Minggu, 03 Juni 2012
Fiqh 1 bab Nikah Mut'ah
18.13 | Diposting oleh
eko aw |
Edit Entri
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap mencantumkan komentar yang membangun. ketentuan hak cipta berlaku
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]
READ MORE - Fiqh 1 bab Nikah Mut'ah
NIKAH MUT'AH
A. Pengertian Nikah M ut’ah
Kata
mut’ah berasal dari kata mata` dalam bahasa Arab berarti segala suatu dapat
dinikmati dan dimanfaatkan, misalnya makanan, pakaian, perabotan rumah tangga,
dan sebagainya. Kemudian, dalam istilah fiqh dimaksudkan sebagai suatu
pemberian dari suami kepada istri akibat terjadinya perceraian, sebagai
“penghibur” atau “ganti Rugi”. (bedakan ini dari nikah mut’ah yang berarti
nikah untuk waktu tertentu sebagaimana telah diuraikan hukumnya dalam beberapa
bab sebelumnya ini).
Pemberian
mut’ah ini adalah sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT. Kepada para suami
agar selalu mempergauli istri-istri mereka dengan prinsip: imsak bi
ma’ruf aw tasrih bi ihsan (yakni mempertahankan ikatan
perkawinan dengan kebaikan atau melepaskan [menceraikan] dengan kebijakan).
Oleh sebab itukalaupun hubungan perkawinan terpaksa diputuskan, perlakuan baik
harus tetap dijaga, hubungan baik pun dengan mantan istri dan keluarganya
sedapat mungkin di pertahankan, disamping melaksanakan pemberian mut’ah dengan
ikhlas dan sopan santun, tanpa sedikit pun menunjukkan kegusaran hati, apalagi
penghinaan dan pelecehan.[1]
Pengertian
nikah mut’ah atau nikah hingga batas tertentu; ialah apabila seorang laki-laki
dan seorang perempuan sepakat melakukan pernikahan hingga batas waktu yang
ditentukan atau tanpa waktu yang jelas, dengan imbalan harta yang telah
ditentukan.
Sebuah
bentuk pernikahan yang maksudnya semata-mata untuk melampiaskan nafsu syahwat,
dan berhenti masa berlakunya tanpa talak jika masa yang disepakati telah
selesai, atau bila terjadi perpisahan maka masa berlakunya secara otomatis
habis.
Tidak
diragukan bahwa bentuk pernikahan seperti ini bukankah bentuk pernikahan yang
di syariatkan dalam Islam dan misi Al-Quran dalam menetapkan pernikahan tidak
seperti itu.[2]
B. Landasan Pernikahan Dalam Islam
Al-Quran
mengarahkan agar sebuah pernikahan bertujuan untuk meraih mawaddah wa rahmah
(cinta dan kasih sayang) dari kedua belah pihak, dan hasil dari pernikahan
itu adalah membentuk sebuah keluarga sakinah, lahirlah anak-anak dan cucu, dan
adanya kerja sama dalam mendidik mereka.
Adakah semua itu bisa tercapai dengan kawin
mut’ah?
Di
dalam Al-Quran terdapat banyak hukum-hukum yang menetapkan syariat pernikahan
dan yang berkenaan denganya, seperti warisan, penetapan nasab, nafkah
lahiriyah, talak, iddah, ila’, zhihar, li’an, haram hukumnya menikah dengan
wanita yang ke lima, dan lain-lain yang sudah diketahui dengan oleh banyak
orang, dan tidak ada kaitanya semua itu dengan nikah mut’ah.
Al-Quran
terkadang memakai zawaj, kadang juga memakai kata nikah di dalam banyak ayat,
dan tidak bisa di pahami dari kedua kata itu selain pernikahan yang landasanya
adalah keabadian, membentuk keluarga, dan diikat denganhukum-hukum yang telah
saya jelaskan sebelumnya.
Cobalah
baca ayat-ayat berikut ini:
وَبُعُو لَتُهُنَّ أَحَقُّ برَدّهنَّ
“dan suami-suaminya berhak merujukinya…”
(QS.
Al-Baqarah: 228)
وَلَهُنَّ مثْلُ اُلَّذى عَلَيْهنَّ باُلْمَعْرُوْف
“dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajiban-nya menurut cara yang ma’ruf”.
(QS.
Al-Baqarah: 228)
حَتَّى تَنكحَ زَوْجاً غَيْرَهُ
“hingga dia kawin dengan suami yang lain”.
(QS.
Al-Baqarah: 230)
وَأَنْكحُوْا اُلأَيَمَى منْكُمْ وَاُلصَّلحيْنَ منْ عبَاد كُمْ
وَإماَىكُمْ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba-hamba sahayamun yang perempuan.”
(QS. An-Nur:
32)
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضكُمْ إلَى بَعْض
وَأَخَذْ نَ منْكُمْ مّنْكُمْ مّيْثقًا غَليْظًا
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) denganyang lain sebagai suami-istri.
Dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
(QS.An-Nisaa`:
21)
Cermatilah ayat-ayat tersebut di atas dan
ayat-ayat yang lainya, agar Anda tahu bahwa bentuk pernikahan mut’ah yang di
dengung-dengungkan oleh orang-orang syiah dan pendukungnya sangat jauh dari
syariat Islam, walaupun mereka mengklaim bahwa nikah mut’ah tersebut sesuai
dengan syariat Islam berdasarkan nafsu dan fanatisme berlebihan mereka terhadap
pendapat yang tidak berlandaskan dengan dalil yang benar.
C. Hukum Islam tentang Nikah Mut’ah
·
Nikah
mut’ah pernah dihalalkan kemudian di haramkan
Tidak bisa
diingkari bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan bagi prajurit yang sedang
berjihad di jalan Allah, namun tidak bisa di pungkiri bahwa setelah itu Nabi
mengharamkanya dengan pengharaman untuk selama-lamanya.
Imam Muslim telah mengumpulkan dalam kitab Shahihnya, juga
Al-Hafizt Ibnu Hajar dalam Syarah (penjelasan) hadits Al-Bukhari tentang
hadits-hadits yang melarang kawin mut’ah. Seperti hadits dari Sabrah Al-Juhny
yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim berikut
عن سبرة الجهني انه غزا مع النبي ص.م في فتح مكة فاذن لهم رسول الله
ص.م في متعة النساء قال فلم يخرج منها حتى حرمها رسمل الله ص.م (رواه مسلم و أحمد)
“ Dari Sabrah Al-Juhni bahwa ia ikut berperang
bersama Nabi saw. Pada waktu penaklukan Makkah, maka Rasulullah saw mengizinkan
kepada mereka untuk bermut’ah dengan wanita. Sabrah berkata : Ia tidak keluar
dari wanita itu hingga Rasulullah saw mengharamkannya”(HR Muslim dan Ahmad).
Maka jumhur ulama memandang nikah mut’ah itu diharamkan
selama-lamanya. Kebolehannya terbatas pada waktu perang penaklukan Mekkah,
sesudah itu dilarang oleh Nabi untuk selama-lamanya dan syari’atnya sudah
mansukh.
Adapun larangan Umar tentang kawin Mut’ah dan ancamannya bagi
pelakunya di depan para sahabat, menunjukkan bahwa memang nikah mut’ah telah
dilarang oleh Rasulullah, dan itu adalah bentuk pengamalan terhadap
hadits-hadits yang shahih, dan untuk menepis anggapan bahwa nikah mut’ah itu
belum diharamkan.
Nabi terkadang memberikan keringanan bagi orang yang baru masuk
Islam yang berada dalam kondisi darurat hingga mereka mendapatkan penyelesaian
dari masalahnya, dan setelah mereka merasa nyaman dengan Islam dan
aturan-aturannya barulah Nabi mengharamkan perkara yang awalnya diringankannya
baginya sebagimana Allah mengharamkanya, dan mengharamkan itu berlaku umum dan
untuk selama-lamanya.
Dari penjelasan ini, jelas bahwa dua pandangan dalam masalah nikah
mut’ah tidak mungkin diletakkan dalam satu timbangan, apalagi jika diletakkan
sejajar dalam dua wadah timbangan, karena bolehnya nikah mut’ah pada zaman
dahulu hanya yang lebih hina dalam kondisi darurat sementara kaum muslimin pada
waktu masih asing dengan hukum-hukum Islam.
Bentuk keringanan seperti tidak panas untuk dijadikan landasan
dalam menetapkan hukum syariat.
Kalau ada aturan dalam agama yang memperbolehkan bagi wanita untuk
menikahi dalam satu tahun dengan sebelas laki-laki, atau membolehkan laki-laki
untuk menikah seenaknya dengan wanita
dalam satu hari, tanpa membebankan kepadanya tanggungjawab pernikahan,
maka aturan agama yang memperbolehkan seperti itu tidak mungkin berasal dari
hukum Allah pemilik alam semesta alam mini, karena bertentangan dengan wibawa
kehormatan dan kesucian martabat manusia.
· Nikah
mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan
secara akal.
• Dari al
Qur`an : AL-MAARIJ 29-31
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]
Allah Subhanahu
wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara.
Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan
bukan pula budak. [24]
Dan barangsiapa
di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari
budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu
adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin
tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun
wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga
diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka
atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami.
(Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada
kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu
lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. an Nisa`:
25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama,
jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak
melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk
menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini
merupakan larangan terhadap nikah mut’ah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
“karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui,
bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang
disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak
mensyariatkan demikian. [26]
• Dalil dari
Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil
haramnya mut’ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah
menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah.
Di antara
pernyataan tersebut ialah :
1.
Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah ,
sebagaimana telah disebutkan di muka.
2.
Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang
mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang
mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang
telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah,
bahwa hukum tersebut telah dihapus.
3.
Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari
seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok
Syi’ah, Pen)”.
4.
Dan juga disebutkan oleh al Khattabi:
“Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin,
Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”.
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai
berikut :
1.
Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum
standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan
warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2.
‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di
hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para
sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat
‘Umar tersebut salah.
3.
Haramnya nikah mut’ah, dikarenakan dampak
negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a.
Bercampurnya nasab, karena wanita yang
telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu
seterusnya.
b.
Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa
pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c.
Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah
dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.
D. Mut’ah menurut kompilasi hukum perkawinan
Dalam kompilasi hukum perkawinan yang berlaku
di Indonesia, Bab XVII, pasal 149 disebutkan:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a.
Memberi
mut’ah yang layak kepada istri, baik berupa uang tau benda, kecuali bekas istri
tersebut (ditalak) qabla dukhul.
b.
Memberi
nafkah, maskan (yakni tempat tinggal) dan kiswah (yakni pakaian) kepada bekas
istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau
nusyuz dalam keadaan tidak hamil.
c.
Melunasi
mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla dukhul.
d.
Memberikan
biaya bandhanah untuk anak-anaknya belum mencapai umur 21 tahun.
Selanjutnya, dalam pasal 158 disebutkan:
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a.
Belum
ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul.
b.
Perceraian
itu atas kehendak suami.
Dalam Pasal 159 disebutkan:
Mut’ah sunnah diberikan bekas suami tanpa syarat tersebut
pada pasal 158.
Dalam pasal 160 disebutkan:
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.[3]
KESIMPULAN
Kesimpulan
nikah mut’ah
adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu,
dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang
lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah
tanpa kata thalak dan tanpa warisan
dan hokum pernikahan mut’ah adalah
haram walaupun pernah dihalalkan. Tidak
bisa diingkari bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan bagi prajurit yang sedang
berjihad di jalan Allah, namun tidak bisa di pungkiri bahwa setelah itu Nabi
mengharamkanya dengan pengharaman untuk selama-lamanya.
Dan pendapat
nikah mut’ah menurut Ijma`, para ulama
ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya
nikah mut’ah.
Di antara
pernyataan tersebut ialah :
1.
Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah ,
sebagaimana telah disebutkan di muka.
2.
Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang
mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang
mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang
telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah,
bahwa hukum tersebut telah dihapus.
3.
Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari
seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok
Syi’ah, Pen)”.
4.
Dan juga disebutkan oleh al Khattabi:
“Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin,
Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”.
Label:
Nikah Mut'ah
|
0
komentar
Fiqh 1 bab Tayamum
18.02 | Diposting oleh
eko aw |
Edit Entri
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya. makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentar yang membangun. ketentuan hak cipta berlaku
READ MORE - Fiqh 1 bab Tayamum
TAYAMUM
A. Pengertian,
syarat dan hukum Tayamum
Tayamum menurut
bahasa berarti menuju, sedangkan menurut syara berarti mengumpulkan debu yang
suci kepada wajah dan ke dua tangan di sertai dengan niat dan cara tertentu.
Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Al-Maidah : 6
“Dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembalidari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
(QS. Al-Maidah: 6)
Tayammum
merupakan ganti dari bersuci menggunakan air ketika tidak mampu menggunakan
untuk menggunakan air tersebut ecara syar’i. Dikerjakan dengan besuci
menggunakan tayammum segala yang dikerjakan dengan bersuci menggunakan air;
berupa shalat, thawaf, membaca al-Quran, dsb. Maka Allah telah menjadikan tayammum
sebagai pensuci sebagaimana juga menjadikan air sebagai pensuci. Nabi bersabda.[1]
وَ جُعِلَت تُربَتُهَا (يَعنِي الارضِ) لَنَا
طَهُورًا
“ Dan telah dijadikan debunya ( yaitu bumi) sebagai alat
bersuci bagi kami.”
1. Syarat-syarat Tayamum
Tayamum
di anggap syah apabila telah memenuhi syarat-syarat seperti berikut :
a. Telah masuk waktu shalat
b. Sudah berusaha mencari air tetapi tidak
mendapatkan air sedangkan waktu shalat sudah tiba.
c. Menggunakan tanah atau debu yang suci
d. Menghilangkan najis terlebih dahulu
e. Berusaha mengetahui kiblat terlebih
dahulu.
2. Rukun Atau Fardhu Tayamum
Yang termasuk fardu
tayamum, yaitu :
a. Niat
b. Mengusap wajah dan kedua tangan dengan
debu dua kali pukulan
c. Tertib
Rukun tayamum ini
sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
قَالَ رَسُوْلُ الله : التَيَمّمُ َضَرْبَتانِ
,ضَرَبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرَبَةٌ
لِلْيَدَيْنِ (رواه الد ارقطنى)
“Rasulullah
SAW telah bersabda : Tayamumlah itu dua kali tepukan, sekali untuk muka dan
sekali lagi untuk kedua tangan. (HR. Daruqutni)
3. Sunnah-sunnah Bertayamum
a. Semua yang di sunnahkan dalam berwudhu
juga sama di sunnahkan dalam tayamum, seperti membaca basmallah.
b. Menebarkan jari ketika menepukannya pada
tangan.
c. Menipiskan debu dengan cara mengibaskan
kedua telapak tangan atau meniupnya.
4. Sebab-sebab Tayamum
Tayamum
di lakukan sebagai pengganti wudhu karena ada sebab-sebab sebagai berikut,
yaitu :
a. Karena tidak ada air
Setelah shalat tidak
wajib mengulang lagi shalat apabila sudah mendapatkan air. Sedangkan dalam
keadaan junub/hadats besar, maka wajib mandi bila mendapatkan air. Karena
tayamum menghilangkan hadats.
b. Karena sakit, yang tidak di bolehkan
terkena air.
c. Karena berada pada perjalanan jauh
dimana tidak ada air.
d. Karena air yang ada dibutuhkan untuk
minum
5. Hal-hal yang dapat membatalkan wudhu,
diantaranya :
a. Hal-hal yang membatalkan wudhu sama saja
dengan hal-hal yang membatalkan tayamum
b. Ada air setelah tidak ada sebelum shalat
c. Mampu menggunakan air seperti halnya
orang yang sakit lalu semjikbuh.
d. Murtad.
B. Hal-hal yang dapat digunakan untuk tayyammm
Ada beberapa
pandangan ulamak dalam masalah bahan yang harus digunakan untuk bertayammum;
Pertama; jumhur ulama’ (mazhab Imam Syafi’ie, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf
dan Daud az-Dzahiri) mensyaratkan tayammum hendaklah dengan tanah, tidak harus
dengan pasir, batu, kapur dan sebagainya yang tidak dikategorikan sebagai
tanah. Dan disyaratkan tanah itu pula hendaklah berdebu (yakni dapat melekat
pada tangan bila ditepuk) dan bersih.
Kedua; Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pula berpendapat; tidak khusus kepada tanah sahaja. Harus tayammum dengan segala yang ada di atas permukaan bumi; tidak hanya tanah, tetapi juga pasir, kapur, batu dan seumpamanya. Malah menurut Imam Malik; harus tayammum dengan salji dan setiap yang melapisi permukaan bumi. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan bahan-bahan untuk bertayammum itu berdebu. Oleh itu, pada pandangan mereka; harus bertayammum di atas batu yang tidak ada debu atau di atas tanah licin yang tidak ada debu yang melekat di tangan apabila ditepuk di atasnya.[2]
Kedua; Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pula berpendapat; tidak khusus kepada tanah sahaja. Harus tayammum dengan segala yang ada di atas permukaan bumi; tidak hanya tanah, tetapi juga pasir, kapur, batu dan seumpamanya. Malah menurut Imam Malik; harus tayammum dengan salji dan setiap yang melapisi permukaan bumi. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan bahan-bahan untuk bertayammum itu berdebu. Oleh itu, pada pandangan mereka; harus bertayammum di atas batu yang tidak ada debu atau di atas tanah licin yang tidak ada debu yang melekat di tangan apabila ditepuk di atasnya.[2]
Indonesia merupakan negara yang pada umumnya mengikuti pendapat
imam syafi’i, jadi dapat di ambil point bahwa hal-hal yang dapat di gunakan
untuk bertayammum menurut adat kebiasaan orang indonesia yaitu menggunakan
tanah, dan disyaratkan tanah itu pula hendaklah berdebu (yakni dapat melekat
pada tangan bila ditepuk) dan bersih.
C.
Cara bertayammum
Tayammum yang disunnahkan adalah ( yang dilakukan ) dengan satu
kali tepakan tanggan ( ke debu ). Tapi jika seseorang bertayammum dengan dua kali tepakkan tangan ( ke debu ), maka hal itu dianggap cukup
baginya. Al-Qadhi berkata,” status cukup itu diraih dengan satu tepakan,
sedangkan status sempurna itu di capai dengan dua kali tepakan. Adapun yang
dinyatakan secara tertulis ( dari Ahmad ) adalah pendapat yang telah disebutkan
( sekali tepakan tangan ke debu )”
Namun imam syafi’i berkata: ” tayammum itu tidak akan dianggap
cukup kecuali dengan dua kali tepakan :
( satu tepakan ) untuk wajah dan ( satu lagi ) untuk kedua tangan sampai kedua
siku”. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan putranya yaitu salim, juga
dari Hasan, Ats-Tsauri dan Ashhab Ar-Ra’yi. Pendapt ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Ash- Shimmah.
اَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَيَمَّمَ فَمَسَحَ
وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ
“
Bahwa Nabi SAW bertayammum, lalu beliau
mengusap wajah dan keduanya dzira’nya ( kedua tangan dari
pergelangan sampai ke siku )”.[3]
D. Cara bersuci untuk orang yang sedang terluka
Adapun orang sakit
atau terluka tapi tidak takut akan mendapat bahaya akibat menggunakan air,
misalnya orang yang sakit kepala atau demam tinggi, atau orang yang mampu
menggunakan air panas, kemudian dia tidak mendapat bahaya akibat menggunakan
air, maka dia harus menggunakan air. Sebab tayammum itu di perbolehkan untuk
menghilangkan kemadharatan, sementara dalam kasus mereka ini tidak ada
kemadharatan. Namun demikian, di
riwayatkan dari Malik dan Daud pendapat yang membolehkan tayammum umtuk orang
yang mutlak sakit, seperti dengan dhohir ayat yang telah disebutkan.
Diantara
hukum-hukum tersebut adalah jika orang yang terluka dan sakit dapat membasuh
sebagian anggota tubuhnya, namun dia tidak dapat membasuh sebagian anggota
tubuh yang yain, maka dia harus membasuh anggota tubuh yang dapat dibasuh, dan
bertayammum untuk anggota tubuh yang lain ( yang tidak dapat di basuh).
Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam syafi’i. Sementara itu Abu Hanifah dan
Malik mengatakan, jika sebagian besar tubuhnya sehat, maka dia harus membasuh
tubuhnya dan tidak boleh melakukan tayammum. Tapi jika sebagian besar tubuhnya
sakit, maka dia harus bertayammum dan tidak boleh membasuh tubuhnya. Argumen
ini terdapat pada HR.Abu Daud.
“
kami berangkat dalam sebuah perjalanan, lalu seseorang dari kami terluka pada
wajahnya, kemudian dia bermimpi. Dia kemudian bertanya kepada para sahabatnya,
apakah kalian menemukan keringanan bertayammum untukku? Mereka menjawab: kami
tidak menemukan keringanan untukmu, sedangkan engkau mampu menggunakan air,
orang itu kemudian mandi kemudian meninggal dunia. Ketika kami kembali kepada
nabi s.a.w, beliau diberitahukan tentang hal itu. Beliau bersabda, mereka telah
membunuhnya semoga Allah akan membunuh mereka. Tidakkah kalian bertanya jika
kalian tidak tahu? Sesungguhnya oba dari tidak tahu adalah bertanya.
Sesungguhnya, akan mencukupinya bila dia bertayammum dan membalut lukanya
dengan kain, kemudian mengusapnya, lalu membasuh seluruh tubuhnya. ( HR. Abu
Daud ).”
Jadi, bila
seseorang itu sebagian besar tubuhnya terluka maka ia diperbolehkan untuk
bertayammum tanpa membasuh tubuhnya, akan tetapi sebagian besar tubuhnya itu
sehat maka ia harus membasuh bagian tubuh lainnya dan bertayammum untuk bagian
tubuh yang terluka saja.
E. Hikmah Tayammum
Beberapa ulama’ telah mengungkapkan beberapa hikmah dari tayammum,
salah satunya adalah yang di kataka oleh Ad- Dahlawi, ia berkata: menjagi dalah
satu sunnatullah, Allah dalam salah satu
syari’at-syari’atNya untuk memberikan kemudahan bagi mereka (makhlukNya) sesuai
dengan kemampuan mereka dan yang menjadi salah satu bentuk kemudahan itu adalah
mengeser sesuatu yang berat dengan mendatangkannya sebuah pengganti agar jiwa
mereka menjadi tenang dan tidak memberikan jiwa mereka dengan melalaikan
kewajiban mereka sekaligus dan pada saat yang sama tidak meninggalkan thaharah.
Maka Allah menggugurkan wudhu dan mandi pada saat seseorang sedang sakit atau
berada dalam perjalanan dan menggantinya dengan tayammum.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Tayamum
menurut bahasa berarti menuju, sedangkan menurut syara berarti mengumpulkan
debu yang suci kepada wajah dan ke dua tangan di sertai dengan niat dan cara
tertentu.
2. Syarat-syarat Tayamum
Tayamum
di anggap syah apabila telah memenuhi syarat-syarat seperti berikut :
a. Telah masuk waktu shalat
b. Sudah berusaha mencari air tetapi tidak
mendapatkan air sedangkan waktu shalat sudah tiba.
c. Menggunakan tanah atau debu yang suci
d. Menghilangkan najis terlebih dahulu
e. Berusaha mengetahui kiblat terlebih
dahulu.
3. Sunnah-sunnah Bertayamum
a. Semua yang di sunnahkan dalam berwudhu
juga sama di sunnahkan dalam tayamum, seperti membaca basmallah.
b. Menebarkan jari ketika menepukannya pada
tangan.
c. Menipiskan debu dengan cara mengibaskan
kedua telapak tangan atau meniupnya.
4. Sebab-sebab Tayamum
Tayamum di lakukan
sebagai pengganti wudhu karena ada sebab-sebab sebagai berikut, yaitu :
a. Karena tidak ada air
Setelah shalat tidak
wajib mengulang lagi shalat apabila sudah mendapatkan air. Sedangkan dalam
keadaan junub/hadats besar, maka wajib mandi bila mendapatkan air. Karena
tayamum menghilangkan hadats.
b. Karena sakit, yang tidak di bolehkan
terkena air.
c. Karena berada pada perjalanan jauh
dimana tidak ada air.
d. Karena air yang ada dibutuhkan untuk
minum
Tayammum yang
disunnahkan adalah ( yang dilakukan ) dengan satu kali tepakan tanggan ( ke
debu ). Tapi jika seseorang bertayammum
dengan dua kali tepakkan tangan
( ke debu ), maka hal itu dianggap cukup baginya. Al-Qadhi berkata,”
status cukup itu diraih dengan satu tepakan, sedangkan status sempurna itu di
capai dengan dua kali tepakan. Adapun yang dinyatakan secara tertulis ( dari
Ahmad ) adalah pendapat yang telah disebutkan ( sekali tepakan tangan ke debu
)”
Bila seseorang
itu sebagian besar tubuhnya terluka maka ia diperbolehkan untuk bertayammum
tanpa membasuh tubuhnya, akan tetapi sebagian besar tubuhnya itu sehat maka ia
harus membasuh bagian tubuh lainnya dan bertayammum untuk bagian tubuh yang
terluka saja.
Allah
dalam salah satu syari’at-syari’atNya untuk memberikan kemudahan bagi
mereka (makhlukNya) sesuai dengan kemampuan mereka dan yang menjadi salah satu
bentuk kemudahan itu adalah mengeser sesuatu yang berat dengan mendatangkannya
sebuah pengganti agar jiwa mereka menjadi tenang dan tidak memberikan jiwa
mereka dengan melalaikan kewajiban mereka sekaligus dan pada saat yang sama
tidak meninggalkan thaharah. Maka Allah menggugurkan wudhu dan mandi pada saat
seseorang sedang sakit atau berada dalam perjalanan dan menggantinya dengan
tayammum.
DAFTAR PUSTAKA
Qudaimah,
Ibnu.2007.Al-Mugni.Jakarta: Pustaka Azam.
Bin
fauzan, Shalih.2001. Ringkasan Fiqh Islam.Depok:Daar Al-Ashimah.
Rahman, Samsul.2006.Edisi Indonesia: Fikih Thaharah.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Fiqh-am.blogspoot.com
Label:
Tayamum
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya. makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Sebagai mana yang telah di sebutkan dalam ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...