Minggu, 03 Juni 2012

postheadericon Fiqh 1 Bab Nikah Digital

*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentarnya. ketentuan hak cipta berlaku

NIKAH DIGITAL 


A. NIKAH
Nikah atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulakn hak dan kewajiban antara keduannya. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang tidak menikah.
Larangan tidak menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Al Hadid ayat 27
Artinya:
Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa Putra Maryam ; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adanya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan pada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.“

Rahbaniyah adalah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Rosulullah saw. bersabda,
Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No. 1401)

Anjuran untuk menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 21

artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.“

B. KEDUDUKAN IJAB DAN QABUL DALAM AKAD NIKAH
Akad nikah didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela, ijab di ucapkan oleh wali, qabul di ucapkan oleh calon mempelai laki-laki. Apabila ijab dan qabul itu dapat didengar oleh saksi (terutama) dan orang yang hadir dalam majlis pernikahan itu, telah dipandang memenuhi syarat. Berarti pernikahan dipandang syah. Demikian pendapat ulama fiqh. Namun, mereka berbeda pendapat dalam masalah menafsirkan ”satu majlis”.
Yang pada garis besarnya dalam arti fisik, yaitu dua orang yang ber akad, harus berada dalam satu ruangan yang tidak dibatasi oleh pembatas. Dan dalam pengertian yang lain yaitu dalam persepsi non fisik, ijab qobul harus dilakukan dalam satu upacara yang tidak dibatasi oleh kegiatan-kegiatan yang menghilangkan arti ” satu upacara”
Berikut pandangan para fuqoha dengan adanya masalah tersebut:
  • Imam syafi’i cenderung memandang dalam arti fisik, dengan demikian wali dan calon mempelai laki-laki harus berada dalam satu ruangan, sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak (wali dan calon suami) saling mendengar dan dan memahami secara jelas ijab dan qobul yang mereka ucapkan.
Disamping itu akad nikah yang berlangsung dalam satu ruangan erat kaitannya dengan tugas dua orang saksi yang menjadi salah satu rukun nikah. Kesua saksi itu harus tahu betul apa yang didengar dan dilihat nya dalam majlis akad nikah itu. Demikian penegasan imam syafi’i, menurut beliau kesaksian orang buta tidak dapat diterima, karena tidak dapat melihat.hal ini berarti, bahwa akad nikah melalui telepon dipandang tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan-ketentuan diatas.
  • Imam ahmad bin hambali, mengartikan satu majlis dalam arti non fisik ( tidak mesti dalam satu ruangan). Ijab dan qabul bisa diucapkan dalam satu waktu atau satu upacara secara langsung dan tidak boleh diselingi oleh kigiatan lain.
  • Imam abu hanifah serta para fuqoha’ ahlurra’yi dan kufah yang sejalan dengan pemikiran mereka dengan pendapat imam ahmad bin hambali. Namun imam ahmad bin hambali menegaskan, bahwa ada dua orang saksi yang harus mendengarkan dan memahami ucapan ijab qabul itu. Hal ini berati bahwa melihat pihak-pihak yang berakad tidak merupakan keharusan tetapi kedua orang saksi harus mendengar ucapan ijab dan qabul secara sempurna.berdasarkan penjelasan diatas (pendapat imam hambali), maka niakh yang dilaksanakan melalui telepon dianggap sah asal saja diberi pengeras suara, karena mendengar ijab dan qabul merupakan suatu keharusan.

C. DILEMA PERNIKAHAN PADA MASA PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon. Ada contoh kasus yaitu ada seorang ayah yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan seorang ayah tersebut masih tertunda di Jakarta sedangkan akad nikah yang dilaksanakan di Yogyakarta akan segera dilaksanakan karena rukun nikah sudah terpenuhi kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai perempuan tetap bersikeras ingin menikahkan anaknya sendiri tanpa diwakilkan. Jalan keluar yang diambil yaitu akad nikah dilaksanakan dengan menggunakan video call atau 3G. Dari kasus tersebut, timbul suatu keraguan apakah pernikahan tersebut sah atau tidak sehingga perlu dilakukan akad nikah ulang.
Menentukan sah atau tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon.
Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam.
Oleh karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan tidak dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
  1. Nikah itu termasuk ibadah. Oleh karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).

  1. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
  “Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
  1. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.
لا ضرر ولا ضرارا
Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.”

Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.”
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah”

Peristiwa akad nikah lewat telepon mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat. Contoh lain yaitu pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami Drs. Ario sutarto yang sedang bertugas belajar di program Pascasarjana Indiana University Amerika Serikat, sedangkan calon istri adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya biaya perjalanan pulang pergi Amerika Serikat-Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon di rumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video.
Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di Amerika Serikat itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki, sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan Prof. DR. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam Islam mempunyai aturan-aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul,  sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.
Ketika seseorang menikah lewat telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam akad nikah lewat telpon tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak adanya wali perempuan, dan tidak ketemunya calon pengantin ataupun wakilnya. Ini yang menyebabkan akad pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Seandainya dia menghadirkan dua saksi dan wali perempuan dalam akad ini, tetap saja akad pernikahan tidak sah karena kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa kecuali orang yang sedang menelpon, begitu juga wali perempuan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada ditelpon itu belum tentu suara calon suami atau istri. Ringkasnya bahwa akad pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau rentan terjadinya penipuan dan manipulasi.
Disarankan siapa saja yang ingin menikah jarak jauh, untuk mewakilkan kepada orang yang dipercaya. Seandainya dia sebagai perempuan yang bekerja di luar negri, maka cukup walinya sebagai wakil darinya untuk menikahkan dengan lelaki yang diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang hadir. Bagi seorang laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan jarak jauh, maka hendaknya dia mewakilkan dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti adik, kakak, atau saudaranya dengan dihadiri wali perempuan dan kedua saksi. Seandainya ada laki-laki dan perempuan yang ingin menikah di luar negeri dan jauh dari wali perempuan, maka wali tersebut bisa mewakilkan kepada orang yang dipercayai. Wakil  dari wali tersebut beserta kedua saksi harus hadir di dalam akad pernikahan. Semua proses pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya disertai dengan bukti-bukti dari instasi resmi terkait, supaya tidak disalahgunakan.
Masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon isteri dan wali semua terpisah jarak. Toh tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah. Tetapi yang solusinya bukan nikah jarak jauh, melainkan solusinya adalah taukil atau perwakilan. Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi syarat seorang wali. Dan penunjukannya boleh dilakukan secara jarak jauh, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan boleh lewat SMS, chatting, e-mail, atau Video Conference 3.5 G.
Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki. Si wakil wali mengucapkan ijab yang bunyinya kira-kira: “Saya sebagai wakil dari fulan (nama ayah si gadis) menikahkan kamu (nama calon suami) dengan fulanah binti fulan (nama gadis dan nama ayahnya) dengan mahar sekian sekian.” Lalu calon suami menjawab (qabul), kira-kira bunyinya: “Saya terima nikahnya fulanah binti fulanah dengan mahar tersebut tunai.” Dan akad itu sudah sah.
Dan lebih menarik lagi, ternyata perwakilan itu bukan saja boleh dilakukan oleh wali kepada wakilnya, tetapi calon suami pun boleh pula mewakilkan dirinya kepada orang lain. Sehingga namanya menjadi wakil calon suami yang akan melakukan proses qabul.
Misalnya seorang calon suami tidak mungkin bisa datang ke negara di mana ayah si gadis tinggal, sementara ayah di gadis pun tidak mau mewakilkan dirinya kepada orang lain. Berarti calon suami yang mengalah dan mewakilkan dirinya kepada seseorang yang tinggal di satu kota dengan ayah di gadis. Proses pewakilannya sama saja, boleh jarak jauh dan menggunakan berbagai teknologi informasi modern. Asalkan jangan pakai telepati saja, tidak sah karena tidak ada bukti otentik. Lalu si wakil calon suami melakukan akad nikah dengan ayah si gadis dan urusannya selesai.
Bahkan yang lebih fantastis lagi, ternyata kedua belah pihak pun masih dibenarkan untuk mengajukan wakil masing-masing. Sehingga yang melakukan akad nikah justru masing-masing wakilnya saja.Maka pernikahan jarak jauh bukanlah akad nikah dilakukan lewat telepon SLI atau yang lebih murah pakai VoIP, namun yang yang dilakukan secara jarak jauh adalah proses mewakilkannya. Sedangkan akad nikahnya harus dilakukan dalam satu majelis, face to face, meski hanya oleh wakil dari masing-masing. Untuk itu, harus ada saksi yang memenuhi syarat. Syaratnya mudah dan sederhana, tidak harus keluarga, famili atau kerabat. Bahkan tidak kenal pun tidak apa-apa. Yang penting saksi adalah dua orang yang beragama Islam, laki-laki, berakal, sudah baligh, adil dan merdeka (bukan budak). Dan syarat saksi ini kira-kira sama dengan syarat orang yang berhak untuk menjadi wakil dari wali.
Dalam syariat Islam, akad nikah tidak terjadi antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau tidak melibatkan keduanya bersama.
Sama dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang bukan pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari pencuri. Kita hanya boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya,
Ketika menikahkan anak, kita harus 'membeli' langsung dari 'pemiliknya', yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang lain yang bukan pemilik.
Adapun orang lain yang bukan ayahnya, lalu tiba-tiba mendadak mengangkat diri menjadi wali, maka dia telah bertindak sebagai 'wali gadungan'. Akad nikah yang dilakukannya 100% tidak sah. Karena pada hakikatnya dia bukan wali sedangkan wanita itu masih punya wali yang sah.
'Wali gadungan'adalah pencuri yang akan disiksa di neraka nanti, karean telah menyerobot hak milik orang lain. Bahkan bukan sekedar mencuri, dia akan disiksa pedih karena telah menghalalkan perzinaan. Dia telah menipu orang awam dengan fatwa sesatnya.
Syarat mutlak dari sebuah pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi. Tidak boleh dirampas begitu saja. Sehingga pernikahan jarak jauh tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski ayah kandung tidak ikut dalam akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya menikahkan puterinya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan nikah jarak jauh adalah merampas hak seorang ayah kandung sebagai wali yang sah, maka hukumnya haram.
Tidak ada masalah untuk melakukan nikah jarak jauh, di mana pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidak saling bertemu. Sama sekali tidak ada masalah karena akad nikah atau ijab kabul dalam syariah Islam memang tidak terjadi antara pengantin laki dan pengantin perempuan. Ijab kabul terjadi antara pengantin laki-laki dengan ayah kandung atau wali dari pengantin perempuan. Maka cukuplah si pengantin laki-laki dan calon mertuanya itu saja yang mengucapkan ijab kabul. Asalkan ijab kabul itu disaksikan oleh dua orang laki-laki muslim yang sudah aqil baligh, akad itu sudah sah.
Bagi seorang wanita, tidak ada nikah tanpa wali. Dan wali adalah ayah kandungnya yang sah. Hanya di tangan ayah kandung sajalah seorang wanita boleh dinikahkan. Seandainya si ayah kandung tidak mampu menghadiri akad nikah anak gadisnya, maka dia boleh mewakilkan dirinya kepada orang lain yang dipercayainya. Namun hak untuk menjadi wali tidak boleh ''dirampas'' begitu saja dari tangan ayah kandung. Bila sampai perampasan itu terjadi, lalu wali gadungan itu menikahkan anak gadis itu, maka akad nikah itu tidak sah. Kalau mereka melakukan hubungan suami isteri, hukumnya zina.
Yang lebih menarik, justru kehadiran petugas pencatat nikah yang biasanya memimpin ijab qabul, sama sekali tidak masuk dalam urusan sah atau tidaknya pernikahan. Meski tugas itu didapat dari pemerintah secara resmi, namun tanpa kehadirannya akad nikah bisa tetap berlangsung. Sementara anggapan sebagian masyarakat kita, petugas KUA ini seolah menjadi tokoh inti dari sebuah ijab qabul. Padahal tugas hanya sekedar mencatat secara administratif saja. Hadir atau tidak hadir, tidak ada urusan dengan sahnya sebuah akad nikah. Namun demikian, demi tertibnya administrasi negara, sebaiknya petugas ini dihadirkan juga, akan akad nikah itu secara resmi juga tercatat dengan baik di pemerintahan.
Memang benar apa yang anda katakan, sebuah pernikahan itu harus dilakukan oleh wali dari pihak perempuan dan pihak mempelai laki-laki. Mereka berdua melafadzkan ijab dan qabul yang disaksikan oleh minimal 2 orang laki-laki muslim. Tanpa adanya keempat orang itu, nikahnya menjadi tidak sah. Karena tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan sebuah pernikahan. Namun yang perlu diperjelas di sini, bahwa seorang wali diperkenankan untuk meminta orang lain untuk mewakili tugas dan wewenang. Orang lain yang ditunjuk ini, tentu saja harus benar-benar ditunjuk dalam arti kata yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat, seringkali kita lihat orang tua mempelai wanita meski hadir dalam acara akad nikah itu, meminta kepada petugas pencatat nikah (KUA) untuk menjadi wakilnya. Sehingga yang mengucapkan ijab bukan orang tua mempelai wanita, melainkan petugas KUA. Petugas itu tidak boleh mengambil alih wewenang sebagai wali mempelai wanita, kecuali berdasarkan permintaan dari si wali tersebut. Demikian juga, mempelai laki-laki pun diperkenankan untuk meminta orang lain menjadi wakil dirinya, dalam akad nikah. Baik dirinya hadir dalam acara akad itu atau pun tidak.
Namun yang kedua ini memang kurang lazim terjadi. Tapi secara hukum, bila memang hal itu yang diingininya, hukum tetap sah. Seluruh ulama salaf dan khalaf sepakat membolehkan masalah mewakilkan wali nikah ini secara bulat. Baik Mazhab Abu Hanifah, Malik, As-Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Bahkan mazhab Abu Hanifah lebih jauh lagi dalam masalah ini, yaitu seorang wanita boleh menjadi wakil dari ayah kandungnya dalam pernikahan dirinya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa kebolehan mewakilkan wewenang kepada orang lain (tawkil) dalam menikahkan pasangan pengantin ini berlaku juga dalam hampir semua hal yang terkait dengan masalah muamalah. Seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, salaf, istishna' dan lainnya.

Sedangkan yang terkait dengan ibadah mahdhah dan bersifat langsung kepada Allah SWT, tidak berlaku kecuali bila ada dalil. Shalat dan puasa tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, namun ibadah haji termasuk rincian manasiknya seperti melontar jamarat dan lainnya, dimungkinkan untuk diwakilkan. Lantaran ada dalil yang tegas atas hal itu. Termasuk yang boleh diwakilkan adalah menyembelih qurban yang dipersembahkan kepada Allah SWT di hari Raya Qurban.
Pada dasarnya menurut para ulama, tidak disyaratkan ada persaksian dalam proses pemberian wewenang untuk menjadi wakil wali nikah. Namun mereka menganjurkan untuk dihadirkan saksi-saksi, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai orang yang sudah menyerahkan wewenang kepada wakilnya, tiba-tiba mengingkarinya.
Islam Memberi Kemudahan Namun Sesuai Prosedur. Kemungkinan menunjuk wakil dalam akad nikah ini untuk menjawab masalah nikah jarak jauh, di mana wali mempelai wanita dan mempelai laki-laki sulit untuk bisa duduk dalam satu majelis.
Daripada mereka melakukan ijab kabul lewat telepon, akan lebih utama bila secara sah mereka meminta orang lain mewakili mereka. Sebab ijab kabul jarak jauh ini masih meninggalkan banyak perdebatan. Lantaran ada keharusan disaksikan oleh dua orang saksi muslim, laki-laki, yang sudah aqil dan baligh. Sesuatu yang sulit dikerjakan bila dilakukan dengan jarak jauh dan bukan dalam satu majelis.
Maka yang bisa kita simpulkan adalah bahwa setiap personal yang terkait dalam sebuah akad nikah boleh mewakilkan wewenangnya kepada orang lain. Dalam hal ini adalah calon suami dan mertuanya. Keduanya berhak meminta orang lain untuk mewakili dirinya dalam sebuah akad.
Sedangkan saksi nikah yang dua orang itu, memang tidak tergantikan, tetapi saksi boleh siapa saja, asalkan muslim, laki, aqil, baligh, merdeka dan adil.

KESIMPULAN
Dari uraian yang penulis paparkan, dapat penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
1. Nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
3. Penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .

DAFTAR PUSTAKA
Afifi, Mustofa. 2005. Al-Muttaqien (LKS Pendidikan Agama Islam Untuk SMA). Purworejo : UD. Daya Famili.
Hasan, ali.2006. pedoman hidup berumah tangga dalam islam. Jakarta: fajar interpratama offset.
Efendi, satrian.2004. problematika hukum keluarga islam kontemporer. Rawanagun jakarta timur: pernada media.

0 komentar:

Popular Posts

Share