qurban.
Pada dasarnya menurut para
ulama, tidak disyaratkan ada persaksian dalam proses pemberian
wewenang untuk menjadi wakil wali nikah. Namun mereka menganjurkan
untuk dihadirkan saksi-saksi, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai
orang yang sudah menyerahkan wewenang kepada wakilnya, tiba-tiba
mengingkarinya.
Islam Memberi Kemudahan Namun
Sesuai Prosedur. Kemungkinan menunjuk wakil dalam akad nikah ini
untuk menjawab masalah nikah jarak jauh, di mana wali mempelai wanita
dan mempelai laki-laki sulit untuk bisa duduk dalam satu majelis.
Daripada mereka melakukan ijab
kabul lewat telepon, akan lebih utama bila secara sah mereka meminta
orang lain mewakili mereka. Sebab ijab kabul jarak jauh ini masih
meninggalkan banyak perdebatan. Lantaran ada keharusan disaksikan
oleh dua orang saksi muslim, laki-laki, yang sudah aqil dan baligh.
Sesuatu yang sulit dikerjakan bila dilakukan dengan jarak jauh dan
bukan dalam satu majelis.
Maka yang bisa kita simpulkan
adalah bahwa setiap personal yang terkait dalam sebuah akad nikah
boleh mewakilkan wewenangnya kepada orang lain. Dalam hal ini adalah
calon suami dan mertuanya. Keduanya berhak meminta orang lain untuk
mewakili dirinya dalam sebuah akad.
Sedangkan saksi nikah yang dua
orang itu, memang tidak tergantikan, tetapi saksi boleh siapa saja,
asalkan muslim, laki, aqil, baligh, merdeka dan adil.
KESIMPULAN
Dari
uraian yang penulis paparkan, dapat penulis simpulkan dan sarankan
sebagai berikut :
1. Nikah
lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan
ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia.
2. Penetapan/putusan
pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon
No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk
bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan
berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
3. Penetapan
peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim
pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk
membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .
DAFTAR PUSTAKA
Afifi,
Mustofa. 2005. Al-Muttaqien
(LKS Pendidikan Agama Islam Untuk SMA).
Purworejo : UD. Daya Famili.
Hasan,
ali.2006. pedoman
hidup berumah tangga dalam islam.
Jakarta: fajar interpratama offset.
Efendi,
satrian.2004. problematika
hukum keluarga islam kontemporer.
Rawanagun jakarta timur: pernada media.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/akad-nikah-lewat-telepon.html
http://nikahituenak.wordpress.com/2007/07/21/hukum-nikah-jarak-jauh-2
Label:
Nikah Digital
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya. makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Sebagai mana yang telah di sebutkan dalam ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...