Minggu, 03 Juni 2012
Browse » Home »
Nikah Digital
» Fiqh 1 Bab Nikah Digital
Fiqh 1 Bab Nikah Digital
18.52 | Diposting oleh
eko aw |
Edit Entri
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku
NIKAH DIGITAL
A. NIKAH
Nikah atau
perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim sehingga
menimbulakn hak dan kewajiban antara keduannya. Menurut UU RI Nomor 1
Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang
tidak menikah.
Larangan
tidak menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Al Hadid ayat 27
Artinya:
“Kemudian
Kami iringi di belakang mereka dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami
iringi (pula) dengan Isa Putra Maryam ; dan Kami berikan kepadanya
Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa
santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH padahal
Kami tidak mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adanya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan
pada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak
di antara mereka orang-orang fasik.“
Rahbaniyah
adalah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam
biara. Rosulullah saw. bersabda,
“Sedangkan aku shalat, aku
tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barang siapa
yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No.
1401)
Anjuran
untuk menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 21
artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.“
B. KEDUDUKAN IJAB DAN QABUL DALAM AKAD NIKAH
Akad nikah
didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela, ijab di ucapkan
oleh wali, qabul di ucapkan oleh calon mempelai laki-laki. Apabila
ijab dan qabul itu dapat didengar oleh saksi (terutama) dan orang
yang hadir dalam majlis pernikahan itu, telah dipandang memenuhi
syarat. Berarti pernikahan dipandang syah. Demikian pendapat ulama
fiqh. Namun, mereka berbeda pendapat dalam masalah menafsirkan ”satu
majlis”.
Yang pada
garis besarnya dalam arti fisik, yaitu dua orang yang ber akad, harus
berada dalam satu ruangan yang tidak dibatasi oleh pembatas. Dan
dalam pengertian yang lain yaitu dalam persepsi non fisik, ijab qobul
harus dilakukan dalam satu upacara yang tidak dibatasi oleh
kegiatan-kegiatan yang menghilangkan arti ” satu upacara”
Berikut
pandangan para fuqoha dengan adanya masalah tersebut:
- Imam syafi’i cenderung memandang dalam arti fisik, dengan demikian wali dan calon mempelai laki-laki harus berada dalam satu ruangan, sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak (wali dan calon suami) saling mendengar dan dan memahami secara jelas ijab dan qobul yang mereka ucapkan.
Disamping itu
akad nikah yang berlangsung dalam satu ruangan erat kaitannya dengan
tugas dua orang saksi yang menjadi salah satu rukun nikah. Kesua
saksi itu harus tahu betul apa yang didengar dan dilihat nya dalam
majlis akad nikah itu. Demikian penegasan imam syafi’i, menurut
beliau kesaksian orang buta tidak dapat diterima, karena tidak dapat
melihat.hal ini berarti, bahwa akad nikah melalui telepon dipandang
tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan-ketentuan diatas.
- Imam ahmad bin hambali, mengartikan satu majlis dalam arti non fisik ( tidak mesti dalam satu ruangan). Ijab dan qabul bisa diucapkan dalam satu waktu atau satu upacara secara langsung dan tidak boleh diselingi oleh kigiatan lain.
- Imam abu hanifah serta para fuqoha’ ahlurra’yi dan kufah yang sejalan dengan pemikiran mereka dengan pendapat imam ahmad bin hambali. Namun imam ahmad bin hambali menegaskan, bahwa ada dua orang saksi yang harus mendengarkan dan memahami ucapan ijab qabul itu. Hal ini berati bahwa melihat pihak-pihak yang berakad tidak merupakan keharusan tetapi kedua orang saksi harus mendengar ucapan ijab dan qabul secara sempurna.berdasarkan penjelasan diatas (pendapat imam hambali), maka niakh yang dilaksanakan melalui telepon dianggap sah asal saja diberi pengeras suara, karena mendengar ijab dan qabul merupakan suatu keharusan.
C. DILEMA PERNIKAHAN PADA MASA PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
Sebagaimana
hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul permasalahan baru dalam
soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya
dilaksanakan melalui telepon. Ada contoh kasus yaitu ada seorang ayah
yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan seorang ayah
tersebut masih tertunda di Jakarta sedangkan akad nikah yang
dilaksanakan di Yogyakarta akan segera dilaksanakan karena rukun
nikah sudah terpenuhi kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai
perempuan tetap bersikeras ingin menikahkan anaknya sendiri tanpa
diwakilkan. Jalan keluar yang diambil yaitu akad nikah dilaksanakan
dengan menggunakan video
call atau
3G. Dari kasus tersebut, timbul suatu keraguan apakah pernikahan
tersebut sah atau tidak sehingga perlu dilakukan akad nikah ulang.
Menentukan
sah atau
tidaknya
suatu nikah, tergantung pada dipenuhi
atau
tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah
lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami
dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun,
jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya,
tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya,
identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan
untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan
perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah
pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah
cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang
tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul
langsung dengan telepon.
Juga para
saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan
pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka
tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan.
Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda
lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan
Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam.
Oleh karena
itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan tidak dibolehkan menurut
Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan
keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya
sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’
sebagai berikut :
- Nikah itu termasuk ibadah. Oleh karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل
فى العبادة حرام
“Pada
dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah,
manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
- Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
“Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang
kuat.”
- Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.
لا
ضرر ولا ضرارا
“Tidak
boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.”
Dan
hadis Nabi
دعما
يريبك الا مالا يريبك
“Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang
tidak meragukan engkau.”
درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari
mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari)
maslahah”
Peristiwa
akad nikah lewat telepon mengundang reaksi yang cukup luas dari
masyarakat. Contoh lain yaitu pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad
nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon,
yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di
Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami Drs. Ario sutarto yang sedang
bertugas belajar di program Pascasarjana Indiana University Amerika
Serikat, sedangkan calon istri adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar
IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan
sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak
keduanya untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang tua kedua
belah pihak.
Sehubungan
dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan
tiadanya biaya perjalanan pulang pergi Amerika Serikat-Jakarta dan
studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat
nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation
of authority)
dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam
akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu
pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil
itu, padahal surat undangan untuk walimatul
urs
sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah
pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat
telepon di rumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua
alat perekam, ialah kaset, tape
recorder
dan video.
Alat
pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah
Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di Amerika Serikat
itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua
orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat
mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali
mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki,
sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat
bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad
nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari
calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan,
maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia
mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena
menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni
hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa
nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat,
terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan
mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain
Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum
MUI pusat, dan Prof. DR. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat
membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat
nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka
ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan
nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused
(keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan
syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa
status nikah lewat telepon itu syubhat,
artinya belum safe,
sehingga perlu tajdid
nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis
kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang
sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak
diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama
dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah
secara mutlak.
Proses
pernikahan dalam Islam mempunyai aturan-aturan yang ketat. Sebuah
akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Rukunnya adalah
ijab dan qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali
perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan
dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan
pengelabuhan. Oleh karena itu calon suami atau wakilnya harus hadir
di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di
tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan
akad pernikahan.
Ketika seseorang menikah lewat
telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam akad nikah
lewat telpon tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak adanya
wali perempuan, dan tidak ketemunya calon pengantin ataupun wakilnya.
Ini yang menyebabkan akad pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Seandainya dia menghadirkan dua
saksi dan wali perempuan dalam akad ini, tetap saja akad pernikahan
tidak sah karena kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa
kecuali orang yang sedang menelpon, begitu juga wali perempuan tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada ditelpon itu belum
tentu suara calon suami atau istri. Ringkasnya
bahwa akad pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau
rentan terjadinya penipuan dan manipulasi.
Disarankan siapa saja yang ingin
menikah jarak jauh, untuk mewakilkan kepada orang yang dipercaya.
Seandainya dia sebagai perempuan yang bekerja di luar negri, maka
cukup walinya sebagai wakil darinya untuk menikahkan dengan lelaki
yang diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang hadir. Bagi seorang
laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan jarak jauh, maka
hendaknya dia mewakilkan dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti
adik, kakak, atau saudaranya dengan dihadiri wali perempuan dan kedua
saksi. Seandainya ada laki-laki dan perempuan yang ingin menikah di
luar negeri dan jauh dari wali perempuan, maka wali tersebut bisa
mewakilkan kepada orang yang dipercayai. Wakil dari wali
tersebut beserta kedua saksi harus hadir di dalam akad pernikahan.
Semua proses pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya disertai dengan
bukti-bukti dari instasi resmi terkait, supaya tidak disalahgunakan.
Masalah jarak
yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan
syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya
atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon
isteri dan wali semua terpisah jarak.
Toh tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah. Tetapi yang solusinya
bukan nikah jarak jauh, melainkan solusinya adalah taukil atau
perwakilan. Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya
menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan
dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi
syarat seorang wali. Dan penunjukannya boleh dilakukan secara jarak
jauh, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan
boleh lewat SMS, chatting,
e-mail,
atau Video Conference
3.5 G.
Cukup ditetapkan siapa yang akan
menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya satu kota dengan
calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu
majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki. Si wakil
wali mengucapkan ijab yang bunyinya kira-kira: “Saya sebagai wakil
dari fulan (nama ayah si gadis) menikahkan kamu (nama calon suami)
dengan fulanah binti fulan (nama gadis dan nama ayahnya) dengan mahar
sekian sekian.” Lalu calon suami menjawab (qabul), kira-kira
bunyinya: “Saya terima nikahnya fulanah binti fulanah dengan mahar
tersebut tunai.” Dan akad itu sudah sah.
Dan lebih menarik lagi, ternyata
perwakilan itu bukan saja boleh dilakukan oleh wali kepada wakilnya,
tetapi calon suami pun boleh pula mewakilkan dirinya kepada orang
lain. Sehingga namanya menjadi wakil calon suami yang akan melakukan
proses qabul.
Misalnya
seorang calon suami tidak mungkin bisa datang ke negara di mana ayah
si gadis tinggal, sementara ayah di gadis pun tidak mau mewakilkan
dirinya kepada orang lain. Berarti calon suami yang mengalah dan
mewakilkan dirinya kepada seseorang yang tinggal di satu kota dengan
ayah di gadis. Proses
pewakilannya sama saja, boleh jarak jauh dan menggunakan berbagai
teknologi informasi modern. Asalkan jangan pakai telepati saja, tidak
sah karena tidak ada bukti otentik. Lalu si wakil calon suami
melakukan akad nikah dengan ayah si gadis dan urusannya selesai.
Bahkan yang lebih fantastis
lagi, ternyata kedua belah pihak pun masih dibenarkan untuk
mengajukan wakil masing-masing. Sehingga yang melakukan akad nikah
justru masing-masing wakilnya saja.Maka pernikahan jarak jauh
bukanlah akad nikah dilakukan lewat telepon SLI atau yang lebih murah
pakai VoIP, namun yang yang dilakukan secara jarak jauh adalah proses
mewakilkannya. Sedangkan akad nikahnya harus dilakukan dalam satu
majelis, face to face,
meski hanya oleh wakil dari masing-masing. Untuk itu, harus ada saksi
yang memenuhi syarat. Syaratnya mudah dan sederhana, tidak harus
keluarga, famili atau kerabat. Bahkan tidak kenal pun tidak apa-apa.
Yang penting saksi adalah dua orang yang beragama Islam, laki-laki,
berakal, sudah baligh, adil dan merdeka (bukan budak). Dan
syarat saksi ini kira-kira sama dengan syarat orang yang berhak untuk
menjadi wakil dari wali.
Dalam syariat
Islam, akad nikah tidak terjadi antara seorang calon suami dengan
calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan
laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau
tidak melibatkan keduanya bersama.
Sama
dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang
bukan pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari
pencuri. Kita hanya boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling
tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang
tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu
tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya,
Ketika
menikahkan anak, kita harus 'membeli' langsung dari 'pemiliknya',
yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita
dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita
ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah
kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus
menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan
orang lain yang bukan pemilik.
Adapun orang
lain yang bukan ayahnya, lalu tiba-tiba mendadak mengangkat diri
menjadi wali, maka dia telah bertindak sebagai 'wali gadungan'. Akad
nikah yang dilakukannya 100% tidak sah. Karena pada hakikatnya dia
bukan wali sedangkan wanita itu masih punya wali yang sah.
'Wali
gadungan'adalah pencuri yang akan disiksa di neraka nanti, karean
telah menyerobot hak milik orang lain. Bahkan bukan sekedar mencuri,
dia akan disiksa pedih karena telah menghalalkan perzinaan. Dia telah
menipu orang awam dengan fatwa sesatnya.
Syarat mutlak
dari sebuah pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin
wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah
kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili
dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi.
Tidak boleh dirampas begitu saja. Sehingga pernikahan jarak jauh
tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski ayah kandung tidak ikut dalam
akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang
memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya
menikahkan puterinya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan nikah
jarak jauh adalah merampas hak seorang ayah kandung sebagai wali yang
sah, maka hukumnya haram.
Tidak ada masalah untuk
melakukan nikah jarak jauh, di mana pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan tidak saling bertemu. Sama sekali tidak ada masalah karena
akad nikah atau ijab kabul dalam syariah Islam memang tidak terjadi
antara pengantin laki dan pengantin perempuan. Ijab kabul terjadi
antara pengantin laki-laki dengan ayah kandung atau wali dari
pengantin perempuan. Maka cukuplah si pengantin laki-laki dan calon
mertuanya itu saja yang mengucapkan ijab kabul. Asalkan ijab kabul
itu disaksikan oleh dua orang laki-laki muslim yang sudah aqil
baligh, akad itu sudah sah.
Bagi seorang wanita, tidak ada
nikah tanpa wali. Dan wali adalah ayah kandungnya yang sah. Hanya di
tangan ayah kandung sajalah seorang wanita boleh dinikahkan.
Seandainya si ayah kandung tidak mampu menghadiri akad nikah anak
gadisnya, maka dia boleh mewakilkan dirinya kepada orang lain yang
dipercayainya. Namun hak untuk menjadi wali tidak boleh ''dirampas''
begitu saja dari tangan ayah kandung. Bila sampai perampasan itu
terjadi, lalu wali gadungan itu menikahkan anak gadis itu, maka akad
nikah itu tidak sah. Kalau mereka melakukan hubungan suami isteri,
hukumnya zina.
Yang lebih menarik, justru
kehadiran petugas pencatat nikah yang biasanya memimpin ijab qabul,
sama sekali tidak masuk dalam urusan sah atau tidaknya pernikahan.
Meski tugas itu didapat dari pemerintah secara resmi, namun tanpa
kehadirannya akad nikah bisa tetap berlangsung. Sementara anggapan
sebagian masyarakat kita, petugas KUA ini seolah menjadi tokoh inti
dari sebuah ijab qabul. Padahal tugas hanya sekedar mencatat secara
administratif saja. Hadir atau tidak hadir, tidak ada urusan dengan
sahnya sebuah akad nikah. Namun demikian, demi tertibnya administrasi
negara, sebaiknya petugas ini dihadirkan juga, akan akad nikah itu
secara resmi juga tercatat dengan baik di pemerintahan.
Memang benar apa yang anda
katakan, sebuah pernikahan itu harus dilakukan oleh wali dari pihak
perempuan dan pihak mempelai laki-laki. Mereka berdua melafadzkan
ijab dan qabul yang disaksikan oleh minimal 2 orang laki-laki muslim.
Tanpa adanya keempat orang itu, nikahnya menjadi tidak sah. Karena
tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan sebuah pernikahan. Namun
yang perlu diperjelas di sini, bahwa seorang wali diperkenankan untuk
meminta orang lain untuk mewakili tugas dan wewenang. Orang lain yang
ditunjuk ini, tentu saja harus benar-benar ditunjuk dalam arti kata
yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat, seringkali
kita lihat orang tua mempelai wanita meski hadir dalam acara akad
nikah itu, meminta kepada petugas pencatat nikah (KUA) untuk menjadi
wakilnya. Sehingga yang mengucapkan ijab bukan orang tua mempelai
wanita, melainkan petugas KUA. Petugas itu tidak boleh mengambil alih
wewenang sebagai wali mempelai wanita, kecuali berdasarkan permintaan
dari si wali tersebut. Demikian juga, mempelai laki-laki pun
diperkenankan untuk meminta orang lain menjadi wakil dirinya, dalam
akad nikah. Baik dirinya hadir dalam acara akad itu atau pun tidak.
Namun yang kedua ini memang
kurang lazim terjadi. Tapi secara hukum, bila memang hal itu yang
diingininya, hukum tetap sah. Seluruh ulama salaf dan khalaf sepakat
membolehkan masalah mewakilkan wali nikah ini secara bulat. Baik
Mazhab Abu Hanifah, Malik, As-Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Bahkan
mazhab Abu Hanifah lebih jauh lagi dalam masalah ini, yaitu seorang
wanita boleh menjadi wakil dari ayah kandungnya dalam pernikahan
dirinya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa
kebolehan mewakilkan wewenang kepada orang lain (tawkil) dalam
menikahkan pasangan pengantin ini berlaku juga dalam hampir semua hal
yang terkait dengan masalah muamalah. Seperti jual beli, sewa
menyewa, gadai, salaf, istishna' dan lainnya.
Sedangkan yang terkait dengan
ibadah mahdhah
dan bersifat langsung kepada Allah SWT, tidak berlaku kecuali bila
ada dalil. Shalat dan puasa tidak boleh diwakilkan kepada orang lain,
namun ibadah haji termasuk rincian manasiknya seperti melontar
jamarat dan lainnya, dimungkinkan untuk diwakilkan. Lantaran ada
dalil yang tegas atas hal itu. Termasuk yang boleh diwakilkan adalah
menyembelih qurban yang dipersembahkan kepada Allah SWT di hari Raya
Qurban.
Pada dasarnya menurut para
ulama, tidak disyaratkan ada persaksian dalam proses pemberian
wewenang untuk menjadi wakil wali nikah. Namun mereka menganjurkan
untuk dihadirkan saksi-saksi, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai
orang yang sudah menyerahkan wewenang kepada wakilnya, tiba-tiba
mengingkarinya.
Islam Memberi Kemudahan Namun
Sesuai Prosedur. Kemungkinan menunjuk wakil dalam akad nikah ini
untuk menjawab masalah nikah jarak jauh, di mana wali mempelai wanita
dan mempelai laki-laki sulit untuk bisa duduk dalam satu majelis.
Daripada mereka melakukan ijab
kabul lewat telepon, akan lebih utama bila secara sah mereka meminta
orang lain mewakili mereka. Sebab ijab kabul jarak jauh ini masih
meninggalkan banyak perdebatan. Lantaran ada keharusan disaksikan
oleh dua orang saksi muslim, laki-laki, yang sudah aqil dan baligh.
Sesuatu yang sulit dikerjakan bila dilakukan dengan jarak jauh dan
bukan dalam satu majelis.
Maka yang bisa kita simpulkan
adalah bahwa setiap personal yang terkait dalam sebuah akad nikah
boleh mewakilkan wewenangnya kepada orang lain. Dalam hal ini adalah
calon suami dan mertuanya. Keduanya berhak meminta orang lain untuk
mewakili dirinya dalam sebuah akad.
Sedangkan saksi nikah yang dua
orang itu, memang tidak tergantikan, tetapi saksi boleh siapa saja,
asalkan muslim, laki, aqil, baligh, merdeka dan adil.
KESIMPULAN
Dari
uraian yang penulis paparkan, dapat penulis simpulkan dan sarankan
sebagai berikut :
1. Nikah
lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan
ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia.
2. Penetapan/putusan
pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon
No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk
bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan
berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
3. Penetapan
peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim
pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk
membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .
DAFTAR PUSTAKA
Afifi,
Mustofa. 2005. Al-Muttaqien
(LKS Pendidikan Agama Islam Untuk SMA).
Purworejo : UD. Daya Famili.
Hasan,
ali.2006. pedoman
hidup berumah tangga dalam islam.
Jakarta: fajar interpratama offset.
Efendi,
satrian.2004. problematika
hukum keluarga islam kontemporer.
Rawanagun jakarta timur: pernada media.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/akad-nikah-lewat-telepon.html
http://nikahituenak.wordpress.com/2007/07/21/hukum-nikah-jarak-jauh-2
Label:
Nikah Digital
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya. makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Sebagai mana yang telah di sebutkan dalam ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
0 komentar:
Posting Komentar