Minggu, 03 Juni 2012
Fiqh 1 Bab Mahar
18.48 | Diposting oleh
eko aw |
Edit Entri
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku
MAHAR
- Pengertian dan Hukum Mahar
Dalam istilah ahli
fiqh,disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan :
“shadaq”
, nihlah;
dan faridhah”
dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.1
Mahar secara
etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah
pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
istri kepada calon suaminya, atau suatu pemberian yang diwajibkan
bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda
maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).2
Imam Syafi’i
mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh
seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh
anggota badannya.
Jika istri telah
menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat,lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak
disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena
malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:
وَإِنْ
اَرَدْتُمْ اِسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ
زَوْجِ وَءَاتَيْتُمْ اِحْدَهُنَّ
قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوْا مِنْهُ
شَيْئُا اَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَنًا
وَاِثْمًا مُبِيْنًا
Dan
jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu
telah memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S
AL-NISA:20).
Dalam
ayat selanjutnya, Allah Swt. Berfirman
وَكَيْفَ
تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ اَفْضَى بَعْضُكُمْ
اِلَى بَعْضٍ وَاَخَذْنَ مِنْكُمْ
مِيْثَقًا غَلِيِظًا
Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
(Q.S AL-NISA:21).
Karena mahar
merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya
sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.3
Allah berfirman:
وَأَتُوا
النِّسَاءَ صَدَقَتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan.....(Q.S
AL-NISA:4).
Rasulullah
saw. berkata:
عن
عمربن ربيعة ان امراة من بنى فزارة نزوجت
على تعلين فقال رسول الله عليه وسلم :
ارضيت
على تفسك ومالك بنعلين فقالت :
نعم,
فأجازه
جازه (رواه
احمد وابن ماجة واترمذى وصححه )
Dari
‘Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani
Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw.
berkata kepada perempuan tersebut: Relakan engkau dengan maskawin
sepasang sandal? Rasulullah saw. meluruskannya.” (HR
Ahmad bin Mazah dan disahihkan oleh Turmudzi)
Sabdanya
lagi:
تزوج
ولو بخاتم من حديد (
رواه
البخارى )
“Kawinlah
engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi.” (HR
Bukhari)
- Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan
kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
- Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
- Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
- Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.4
- Kadar (Jumlah) Mahar
Agama tidak
menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan
manusia dalam memberikannya.5
Orang
yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar
jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada
yang hampir tidak mampu memberinya.
Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang
bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak
yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya.
Mukhtar Kamal
menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar
maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi
berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:
عن
سهل ابن سعد ان النبى صلى الله عليه وسلم
جأته امراة فقال :
يارسول
الله انى وهبت تفسى لك.
فقامت
قياما طويلا.
فقام
رجل فقال:
يارسول
لله زوجنيها ان لم يكن لك بها حجة,
فقال
:
رسول
الله صلى الله عليه وسلم هل عندك من شيء
تصدقها اياها ؟ فقال :
ما
عندى الا ازارى هذا,
فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم :
ان
اعطيتها ازارك جلست لا ازار لك,
فلتمس
شيئا,
فقال
:
ما
اجد شيئا,
فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم :
التمس
ولو خاتم من حديد,
فلتمس
ولو يجد شيئا فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم :
هل
معك من القرأن شيئ ؟ فقال نعم سورة كذا
وسورة وكذا,
لسوريسميها.
فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم :
قد
زوجتكها بما معك من القرأن (
رواه
البخارى ومسلم )
“Dari Sahl bin
Sa’ad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang
wanita maka ai berkata: “Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan
sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebutberdiri lama
sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya
Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak
berminat kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah
engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya?
Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak memiliki sesuatu selain sarungku
ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan sarungmu (sebagai
mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang
lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.”
Nabi berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia
mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka,
Rasulullah saw. bersabda: “adakah engkau hafal sesuatu ayat dari
Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata: “Ada surat ini, dan
surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya.
Nabi saw.
berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin
(mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal”
(HR Bukhari dan Muslim).
Imam Syafi’i,
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in
berpendapat
bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat
menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam
Malik.
Sebagian
fuqaha yang lain berpendapat
bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam
Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa
mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak
seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat
emas perak tersebut.
Imam Abu
Hanifah berpendapat
bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat yang
lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat
puluh dirham.
Pangkal silang
pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu:
- Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.
- Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.
Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi
Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil
bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika
memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.6
Dengan
demikian, besarnya mahar antara satu dan lain tempat akan
berbeda-beda. Hanya saja permintaan yang terakhir ini disindir Nabi
dengan sabdanya : “Wanita
yang paling banyak membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit
maskawinnya.”
Dalam masyarakat kita, pemberian mahar itu dikompromikan antara kedua
mempelai bahkan sejak jauh-jauh hari.7
Disunnahkan
(dalam membayar mahar) untuk tidak kurang dari 10 dirham dan tidak
lebih dari 500 dirham.8
Ukuran
yang paling ringan adalah suatu hal yang bersifat relatif, karena
kemampuan antara satu orang dengan yang lainnya adalah berbeda. Oleh
karena itu, ukuran tradisi masyarakat sangat menentukan besaran mahar
tersebut. Adanya pernyataan Nabi yang beragamam mengenai hal itu,
sudah menunjukkan nilai- nilai keragaman tradisi tentang mahar
tersebut. Tradisi masyarakat inilah nantinya yang akan mengkonkritkan
mahar yang mulanya bersifat abstrak (saduqat=kejujuran,
ketulusan) menjadi sesuatu yang berwujud. Dalam istilah ushul fiqih,
tradisi masyarakat ini mentakhsis keumuman ayat yang disampaikan
dalam bentuk umum (kejujuran).
Pernyataan Nabi
tentang ukuran mahar yang seringan-ringannya, juga menggambarkan
ukuran kemampuan yang berdimensi ekonomis. Meskipun mahar tersebut
adalah seringan-ringannya, tapi tetap saja mahar tersebut sesuatu
yang paling berharga dalam ukuran tingkat kemampuan yang
bersangkutan.
Akan tetapi,
dengan adanya berbagai macam ukuran mahar tersebut bukan berarti
menggampang-gampangkan masalah mahar, sehingga dapat diberikan
seenaknya saja, yang nantinya hal ini juga memberikan dampak yang
lain terhadap kehidupan masyarakat, seperti menggampangkan
perkawinan, sehingga nilai kesakralan sebuah perkawinan menjadi
hilang. Yang terjadi justru sebaliknya, maraknya kawin cerai di
tengah-tengah masyarakat. Yang jelas, ukuran mahar jangan sampai
menjadi penghalang untuk terjadinya sebuah perkawinan.9
- Macam-macam Mahar
Dari
segi jumlah dan besar nilainya, mahar terbagi kepada dua bagian:
Musamma
(yang disebutkan, diucapkan) dan Ghair Musamma (tidak disebutkan).
Sedangkan dari segi waktu pembayarannya, mahar terbagi kepada
Mu'ajjal
/ ﻞﺠﻌﻣ
(dibayar
kontan saat itu juga) dan Muajjal / ﻞﺟﺆﻣ
(ditangguhkan,
dibayar setengahnya dahulu dan sisanya dibayar belakangan).
Sementara
dari segi besar atau jumlah mahar yang berhak dimiliki oleh si
isteri, mahar terbagi kepada
mahar
al-kull (mas kawin di mana si isteri harus mendapatkan semua mahar),
mahar an-nishf (si isteri hanya berhak mendapatkan setengah dari
jumlah mahar) dan al-mut'ah (pemberian biasa bagi setiap wanita yang
ditalak sebagai hadiah atau hibah).
- Mahar Musamma dan Mahar Ghair Musamma atau Mahar al-Maskut 'Anhu
Mahar
Mutsamma
adalah
mahar yang disebutkan. Maksudnya, antara si wanita dan si calon
suaminya berunding untuk menentukan berapa jumlah mas kawinnya.10
Apabila kedua belah pihak sepakat dengan jumlah tertentu, misalnya
mahar yang diminta oleh wanita sebesar satu juta, dan si laki-laki
siap memenuhinya, maka mahar tersebut disebut dengan Mahar
Mutsamma karena
si isteri menentukan jumlah mas kawinnya secara jelas dan tegas.
Penentuan ini penting dilakukan, agar tidak terjadi pertentangan,
perselisihan dan ribut di kemudian hari. Apabila si calon suami telah
menyanggupi untuk
memenuhi
mahar yang diminta oleh si wanita tersebut, maka si laki-laki wajib
membayarnya secara penuh dan sempurna tidak boleh kurang sedikit pun.
Sedangkan apabila si wanita tidak menentukan berapa jumlah maharnya
secara tegas, misalnya ia mengatakan: "Neneng
mah terserah aa saja, berapa juga mahar yang aa berikan, neneng mah
akan terima yang penting aa sayang sama neneng",
maka mahar tersebut disebut Mahar
Ghari Musamma atau Mahar al-Maskut 'Anhu.
Ketika si isteri tidak menentukan jumlah nominal maharnya, maka si
calon suami harus membayar Mahar
Mitsil.
Mahar Mitsil secara
bahasa berarti mahar yang sebanding atau yang sama. Maksudnya, si
calon suami harus melihat berapa besar mas kawin yang diterima oleh
bibi atau tante si wanita tersebut dari pihak ayahnya, atau berapa
mas kawin yang diterima oleh bibi bapak wanita tersebut. Apabila
misalnya tante dari pihak bapaknya ketika menikah dahulu menerima mas
kawin sebesar satu juta rupiah, maka si calon suami pun harus
membayar mas kawin untuk wanita tersebut minimal sebesar satu juta
rupiah. Apabila, si wanita tersebut tidak mempunyai bibi dari pihak
ayahnya, maka si calon suami tersebut harus melihat berapa umumnya
besar mas kawin yang berlaku di daerah tersebut. Apabila di daerah
tersebut umumnya jumlah mas kawin itu 500 ribu rupiah, maka si calon
suami harus membayarnya minimal sebesar 500 ribu rupiah. Dalam akad
nikah, mas kawin boleh tidak disebutkan, apabila ditakutkan pamer
atau riya.
- Mahar Mu'ajjal dan Mahar Muajjal
Mahar Mu'ajjal
adalah
mahar yang dibayar secara kontan semuanya sebelum suami isteri itu
melakukan hubungan badan (dukhul). Umumnya mahar ini diserahkan
ketika akad nikah atau setelah akad nikah dengan catatan keduanya
belum berhubungan badan. Sedangkan apabila mahar tersebut dihutang
atau dibayar sebagian ketika akad dan sisanya dibayar belakangan
setelah berhubungan badan atau setelah berumah tangga, maka mahar ini
disebut Mahar
Muajjal (mahar
yang ditangguhkan).
Mahar
Muajjal diperbolehkan
dengan catatan ada keridhaan dan idzin dari calon mempelai wanita.
Apabila mahar itu ditangguhkan, maka sisa mahar yang belum dibayar
menjadi hutang bagi si laki-laki dan harus dibayar sampai kapanpun.
Kedua mahar di atas sah-sah saja, hanya lebih utama dilakukan mahar
mu'ajjal,
yakni dibayar ketika akad sebelum keduanya menikmati malam pertama.
- Mahar Penuh (al-Kull) dan Mahar Setengahnya (an-Nishf).
Mahar penuh
adalah mahar yang harus diterima oleh si isteri secara penuh,
seluruhnya sesuai dengan kesepakatan bersama antara si wanita dengan
laki-laki. Misalnya, apabila si suami akan memberikan mahar kepada
isterinya itu satu juta rupiah, maka yang dimaksud dengan mahar penuh
adalah si isteri harus mendapatkan mas kawin sebesar satu juta tanpa
dikurangi sedikitpun. Seorang isteri berhak mendapatkan mahar penuh
apabila dalam keadaan berikut ini:
- Apabila si isteri telah disetubuhi.
- Apabila salah satu dari suami isteri meninggal dunia sebelum keduanya melakukan hubungan badan dan keduanya berada dalam pernikahan yang sah, bukan pernikahan yang batal.
- Antara suami isteri berdua-duaan di tempat sepi dan rahasia sekalipun keduanya belum melakukan hubungan badan.
- Si isteri tinggal selama setahun di rumah suaminya sekalipun tidak disetubuhinya.
- Mentalak isteri ketika ia sakaratul maut dan belum didukhul.
Sedangkan Mahar
Setengah (an-nishf)
adalah Apabila di atas telah dijelaskan kondisi-kondisi di mana
seorang isteri berhak mendapatkan mahar penuh, maka dalam kesempatan
kali ini, kita akan membahas kondisi di mana si isteri hanya berhak
mendapatkan setengah maharnya. Misalnya, apabila mahar yang
disebutkan dan disepakati bersama antara laki-laki dan wanita
tersebut satu juta, maka untuk pembahasan kali ini si isteri hanya
berhak mendapatkan setengah maharnya, yakni sebesar 500 ribu rupiah.
Kondisi dimaksud adalah Apabila si isteri dicerai sebelum didukhul
(sebelum disetubuhi) dan maharnya ditentukan oleh si isteri atau oleh
si suami, juga disebutkan ketika akad.11
Di dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 34 butir 2 dikatakan “kelalaian
menyebut jenis dan jumlah
mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan.”.
Pasal ini adalah dasar hukum positif di Indonesia bagi kebolehan
mahar mitsli.12
- Gugur/Rusaknya Mahar
Mahar yang rusak
bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang
tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang
rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena
sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual
beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:
- Barangnya tidak boleh dimiliki.
- Mahar digabungkan dengan jual beli.
- Penggabungan mahar dengan pemberian.
- Cacat pada mahar.
- Persyaratan dalam mahar.13
Dalam hal
barangnya tidak boleh dimiliki seperti:
khamar,
babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah
memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang
dua riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama,
akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh),
baik
sebelum maupun sesudah dukhul.
Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid.
Kedua, apabila
telah
dukhul, maka
akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar
mitsli.
Mengenai
penggabungan
mahar dengan jual beli,
ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika pengantin perempuan
memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian
pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan
sebagai mahar, tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana
yang sebagai mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya,
seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab dan Imam Abu Hanifah
membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan
mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat
kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu
dibolehkan.
Tentang penggabungan
mahar dengan pemberian,
ulama juga berselisih pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang
menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang
diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu).
Perselisihan itu terbagi dalam tiga pendapat.
Imam Abu Hanifah dan
pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan
maharnya pun sah. Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak,
dan istrinya memperoleh mahar mitsli.
Adapun
Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika
akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan,
sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka
pemberiannya menjadi milik ayah.
Mengenai cacat
yang terdapat pada mahar,
ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad
nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal
apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang
sebanding, atau juga mahar mitsli.
Imam Syafi’i
terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli.
Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta
harganya, dan pendapat lain minta barang yang sebanding. Sedangkan
Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika dikatakan, diminta harga
terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun
mengatakan bahwa nikahnya batal.
Mengenai gugurnya
mahar,
suami bisa terlepas dari kewajiban untuk membayar mahar seluruhnya
apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri,
misalnya istri keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin
atau cacat, atau karena perempuan tersebutsetelah dewasa menolak
dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti
ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya
menerima sesuatu darinya.
Begitu juga mahar
dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya
atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar
karena perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedangkan mahar
sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.14
KESIMPULAN
Mahar ialah
pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun
jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak
menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan
manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan
untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon
istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya.
Mahar boleh
dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau
dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian,
maka disunahkan membayar sebagian.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Amar Imron.1983.FAT-HUL
QARIB.Kudus: Menara
Kudus.
http://Penjelasan
Lengkap Seputar " MAHAR/MAS KAWIN " Part. 1 (Pra Nikah)
1
Imron Abu Amar.FAT-HUL QARIB.Kudus:Menara Kudus.1983.hal:42
8
Imron Abu Amar.FAT-HUL QARIB.Kudus:Menara Kudus.1983.hal:45
11
http://Penjelasan Lengkap Seputar " MAHAR/MAS KAWIN "
Part. 1 (Pra Nikah)
Label:
Mahar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya. makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Sebagai mana yang telah di sebutkan dalam ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
0 komentar:
Posting Komentar