Minggu, 03 Juni 2012

postheadericon Fiqh 1 Bab Mahar

*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku

 MAHAR

  1. Pengertian dan Hukum Mahar
            Dalam istilah ahli fiqh,disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan : “shadaq” , nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.1
Mahar secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya, atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).2
            Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.           
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat,lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:

وَإِنْ اَرَدْتُمْ اِسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجِ وَءَاتَيْتُمْ اِحْدَهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْئُا اَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَنًا وَاِثْمًا مُبِيْنًا

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S AL-NISA:20).
Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt. Berfirman
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ اَفْضَى بَعْضُكُمْ اِلَى بَعْضٍ وَاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَقًا غَلِيِظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Q.S AL-NISA:21).
            Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.3
            Allah berfirman:
وَأَتُوا النِّسَاءَ صَدَقَتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.....(Q.S AL-NISA:4).
Rasulullah saw. berkata:
عن عمربن ربيعة ان امراة من بنى فزارة نزوجت على تعلين فقال رسول الله عليه وسلم : ارضيت على تفسك ومالك بنعلين فقالت : نعم, فأجازه جازه (رواه احمد وابن ماجة واترمذى وصححه )
Dari ‘Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw. berkata kepada perempuan tersebut: Relakan engkau dengan maskawin sepasang sandal? Rasulullah saw. meluruskannya.” (HR Ahmad bin Mazah dan disahihkan oleh Turmudzi)
Sabdanya lagi:
تزوج ولو بخاتم من حديد ( رواه البخارى )
Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi.” (HR Bukhari)

  1. Syarat-syarat Mahar
            Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
  2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
  3. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
  4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.4

  1. Kadar (Jumlah) Mahar
            Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.5 Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya.
Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:
عن سهل ابن سعد ان النبى صلى الله عليه وسلم جأته امراة فقال : يارسول الله انى وهبت تفسى لك. فقامت قياما طويلا. فقام رجل فقال: يارسول لله زوجنيها ان لم يكن لك بها حجة, فقال : رسول الله صلى الله عليه وسلم هل عندك من شيء تصدقها اياها ؟ فقال : ما عندى الا ازارى هذا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان اعطيتها ازارك جلست لا ازار لك, فلتمس شيئا, فقال : ما اجد شيئا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : التمس ولو خاتم من حديد, فلتمس ولو يجد شيئا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : هل معك من القرأن شيئ ؟ فقال نعم سورة كذا وسورة وكذا, لسوريسميها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قد زوجتكها بما معك من القرأن ( رواه البخارى ومسلم )

Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ai berkata: “Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak memiliki sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda: “adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata: “Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya.
Nabi saw. berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim).
            Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
            Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.
            Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.


            Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu:
  1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.
  2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.
            Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.6 Dengan demikian, besarnya mahar antara satu dan lain tempat akan berbeda-beda. Hanya saja permintaan yang terakhir ini disindir Nabi dengan sabdanya : “Wanita yang paling banyak membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit maskawinnya.” Dalam masyarakat kita, pemberian mahar itu dikompromikan antara kedua mempelai bahkan sejak jauh-jauh hari.7
Disunnahkan (dalam membayar mahar) untuk tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham.8 Ukuran yang paling ringan adalah suatu hal yang bersifat relatif, karena kemampuan antara satu orang dengan yang lainnya adalah berbeda. Oleh karena itu, ukuran tradisi masyarakat sangat menentukan besaran mahar tersebut. Adanya pernyataan Nabi yang beragamam mengenai hal itu, sudah menunjukkan nilai- nilai keragaman tradisi tentang mahar tersebut. Tradisi masyarakat inilah nantinya yang akan mengkonkritkan mahar yang mulanya bersifat abstrak (saduqat=kejujuran, ketulusan) menjadi sesuatu yang berwujud. Dalam istilah ushul fiqih, tradisi masyarakat ini mentakhsis keumuman ayat yang disampaikan dalam bentuk umum (kejujuran).
Pernyataan Nabi tentang ukuran mahar yang seringan-ringannya, juga menggambarkan ukuran kemampuan yang berdimensi ekonomis. Meskipun mahar tersebut adalah seringan-ringannya, tapi tetap saja mahar tersebut sesuatu yang paling berharga dalam ukuran tingkat kemampuan yang bersangkutan.
Akan tetapi, dengan adanya berbagai macam ukuran mahar tersebut bukan berarti menggampang-gampangkan masalah mahar, sehingga dapat diberikan seenaknya saja, yang nantinya hal ini juga memberikan dampak yang lain terhadap kehidupan masyarakat, seperti menggampangkan perkawinan, sehingga nilai kesakralan sebuah perkawinan menjadi hilang. Yang terjadi justru sebaliknya, maraknya kawin cerai di tengah-tengah masyarakat. Yang jelas, ukuran mahar jangan sampai menjadi penghalang untuk terjadinya sebuah perkawinan.9

  1. Macam-macam Mahar
Dari segi jumlah dan besar nilainya, mahar terbagi kepada dua bagian: Musamma (yang disebutkan, diucapkan) dan Ghair Musamma (tidak disebutkan). Sedangkan dari segi waktu pembayarannya, mahar terbagi kepada Mu'ajjal / ﻞﺠﻌﻣ (dibayar kontan saat itu juga) dan Muajjal / ﻞﺟﺆﻣ (ditangguhkan, dibayar setengahnya dahulu dan sisanya dibayar belakangan). Sementara dari segi besar atau jumlah mahar yang berhak dimiliki oleh si isteri, mahar terbagi kepada mahar al-kull (mas kawin di mana si isteri harus mendapatkan semua mahar), mahar an-nishf (si isteri hanya berhak mendapatkan setengah dari jumlah mahar) dan al-mut'ah (pemberian biasa bagi setiap wanita yang ditalak sebagai hadiah atau hibah).
    1. Mahar Musamma dan Mahar Ghair Musamma atau Mahar al-Maskut 'Anhu
Mahar Mutsamma adalah mahar yang disebutkan. Maksudnya, antara si wanita dan si calon suaminya berunding untuk menentukan berapa jumlah mas kawinnya.10 Apabila kedua belah pihak sepakat dengan jumlah tertentu, misalnya mahar yang diminta oleh wanita sebesar satu juta, dan si laki-laki siap memenuhinya, maka mahar tersebut disebut dengan Mahar Mutsamma karena si isteri menentukan jumlah mas kawinnya secara jelas dan tegas. Penentuan ini penting dilakukan, agar tidak terjadi pertentangan, perselisihan dan ribut di kemudian hari. Apabila si calon suami telah menyanggupi untuk memenuhi mahar yang diminta oleh si wanita tersebut, maka si laki-laki wajib membayarnya secara penuh dan sempurna tidak boleh kurang sedikit pun. Sedangkan apabila si wanita tidak menentukan berapa jumlah maharnya secara tegas, misalnya ia mengatakan: "Neneng mah terserah aa saja, berapa juga mahar yang aa berikan, neneng mah akan terima yang penting aa sayang sama neneng", maka mahar tersebut disebut Mahar Ghari Musamma atau Mahar al-Maskut 'Anhu. Ketika si isteri tidak menentukan jumlah nominal maharnya, maka si calon suami harus membayar Mahar Mitsil.
Mahar Mitsil secara bahasa berarti mahar yang sebanding atau yang sama. Maksudnya, si calon suami harus melihat berapa besar mas kawin yang diterima oleh bibi atau tante si wanita tersebut dari pihak ayahnya, atau berapa mas kawin yang diterima oleh bibi bapak wanita tersebut. Apabila misalnya tante dari pihak bapaknya ketika menikah dahulu menerima mas kawin sebesar satu juta rupiah, maka si calon suami pun harus membayar mas kawin untuk wanita tersebut minimal sebesar satu juta rupiah. Apabila, si wanita tersebut tidak mempunyai bibi dari pihak ayahnya, maka si calon suami tersebut harus melihat berapa umumnya besar mas kawin yang berlaku di daerah tersebut. Apabila di daerah tersebut umumnya jumlah mas kawin itu 500 ribu rupiah, maka si calon suami harus membayarnya minimal sebesar 500 ribu rupiah. Dalam akad nikah, mas kawin boleh tidak disebutkan, apabila ditakutkan pamer atau riya.
    1. Mahar Mu'ajjal dan Mahar Muajjal
Mahar Mu'ajjal adalah mahar yang dibayar secara kontan semuanya sebelum suami isteri itu melakukan hubungan badan (dukhul). Umumnya mahar ini diserahkan ketika akad nikah atau setelah akad nikah dengan catatan keduanya belum berhubungan badan. Sedangkan apabila mahar tersebut dihutang atau dibayar sebagian ketika akad dan sisanya dibayar belakangan setelah berhubungan badan atau setelah berumah tangga, maka mahar ini disebut Mahar Muajjal (mahar yang ditangguhkan). Mahar Muajjal diperbolehkan dengan catatan ada keridhaan dan idzin dari calon mempelai wanita. Apabila mahar itu ditangguhkan, maka sisa mahar yang belum dibayar menjadi hutang bagi si laki-laki dan harus dibayar sampai kapanpun. Kedua mahar di atas sah-sah saja, hanya lebih utama dilakukan mahar mu'ajjal, yakni dibayar ketika akad sebelum keduanya menikmati malam pertama.

    1. Mahar Penuh (al-Kull) dan Mahar Setengahnya (an-Nishf).
Mahar penuh adalah mahar yang harus diterima oleh si isteri secara penuh, seluruhnya sesuai dengan kesepakatan bersama antara si wanita dengan laki-laki. Misalnya, apabila si suami akan memberikan mahar kepada isterinya itu satu juta rupiah, maka yang dimaksud dengan mahar penuh adalah si isteri harus mendapatkan mas kawin sebesar satu juta tanpa dikurangi sedikitpun. Seorang isteri berhak mendapatkan mahar penuh apabila dalam keadaan berikut ini:
  1. Apabila si isteri telah disetubuhi.
  2. Apabila salah satu dari suami isteri meninggal dunia sebelum keduanya melakukan hubungan badan dan keduanya berada dalam pernikahan yang sah, bukan pernikahan yang batal.
  3. Antara suami isteri berdua-duaan di tempat sepi dan rahasia sekalipun keduanya belum melakukan hubungan badan.
  4. Si isteri tinggal selama setahun di rumah suaminya sekalipun tidak disetubuhinya.
  5. Mentalak isteri ketika ia sakaratul maut dan belum didukhul.
Sedangkan Mahar Setengah (an-nishf) adalah Apabila di atas telah dijelaskan kondisi-kondisi di mana seorang isteri berhak mendapatkan mahar penuh, maka dalam kesempatan kali ini, kita akan membahas kondisi di mana si isteri hanya berhak mendapatkan setengah maharnya. Misalnya, apabila mahar yang disebutkan dan disepakati bersama antara laki-laki dan wanita tersebut satu juta, maka untuk pembahasan kali ini si isteri hanya berhak mendapatkan setengah maharnya, yakni sebesar 500 ribu rupiah. Kondisi dimaksud adalah Apabila si isteri dicerai sebelum didukhul (sebelum disetubuhi) dan maharnya ditentukan oleh si isteri atau oleh si suami, juga disebutkan ketika akad.11 Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 34 butir 2 dikatakan “kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan.”. Pasal ini adalah dasar hukum positif di Indonesia bagi kebolehan mahar mitsli.12

  1. Gugur/Rusaknya Mahar
          Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:
  1. Barangnya tidak boleh dimiliki.
  2. Mahar digabungkan dengan jual beli.
  3. Penggabungan mahar dengan pemberian.
  4. Cacat pada mahar.
  5. Persyaratan dalam mahar.13
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.
          Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar, tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
          Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga pendapat.
          Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik ayah.
          Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga mahar mitsli.
          Imam Syafi’i terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika dikatakan, diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun mengatakan bahwa nikahnya batal.
          Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajiban untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
          Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.14

KESIMPULAN

Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Amar Imron.1983.FAT-HUL QARIB.Kudus: Menara Kudus.
http://Penjelasan Lengkap Seputar " MAHAR/MAS KAWIN " Part. 1 (Pra Nikah)


1 Imron Abu Amar.FAT-HUL QARIB.Kudus:Menara Kudus.1983.hal:42
8 Imron Abu Amar.FAT-HUL QARIB.Kudus:Menara Kudus.1983.hal:45
10 http://Penjelasan Lengkap Seputar " MAHAR/MAS KAWIN " Part. 1 (Pra Nikah)
11 http://Penjelasan Lengkap Seputar " MAHAR/MAS KAWIN " Part. 1 (Pra Nikah)

0 komentar:

Popular Posts

Share