Kamis, 23 Juni 2011

postheadericon Makalah Studi Fiqh; fiqih jinayah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidup pastilah tidak selalu berjalan mulus, tetapi akan dijumpai permasalahan-permasalahan yang timbul dari kalangan umat manusia, khususnya islam. Permasalahn itu pada umumnya menyangkut bagaimana islam menghukumi atau menyelesaikannya dengan suatu hukum yang sesuai dan pantas, baik bagi pelaku yang memunculkan suatu permasalahan maupun bagi seseorang yang menjadi korban dari permasalahan tersebut.

Oleh Karen itu, islam memiliki serangkaian peraturan atau hukum yang melekat pada diri setiap kaum muslim.
Dari serangkaian hukum yang terdapat dalam islam, khususnya hukum pidana islam (fiqh jinayah) merupakan salah satu dari bagian syari’at islam yang materinya kurang begitu dikenal dikalangan umat islam sendiri dan menganggap bahwa hukum islam yang terjadi pada masa nabi dahulu sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di masa sekarang, hal ini disebabkan adanya pengaruh dari pemikiran kaum orientalis barat yang menyatakan bahwa hukum islam terlalu kejam dan lain sebagainya.

Kita ketahui bersama bahwa ajaran-ajaran islam ini adalah ajaran dari Allah langsung yang cara penyampaiannya dengan perantara para utusannya, seperti nabi Muhammad saw yang menyampaikan syari’at islam yang tercantum didalam Al-Qur’an, termasuk didalamnya terdapat hukum pidana islam yang juga Allah sendiri yang membuat atau meletakkan dasarnya yang tujuannya adalah untuk menjadikan hambanya, hamba yang taat dengan segala ajaran dan peraturan dalam islam dengan harapan dapat mencapai tingkat ketaatan yang tinggi disisi Allah SWT.

Jadi, tidaklah mungkin dalam Allah menentukan suatu peraturan atau hukum menjadikan hambanya terasa teraniaya, atau merasa susah karena beratnya hukum atau peraturan tersebut. Allah maha tahu, maha kasih sayang, sehingga tidaklah mungkin Allah mendholimi hambanya.

Didalam makalah ini terdapat pembahasan terkait hukum pidana islam (fiqh jinayah) yang diharapkan bisa membantu kita dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi segala larangannya. Dengan pengetahuan kita akan hukum pidana dalam islam beserta konsekwensinya, bisa menjadikan kita memiliki rasa takut untuk menanggungnya di dunia, terlebih di hadapan Allah kelak, jika kita sampai melakukan laranganNYA tersebut, sehingga kita bisa menjadi hamba Allah yang memiliki ketaatan yang tinggi yang akhirnya kita akan bisa menjumpai dan merasakan kebahagian di dunia dan di akherat.


1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah Jinayah itu dan permasalahan apa saja yang menjadi ruang kajiannya ?
2. Apa fungsi dan tujuan diterapkannya suatu hukuman terkait pelanggaran syari’at dan hak asasi manusia ?
3. Hukum apa saja yang menjadi bagian dari fiqh jinayah ?
4. Bagaimana penjelasan hukum Qisosh, Hudud dan Ta’zir berdasarkan macam-macam pelanggarannya ?

1.3 Tujuan

1. Memahami pengertian Jinayah beserta ruang kajiannya
2. Untuk mengetahui fungsi dan tujuan diterapkannya hukuman terhadap jarimah/ jinayah
3. Untuk mengetahui macam-macam hukum dala fiqh Jinayah
4. Memahami definsi hukum Qisosh, Hudud dan Ta’zir

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fikih Jinayah

Fikih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum- hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci [1].

Adapun jinayah menurut bahasa (etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan [2]. Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya [3].

Menurut istilah fiqih, jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang terhadap hak Allah atau larangan Allah ,hak-hak manusia dan hak binatang di mana orang yang melakukan wajib mendapat/ diberi hukuman yang sesuai baik dunia maupun di akhirat. Dalam rumusan lain di sebutkan bahwa jinayah adalah perbuatan dosa besar atau kejahatan (pidana/ kriminal) seperti membunuh, melukai seseorang, atau membuat cacat anggota badan seseorang [4]. Keberadaaan hukum jinayah dalam syariat Islam didasarkan kepada nash al-Quran antara lain adalah
        
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah 179)

                              •   ••  
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah 49)

                   
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ 65)

Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fikih jinayah itu adalah ilmu yang membahas pemahaman tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Pengertian fikih jinayah (hukum pidana islam) tersebut di atas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif (hukum hasil produk manusia). Atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya [5].

Namun antara hukum pidana islam dengan hukum positif tetap ada perbedaan diantara keduanya, diantaranya adalah:
a) Hukum pidana islam lebih mengarah pada pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur, sehingga setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak akan selalu dicela dan diancam dengan hukum islam.
Sedangkan hukum positif, atau yang dikenal dengan undang-undang hanya mengarah pada apa yang menyebabkan kerugian secara langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat, dan tidak mengarah pada akhlak atau budi pekerti, sehingga jika tidak menimbulkan kerugian secara langsung, walaupun bertentangan dengan akhlak maka itu tidak dianggap tindakan pidana.
b) Hukum positif (undang-undang) merupakan buatan/ produk manusia, sedangkan hukum pidana islam bersumber dari Allah (wahyu) yang ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-sunah, yaitu jarimah hudud dan jarimah qisash. Ada pula hukum yang diserahkan kepada ulil amri, yaitu jarimah ta’zir dengan berpedoman Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Dalam konteks ini pengertian jinayah sama dengan jarimah. Pengertian jarimah secara bahasa (etimologi) adalah melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama) [6]. Sedangkan menurut istilah (terminologi) sebagaimana dikemukakan oleh imam Al Mawardi adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

2.2 Fungsi dan Tujuan diterapkannya Hukuman
Hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan kepada seseorang atau kelompok oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat serta melindungi kepentingan individu.
Adapun tujuan Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat islam adalah sebagai berikut:

a. Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut dan menahan orang lain untuk tidak berbuat jarimah serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.

Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut., tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Apabila kondisinya demikian maka hukuman yang diberikan (terutama hukuman ta’zir ), dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat jarimah yang diperbuat [7].

b. Perbaikan dan Pendidikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia berubah menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapat ridha Allah. Kesadaran yang demikian keadaanya tentu merupakan alat yang paling baik untuk memberantas jarimah, karena seseorang sebelum berbuat jarimah ia akan berfikir bahwa Tuhan tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya baik di dunia maupun diakherat, baik perbuatannya itu diketahui orang atau tidak [8].

Sehingga dari ini dapat merubah atau memperbaiki akhlak manusia yang semula tidak terpuji menjadi akhlak yang terpuji atau luhur .

2.3 Macam-Macam Jinayah
Pada dasarnya dan yang ditinjau dari segi barat ringannya hukuman, jinayat dibagi menjadi 3, yaitu:

A. Qishos (pembalasan) dan Diat (denda)
Hukum qisos adalah pembalasan yang setimpal (sama) atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan badan. Adapun dalil yang mendasari hukkun qisos diantaranya adalah QS. Al-Maidah 45
   • • •                            
Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah 45)

                                         
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih (QS. Al-Baqarah 178)

Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam men-qisos adalah:
a) Pembunuh yang melakukan Qisos harus sudah dewasa, berakal, merdeka dan seagama.
b) Qisos pada anggota-anggota badan harus sejenis, misalnya tangan dengan tangan dsb.

Sedangkan diat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukun diad sebab membunuh atau melukai seseorang. Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak disengaja atau pembunuhan karena kesalahan (khoto’). Adapun dasar dalam hukum diat adalah
  •           
barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah
(QS. An-Nisa’ 92)

Menurut H. Moh Anwar [9] sebab- sebab yang menimbulkan diat adalah:
1) Karena diampuni dari hukum qisos dari keluarga/ ahli waris si korban, dan hanya menghendaki dengan diat saja. Yaitu diatnya 100 ekor unta.hukum
2) Dimana pelaku pembunuhan lari, namun telah diketahui orannya, maka beban diatnya ditanggungkan kepada keluarga atau ahli waris pelaku.
3) Karena susahnya melaksanakan qisos, seperti:
a) Ma’munah, yaitu melukai sampai kekulit tenggorokan atau otak. Diatnya 33 ekor unta lebih (1/3 dari diat membunuh)
b) Ja’ifhah, yaitu luka berat sampai kedalam perut. Diatnya 50 ekor unta (1/2 dari diat membunuh)
c) Munaqqilah, yaitu luka sampai menglihkan tulang atau memecahkannya. Diatnya 15 ekor unta lebih (1/6 dari diat membunuh)
d) Mudhihah, yaitu lika sampai kelihatan tulang. Diatnya 5 ekor unta (1/20 dari diat membunuh)

Adapun rincian diat 100 ekor unta bagi pembunuhan khoto’ dibagi 5 macam [10] , yaitu 20 ekor unta hiqqoh (unta umur 3 tahun), 20 ekor unta jadza’ah (unta umur 4 tahun), 20 ekor unta bintu makhod (unta betina umur lebih 1 tahun), 20 ekor unta ibnu labun (unta jantan umur lebih 2 tahun), 20 ekor unta bintu labun (unta betina umur lebih 2 tahun).

Hukum qisohs dan hukum diat, keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Hukum qishos di berikan kepada pelaku pengerusakan badan, akan tetapi dapat pula hukuman tersebut berupa denda (diyat). Menurut H.Moh Anwar menegaskan bahwa : hukuman yang dijatuhkan ,ialah dengan kisos atau diyat tergantung kepada sebab-sebab terjadinya perusakan karena di sengaja atau tidak di sengaja [11].
Dengan demikian ciri khas dari jarimah qisas dan diat adalah:
a) Hukumanya sudah tentu dan terbatas (sudah ditentukan oleh syara’)
b) Hukuman tersbut merupakan hak perseorangan (pihak korban berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.

Dalam masalah jinayah, husein bahreisj [12] memberi penjelasan dengan klasifikasi sebagai berikut:

1. Qisos :
a) Dalam hukum islam setiap terjadinya suatu pembunuhan yang sengaja harus dibalas (qisos) dengan pembunuhan pula, yang diputuskan perkaranya oleh hakim.
b) Orang muslim yang membunuh orang kafir yang mempunyai perjanjian dengan pemerintah islam (kafir dzimmi), maka tetap ada qisos.
c) Pembunuhberserikat harus dibunuh semuanya
d) Ahli waris atau keluarga pihak terbunuh atau korban berhaq menuntut qisos atau hanya menuntut diad saja kepada pelaku pembunuhan.
e) Orang muslim yang membunuh orang kafir harbi (kafir yang memerangi islam) tidak ada qisos. (pengecualian qisos).

2. Diat :
a) Pembunuhan yang tidak sengaja dengan membayar diat 100 unta dengan ketentuan diatas, yang ditimpakan kepada keluarga pembunuh.
b) Diat karena membunuh wanita adalah ½ dari diat membunuh laki-laki.
c) Setiap pembunuhan yang dimaafkan atau yang membayar diat, baginya dikenakan satu denda sebagai kafaroh dari perbuatannya, yaitu memerdekakan satu budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut
     •      •                                                      
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa’ 92)

B. Hadd atau hudud

Hudud, jamaknya “had”. Arti menurut bahasa ialah : menahan (menghukum). Menurut istilah hudud berarti: sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum.

Menurut hukum terdapat beberapa perbuatan yang dapat dikenakan had, yaitu zina, menuduh zina (Qodzaf), pencurian (sirqoh), begal/ perampok dan pemberontak (bughah), murtad dan sebagainya.

1. Hukuman Karena Zina

Apabila terjadi perzinaan, maka bagi pelakunya dijatuhkan hukum jilid atau rajam dengan ketentuan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh syara’. Apabila terjadi perzinaan yang telah memenuhi syarat maka hukumnya sebagai berikut:
Kalau orang yang berzina itu baik laki-laki ataupun perempuannya memang merdeka ,sudah baligh , maka hukumnya sebagai berikut:
a) Dengan jilid/dipukul 100 kali dan diasingkan selama setahun bagi orang yang merdeka,dewasa, berakal, tetapi belum pernah berjimak dengan istri yang syah.
• •  •                         
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.( QS, An-Nur ayat 2)

b) kalau orang yang berzina itu sudah merasai berjimak dengan istri yang sah, disebut zina muhson, maka hukumnya dengan rajam, yaitu dilempari batu hingga mati.


2. Hukuman (Had) karena Menuduh Zina (Qodhaf)

Termasuk tujuh dosa dan merusak amal kebaikan yaitu: menuduh zina (qodhaf). Tuduhan tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tulisan.
Firman Allah:
                    
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur 4)

Di dalam menuduh zina (qodhaf) terdapat dua hal yang perlu diperhatikan,yaitu:
a) Bagi orang yang menuduh zina boleh meminta disumpah orang yang dituduhnya. Kalau yang dituduh itu bersumpah, maka tetap dera bagi yang menuduhnya. Bila orang yang dituduh itu tidak bersumpah, maka tidak harus di dera orang yang menuduhkan dan orang yang dituduhnya tidak di had, kecuali jika ada 4 orang saksi.
b) Kalau seorang suami melihat atau mencurigakan kepada istrinya akan berbuat zina, maka bagi suami itu diperbolehkan mencerainya atau memelihara si istri dengan menutup rahasianya [13].

 3. Hukum Pencurian (Sirqoh)

Pengertian sirqoh menurut bahasa ialah mengambil sesuatu dengan sembunyi. Adapun menurut istilah: sirqoh adalah mengambil sesuatu (barang) hak milik orang lain secara sembunyi dan dari tempat persembunyiannya yang pantas.

Kebenaran hak bagi pencurian berdasarkan nash Al-Qur’an yaitu:
              
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Maidah ayat 38.)

Pelaksanaan hukum potong tangan memerlukan beberapa syarat, yaitu:
1. orang yang mencurinya:
a) sudah baligh. Berakal, sadar dan mengetahui akan haramnya mencuri.
b) terikat oleh hukum, bukan orang gila atau mabuk
2. barang yang dicurinya mencapai nizab, yaitu minimal ¼ dinar=3 dirham=3.36 gr emas. Dinar (hitungan emas)=12 dirham, 1 dirham=1,12 gr emas. Maka 1 dinar=12x1,12 gr emas=13,44 gr emas.
3. Barang curian itu benar-benar milik orang lain, baik semuanya atau sebagiannya dan bukan milik orang tuanya atau anaknya.
4. mengambilnya barang itu dengan sengaja sengaja
5. barangnya berada di tempat penyimpanan, seperti lemari untuk menyimpan pakaian atau perhiasan [14].

4. Hukuman Pembegal dan Perampok

Pengertian pembegalan adalah: merebut sesuatu atau barang orang lain secara paksa dan menakut-nakuti , sewaktu-waktu disertai penganiayaan atau membunuh pemilik barang tersebut. Seorang perampok yang membunuh maka hukumnya adalah dibunuh (qisos). Tetapi merampok yang membunuh dan mengambil harta orang lain maka hukumnya nya adalah dibunuh atau di salib jika perampok itu mengambil harta orang yang dirampok saja maka hukumannya adalah dipotong tangan seperti keputusan kepada pencuri. Dan jika ia menakut-nakuti orang maka ia ditahan dan di ta’zir [15].
         •                           
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (QS. Surat Al-Maidah ayat 33)

C. Hukum Ta’zir

Yang dimaksud dengan hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di tetapkan hukumannya dalam Quran dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman ringan. hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya.
nabi bersabda tidak boleh dipukul di atas 10 kali cambuk kecuali hukuman yang telah di tetapkan oleh Allah. Jadi ta’zir hukuman yang lebih ringan yang kesemuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim misalnya karena berjudi, berkelahi, mengejek, menggangu orang lain, dan termasuk pula memalsukan berat timbangan dan lain-lain.

Menurut H.Moh Anwar [16] menjelaskan: bahwa hukum ta’zir ini oleh islam diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam, akan tetapi dengan memperhatikan kepada hukum-hukum pidana positif (undang-undang) juga dengan berlandaskan atau dengan didasari hukum Al-Qur’an dan Al-Hadis, tidak boleh sewena-wena.

Maka oleh karena itu hakim berhak untuk menyusun KUH atau KUHP. Ta’zir ini di susun oleh suatu badan resmi yang di angkat oleh pemerintah kepala negara yang diberi tugas khusus untuk menyusunnya yang kemudian hasilnya diputuskan oleh DPR, lalu di syahkan oleh kepala Negara untuk dilaksanakan oleh setiap hakim dalam melaksanakan kewajibannya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Didalam fiqh jinayah, pembahasannya menyangkut permasalahan-permasalahan seputar pelanggaran syari’at dan hak asasi manusia, khususnya sesama kaum muslim. Sebab, fikih jinayah itu sendiri merupakan ilmu yang membahas pemahaman tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil terperinci, atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya. Pengertian fikih jinayah (hukum pidana islam) tersebut di atas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif (hukum hasil produk manusia) atau undang-undang karena tujuan umumnya hampir sama, yaitu menciptakan ketenangan dan ketenteraman dalam masyarakat.

Sedangkan tujuan utama dari penerapan hukuman dalam syariat islam mengenai jarimah adalah :
a) mencegah atau menahan seseorang berbuat, mengulangi dan meniru untuk melakukan jarimah (pelanggaran pidana) dan menjauhkan seseorang dari lingkungan jarimah. Perbaikan dan Pendidikan.
b) memperbaiki dan mendidik akhlah seseorang yang telah melakukan jarimah agar berubah menjadi lebih baik dan menyadari kesalahannya. sehingga menjauhkan manusia dari lingkungan jarimah, dan menjadikan akhlak yang terpuji atau luhur .

sehingga fiqh jinayah ini mengkaji seputar permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran syari’at dan hak asasi manusia demi menciptakan ketenangan dan ketenteraman dalam hidup bermasyarakat.
Macam-macam hukum yang masuk kedalam pembahasan kajian fiqh jinayah ini sangatlah banyak, yaitu semua hukum tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran syari’at dan hak asasi manusia dengan mengedepankan akhlah yang luhur. Secara garis besar, hukum- hukum tersebut dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu hukum qisos dan diat, hukum had atau hudud, dan hukum ta’zir

Hukum qisos adalah hukum hukum balas sebagai pembalasan kepada pelaku jarimah terhadap korban yang menanggung kerugian atau kerusakan anggota badan dengan pembalasan yang sesuai dengan kerugian atau kerusakan yang diderita korban. Sedangkan hukum diat adalah hukum yang mengharuskan atau mewajibkan seorang pelaku jarimah untuk membayar denda baik berupa barang atau harta sebab perbuatannya yang melanggar syari’at dan karena tuntutan dari pihak korban yang menanggung atau menderita kerusakan akibat dari perbuatannya atau karena sulitnya melakukan qisos.

Hukum had atau hudud merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum. Hukum had ini merupakan sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam), dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan.
Hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di tetapkan hukumannya dalam Quran dan Hadist yang merupakan hukuman yang sifatnya ringan. hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya. Hukum ta’zir ini dikeluarkan atau diserahkan sepenuhnya oleh hakim islam dengan memperhatikan hukum-hukum pidana positif (undang-undang) juga dengan berlandaskan atau dengan didasari hukum Al-Qur’an dan Al-Hadis, tidak boleh sewenang-wenang.

Daftar Pustaka
Audah, Abdul Qadir. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1.

Kallaf, Abdul wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968.

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2004

Abdullah, Musthafa. dkk. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983.

Anwar, Mohammad. Fiqh Islam._

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam._

Husein Bahreisj. Pedoman Fiqh Islam._

Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam._


Endnote :

[1] Abdul wahab kallaf. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968. Hal. 11

[2] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Pengantar Dan Asas Hukum Islam. Hal 1

[3] Abdul Qadir Audah. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1. Hal 67

[4] Drs. Sudarsono,SH. Pokok-Pokok Hukum Islam. Hal 527

[5] Musthafa Abdullah, S.H dkk. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983. Hal.9-10

[6] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Op. cit. hal 9

[7] Ibid hal 136

[8] Ahmad Hanafi, asas-asas hukum pidana islam, hal 255

[9] H. Moh. Anwar. Fiqh Islam. Hal 225

[10]Hadis riwayat Daruqutni

[11]H. Moh. Anwar. Op. Cit. Hal 240

[12]Husein Bahreisj. Pedoman Fiqh Islam. Hal 276-279

[13]H. Moh. Anwar. Op.cit. hal 281

[14]Ibid. hal 290-291

[15]Husein Bahreisj. op. cit. hal.289-200

[16]H. Moh. Anwar. Op.cit. hal 300


*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi. ketentuan hak cipta berlaku

0 komentar:

Popular Posts

Share