Minggu, 03 Juni 2012

postheadericon Fiqh 1 bab Nikah Mut'ah

*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap mencantumkan komentar yang membangun. ketentuan hak cipta berlaku

 NIKAH MUT'AH

A. Pengertian Nikah M ut’ah
Kata mut’ah berasal dari kata mata` dalam bahasa Arab berarti segala suatu dapat dinikmati dan dimanfaatkan, misalnya makanan, pakaian, perabotan rumah tangga, dan sebagainya. Kemudian, dalam istilah fiqh dimaksudkan sebagai suatu pemberian dari suami kepada istri akibat terjadinya perceraian, sebagai “penghibur” atau “ganti Rugi”. (bedakan ini dari nikah mut’ah yang berarti nikah untuk waktu tertentu sebagaimana telah diuraikan hukumnya dalam beberapa bab sebelumnya ini).
Pemberian mut’ah ini adalah sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT. Kepada para suami agar selalu mempergauli istri-istri mereka dengan prinsip: imsak bi ma’ruf aw tasrih bi ihsan (yakni mempertahankan ikatan perkawinan dengan kebaikan atau melepaskan [menceraikan] dengan kebijakan). Oleh sebab itukalaupun hubungan perkawinan terpaksa diputuskan, perlakuan baik harus tetap dijaga, hubungan baik pun dengan mantan istri dan keluarganya sedapat mungkin di pertahankan, disamping melaksanakan pemberian mut’ah dengan ikhlas dan sopan santun, tanpa sedikit pun menunjukkan kegusaran hati, apalagi penghinaan dan pelecehan.[1]
Pengertian nikah mut’ah atau nikah hingga batas tertentu; ialah apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat melakukan pernikahan hingga batas waktu yang ditentukan atau tanpa waktu yang jelas, dengan imbalan harta yang telah ditentukan.
Sebuah bentuk pernikahan yang maksudnya semata-mata untuk melampiaskan nafsu syahwat, dan berhenti masa berlakunya tanpa talak jika masa yang disepakati telah selesai, atau bila terjadi perpisahan maka masa berlakunya secara otomatis habis.
Tidak diragukan bahwa bentuk pernikahan seperti ini bukankah bentuk pernikahan yang di syariatkan dalam Islam dan misi Al-Quran dalam menetapkan pernikahan tidak seperti itu.[2]

B. Landasan Pernikahan Dalam Islam
Al-Quran mengarahkan agar sebuah pernikahan bertujuan untuk meraih mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) dari kedua belah pihak, dan hasil dari pernikahan itu adalah membentuk sebuah keluarga sakinah, lahirlah anak-anak dan cucu, dan adanya kerja sama dalam mendidik mereka.
  Adakah semua itu bisa tercapai dengan kawin mut’ah?
Di dalam Al-Quran terdapat banyak hukum-hukum yang menetapkan syariat pernikahan dan yang berkenaan denganya, seperti warisan, penetapan nasab, nafkah lahiriyah, talak, iddah, ila’, zhihar, li’an, haram hukumnya menikah dengan wanita yang ke lima, dan lain-lain yang sudah diketahui dengan oleh banyak orang, dan tidak ada kaitanya semua itu dengan nikah mut’ah.
Al-Quran terkadang memakai zawaj, kadang juga memakai kata nikah di dalam banyak ayat, dan tidak bisa di pahami dari kedua kata itu selain pernikahan yang landasanya adalah keabadian, membentuk keluarga, dan diikat denganhukum-hukum yang telah saya jelaskan sebelumnya.
Cobalah baca ayat-ayat berikut ini:
وَبُعُو لَتُهُنَّ أَحَقُّ برَدّهنَّ
“dan suami-suaminya berhak merujukinya…”
(QS. Al-Baqarah: 228)
وَلَهُنَّ مثْلُ اُلَّذى عَلَيْهنَّ باُلْمَعْرُوْف
“dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban-nya menurut cara yang ma’ruf”.
(QS. Al-Baqarah: 228)
حَتَّى تَنكحَ زَوْجاً غَيْرَهُ
“hingga dia kawin dengan suami yang lain”.
(QS. Al-Baqarah: 230)
وَأَنْكحُوْا اُلأَيَمَى منْكُمْ وَاُلصَّلحيْنَ منْ عبَاد كُمْ وَإماَىكُمْ
“Dan nikahkanlah  orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamun yang perempuan.”
(QS. An-Nur: 32)
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضكُمْ إلَى بَعْض وَأَخَذْ نَ منْكُمْ مّنْكُمْ مّيْثقًا غَليْظًا
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) denganyang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
(QS.An-Nisaa`: 21)
  Cermatilah ayat-ayat tersebut di atas dan ayat-ayat yang lainya, agar Anda tahu bahwa bentuk pernikahan mut’ah yang di dengung-dengungkan oleh orang-orang syiah dan pendukungnya sangat jauh dari syariat Islam, walaupun mereka mengklaim bahwa nikah mut’ah tersebut sesuai dengan syariat Islam berdasarkan nafsu dan fanatisme berlebihan mereka terhadap pendapat yang tidak berlandaskan dengan dalil yang benar.

C. Hukum Islam tentang Nikah Mut’ah
·      Nikah mut’ah pernah dihalalkan kemudian di haramkan
               Tidak bisa diingkari bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan bagi prajurit yang sedang berjihad di jalan Allah, namun tidak bisa di pungkiri bahwa setelah itu Nabi mengharamkanya dengan pengharaman untuk selama-lamanya.
               Imam Muslim telah mengumpulkan dalam kitab Shahihnya, juga Al-Hafizt Ibnu Hajar dalam Syarah (penjelasan) hadits Al-Bukhari tentang hadits-hadits yang melarang kawin mut’ah. Seperti hadits dari Sabrah Al-Juhny yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim berikut
عن سبرة الجهني انه غزا مع النبي ص.م في فتح مكة فاذن لهم رسول الله ص.م في متعة النساء قال فلم يخرج منها حتى حرمها رسمل الله ص.م (رواه مسلم و أحمد)
“ Dari Sabrah Al-Juhni bahwa ia ikut berperang bersama Nabi saw. Pada waktu penaklukan Makkah, maka Rasulullah saw mengizinkan kepada mereka untuk bermut’ah dengan wanita. Sabrah berkata : Ia tidak keluar dari wanita itu hingga Rasulullah saw mengharamkannya”(HR Muslim dan Ahmad).
Maka jumhur ulama memandang nikah mut’ah itu diharamkan selama-lamanya. Kebolehannya terbatas pada waktu perang penaklukan Mekkah, sesudah itu dilarang oleh Nabi untuk selama-lamanya dan syari’atnya sudah mansukh.
Adapun larangan Umar tentang kawin Mut’ah dan ancamannya bagi pelakunya di depan para sahabat, menunjukkan bahwa memang nikah mut’ah telah dilarang oleh Rasulullah, dan itu adalah bentuk pengamalan terhadap hadits-hadits yang shahih, dan untuk menepis anggapan bahwa nikah mut’ah itu belum diharamkan.
Nabi terkadang memberikan keringanan bagi orang yang baru masuk Islam yang berada dalam kondisi darurat hingga mereka mendapatkan penyelesaian dari masalahnya, dan setelah mereka merasa nyaman dengan Islam dan aturan-aturannya barulah Nabi mengharamkan perkara yang awalnya diringankannya baginya sebagimana Allah mengharamkanya, dan mengharamkan itu berlaku umum dan untuk selama-lamanya.
Dari penjelasan ini, jelas bahwa dua pandangan dalam masalah nikah mut’ah tidak mungkin diletakkan dalam satu timbangan, apalagi jika diletakkan sejajar dalam dua wadah timbangan, karena bolehnya nikah mut’ah pada zaman dahulu hanya yang lebih hina dalam kondisi darurat sementara kaum muslimin pada waktu masih asing dengan hukum-hukum Islam.
Bentuk keringanan seperti tidak panas untuk dijadikan landasan dalam menetapkan hukum syariat.
Kalau ada aturan dalam agama yang memperbolehkan bagi wanita untuk menikahi dalam satu tahun dengan sebelas laki-laki, atau membolehkan laki-laki untuk menikah seenaknya dengan wanita  dalam satu hari, tanpa membebankan kepadanya tanggungjawab pernikahan, maka aturan agama yang memperbolehkan seperti itu tidak mungkin berasal dari hukum Allah pemilik alam semesta alam mini, karena bertentangan dengan wibawa kehormatan dan kesucian martabat manusia.
·      Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan secara akal.
Dari al Qur`an : AL-MAARIJ 29-31

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]
 
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24]

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. an Nisa`: 25].
         Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]
Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut’ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah.
Di antara pernyataan tersebut ialah :
1.      Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2.      Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.
3.      Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”.
4.      Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”.
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :
1.      Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2.      ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah.
3.      Haramnya nikah mut’ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a.        Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b.      Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c.       Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.

D. Mut’ah menurut  kompilasi hukum perkawinan
  Dalam kompilasi hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, Bab XVII, pasal 149 disebutkan:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a.       Memberi mut’ah yang layak kepada istri, baik berupa uang tau benda, kecuali bekas istri tersebut (ditalak) qabla dukhul.
b.      Memberi nafkah, maskan (yakni tempat tinggal) dan kiswah (yakni pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil.
c.       Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla dukhul.
d.      Memberikan biaya bandhanah untuk anak-anaknya belum mencapai umur 21 tahun.
Selanjutnya, dalam pasal 158 disebutkan:
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a.       Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul.
b.      Perceraian itu atas kehendak suami.
Dalam Pasal 159 disebutkan:
Mut’ah sunnah diberikan bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.
Dalam pasal 160 disebutkan:
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.[3]
 
KESIMPULAN
Kesimpulan
            nikah mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan
            dan hokum pernikahan mut’ah adalah haram walaupun pernah dihalalkan. Tidak bisa diingkari bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan bagi prajurit yang sedang berjihad di jalan Allah, namun tidak bisa di pungkiri bahwa setelah itu Nabi mengharamkanya dengan pengharaman untuk selama-lamanya.
            Dan pendapat nikah mut’ah menurut  Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah.
Di antara pernyataan tersebut ialah :
1.      Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2.      Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.
3.      Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”.
4.      Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”.



[1]  Bagir, Muhammad, Fiqih Praktis II, 2008, Bandung: Mizan Media utama. Hal : 230
[2]  Muhammad Syaltut, Syaikh, Fatwa-fatwa Syaikh Syaltut, 2006, Jakarta: Darus Sunnah Press. Hal : 187
[3]  Bagir, Muhammad, Fiqih Praktis II, 2008, Bandung: Mizan Media utama. Hal : 233
READ MORE - Fiqh 1 bab Nikah Mut'ah

postheadericon Fiqh 1 bab Tayamum

*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya. makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi dan harap menuliskan komentar yang membangun. ketentuan hak cipta berlaku

 TAYAMUM

A. Pengertian, syarat dan hukum Tayamum
Tayamum menurut bahasa berarti menuju, sedangkan menurut syara berarti mengumpulkan debu yang suci kepada wajah dan ke dua tangan di sertai dengan niat dan cara tertentu.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah : 6
 
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembalidari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (QS. Al-Maidah: 6)

Tayammum merupakan ganti dari bersuci menggunakan air ketika tidak mampu menggunakan untuk menggunakan air tersebut ecara syar’i. Dikerjakan dengan besuci menggunakan tayammum segala yang dikerjakan dengan bersuci menggunakan air; berupa shalat, thawaf, membaca al-Quran, dsb. Maka Allah telah menjadikan tayammum sebagai pensuci sebagaimana juga menjadikan air sebagai pensuci. Nabi bersabda.[1]
 وَ جُعِلَت تُربَتُهَا (يَعنِي الارضِ) لَنَا طَهُورًا
Dan telah dijadikan debunya ( yaitu bumi) sebagai alat bersuci bagi kami.”
1.      Syarat-syarat Tayamum
Tayamum di anggap syah apabila telah memenuhi syarat-syarat seperti berikut :
a.       Telah masuk waktu shalat
b.      Sudah berusaha mencari air tetapi tidak mendapatkan air sedangkan waktu shalat sudah tiba.
c.       Menggunakan tanah atau debu yang suci
d.      Menghilangkan najis terlebih dahulu
e.       Berusaha mengetahui kiblat terlebih dahulu.
2.      Rukun Atau Fardhu Tayamum
Yang termasuk fardu tayamum, yaitu :
a.       Niat
b.      Mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu dua kali pukulan
c.       Tertib
Rukun tayamum ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
قَالَ رَسُوْلُ الله : التَيَمّمُ َضَرْبَتانِ ,ضَرَبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرَبَةٌ  لِلْيَدَيْنِ (رواه الد ارقطنى)

“Rasulullah SAW telah bersabda : Tayamumlah itu dua kali tepukan, sekali untuk muka dan sekali lagi untuk kedua tangan. (HR. Daruqutni)
3.      Sunnah-sunnah Bertayamum
a.       Semua yang di sunnahkan dalam berwudhu juga sama di sunnahkan dalam tayamum, seperti membaca basmallah.
b.      Menebarkan jari ketika menepukannya pada tangan.
c.       Menipiskan debu dengan cara mengibaskan kedua telapak tangan atau meniupnya.
4.      Sebab-sebab Tayamum
Tayamum di lakukan sebagai pengganti wudhu karena ada sebab-sebab sebagai berikut, yaitu :
a.       Karena tidak ada air
Setelah shalat tidak wajib mengulang lagi shalat apabila sudah mendapatkan air. Sedangkan dalam keadaan junub/hadats besar, maka wajib mandi bila mendapatkan air. Karena tayamum menghilangkan hadats.
b.      Karena sakit, yang tidak di bolehkan terkena air.
c.       Karena berada pada perjalanan jauh dimana tidak ada air.
d.      Karena air yang ada dibutuhkan untuk minum

5.      Hal-hal yang dapat membatalkan wudhu, diantaranya :
a.       Hal-hal yang membatalkan wudhu sama saja dengan hal-hal yang membatalkan tayamum
b.      Ada air setelah tidak ada sebelum shalat
c.       Mampu menggunakan air seperti halnya orang yang sakit lalu semjikbuh.
d.      Murtad.

B.  Hal-hal yang dapat digunakan untuk tayyammm
            Ada beberapa pandangan ulamak dalam masalah bahan yang harus digunakan untuk bertayammum;
Pertama; jumhur ulama’ (mazhab Imam Syafi’ie, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf dan Daud az-Dzahiri) mensyaratkan tayammum hendaklah dengan tanah, tidak harus dengan pasir, batu, kapur dan sebagainya yang tidak dikategorikan sebagai tanah. Dan disyaratkan tanah itu pula hendaklah berdebu (yakni dapat melekat pada tangan bila ditepuk) dan bersih.
            Kedua; Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pula berpendapat; tidak khusus kepada tanah sahaja. Harus tayammum dengan segala yang ada di atas permukaan bumi; tidak hanya tanah, tetapi juga pasir, kapur, batu dan seumpamanya. Malah menurut Imam Malik; harus tayammum dengan salji dan setiap yang melapisi permukaan bumi. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan bahan-bahan untuk bertayammum itu berdebu. Oleh itu, pada pandangan mereka; harus bertayammum di atas batu yang tidak ada debu atau di atas tanah licin yang tidak ada debu yang melekat di tangan apabila ditepuk di atasnya.[2]
Indonesia merupakan negara yang pada umumnya mengikuti pendapat imam syafi’i, jadi dapat di ambil point bahwa hal-hal yang dapat di gunakan untuk bertayammum menurut adat kebiasaan orang indonesia yaitu menggunakan tanah, dan disyaratkan tanah itu pula hendaklah berdebu (yakni dapat melekat pada tangan bila ditepuk) dan bersih.

C.   Cara bertayammum
Tayammum yang disunnahkan adalah ( yang dilakukan ) dengan satu kali tepakan tanggan ( ke debu ). Tapi jika seseorang bertayammum  dengan dua kali tepakkan tangan       ( ke debu ), maka hal itu dianggap cukup baginya. Al-Qadhi berkata,” status cukup itu diraih dengan satu tepakan, sedangkan status sempurna itu di capai dengan dua kali tepakan. Adapun yang dinyatakan secara tertulis ( dari Ahmad ) adalah pendapat yang telah disebutkan ( sekali tepakan tangan ke debu )”
Namun imam syafi’i berkata: ” tayammum itu tidak akan dianggap cukup kecuali dengan dua  kali tepakan : ( satu tepakan ) untuk wajah dan ( satu lagi ) untuk kedua tangan sampai kedua siku”. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan putranya yaitu salim, juga dari Hasan, Ats-Tsauri dan Ashhab Ar-Ra’yi.  Pendapt ini sesuai dengan hadist  yang diriwayatkan oleh Ibnu Ash- Shimmah.
اَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَيَمَّمَ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ
“ Bahwa Nabi SAW bertayammum, lalu beliau  mengusap wajah dan keduanya dzira’nya ( kedua tangan dari pergelangan sampai ke siku )”.[3]
 
D. Cara bersuci untuk orang yang sedang terluka
            Adapun orang sakit atau terluka tapi tidak takut akan mendapat bahaya akibat menggunakan air, misalnya orang yang sakit kepala atau demam tinggi, atau orang yang mampu menggunakan air panas, kemudian dia tidak mendapat bahaya akibat menggunakan air, maka dia harus menggunakan air. Sebab tayammum itu di perbolehkan untuk menghilangkan kemadharatan, sementara dalam kasus mereka ini tidak ada kemadharatan.  Namun demikian, di riwayatkan dari Malik dan Daud pendapat yang membolehkan tayammum umtuk orang yang mutlak sakit, seperti dengan dhohir ayat yang telah disebutkan.
            Diantara hukum-hukum tersebut adalah jika orang yang terluka dan sakit dapat membasuh sebagian anggota tubuhnya, namun dia tidak dapat membasuh sebagian anggota tubuh yang yain, maka dia harus membasuh anggota tubuh yang dapat dibasuh, dan bertayammum untuk anggota tubuh yang lain ( yang tidak dapat di basuh). Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam syafi’i. Sementara itu Abu Hanifah dan Malik mengatakan, jika sebagian besar tubuhnya sehat, maka dia harus membasuh tubuhnya dan tidak boleh melakukan tayammum. Tapi jika sebagian besar tubuhnya sakit, maka dia harus bertayammum dan tidak boleh membasuh tubuhnya. Argumen ini terdapat pada HR.Abu Daud.
“ kami berangkat dalam sebuah perjalanan, lalu seseorang dari kami terluka pada wajahnya, kemudian dia bermimpi. Dia kemudian bertanya kepada para sahabatnya, apakah kalian menemukan keringanan bertayammum untukku? Mereka menjawab: kami tidak menemukan keringanan untukmu, sedangkan engkau mampu menggunakan air, orang itu kemudian mandi kemudian meninggal dunia. Ketika kami kembali kepada nabi s.a.w, beliau diberitahukan tentang hal itu. Beliau bersabda, mereka telah membunuhnya semoga Allah akan membunuh mereka. Tidakkah kalian bertanya jika kalian tidak tahu? Sesungguhnya oba dari tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya, akan mencukupinya bila dia bertayammum dan membalut lukanya dengan kain, kemudian mengusapnya, lalu membasuh seluruh tubuhnya. ( HR. Abu Daud ).”
            Jadi, bila seseorang itu sebagian besar tubuhnya terluka maka ia diperbolehkan untuk bertayammum tanpa membasuh tubuhnya, akan tetapi sebagian besar tubuhnya itu sehat maka ia harus membasuh bagian tubuh lainnya dan bertayammum untuk bagian tubuh yang terluka saja.

E. Hikmah Tayammum
Beberapa ulama’ telah mengungkapkan beberapa hikmah dari tayammum, salah satunya adalah yang di kataka oleh Ad- Dahlawi, ia berkata: menjagi dalah satu sunnatullah, Allah  dalam salah satu syari’at-syari’atNya untuk memberikan kemudahan bagi mereka (makhlukNya) sesuai dengan kemampuan mereka dan yang menjadi salah satu bentuk kemudahan itu adalah mengeser sesuatu yang berat dengan mendatangkannya sebuah pengganti agar jiwa mereka menjadi tenang dan tidak memberikan jiwa mereka dengan melalaikan kewajiban mereka sekaligus dan pada saat yang sama tidak meninggalkan thaharah. Maka Allah menggugurkan wudhu dan mandi pada saat seseorang sedang sakit atau berada dalam perjalanan dan menggantinya dengan tayammum.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Tayamum menurut bahasa berarti menuju, sedangkan menurut syara berarti mengumpulkan debu yang suci kepada wajah dan ke dua tangan di sertai dengan niat dan cara tertentu.
2.      Syarat-syarat Tayamum
Tayamum di anggap syah apabila telah memenuhi syarat-syarat seperti berikut :
a.       Telah masuk waktu shalat
b.      Sudah berusaha mencari air tetapi tidak mendapatkan air sedangkan waktu shalat sudah tiba.
c.       Menggunakan tanah atau debu yang suci
d.      Menghilangkan najis terlebih dahulu
e.       Berusaha mengetahui kiblat terlebih dahulu.
3.      Sunnah-sunnah Bertayamum
a.       Semua yang di sunnahkan dalam berwudhu juga sama di sunnahkan dalam tayamum, seperti membaca basmallah.
b.      Menebarkan jari ketika menepukannya pada tangan.
c.       Menipiskan debu dengan cara mengibaskan kedua telapak tangan atau meniupnya.
4.      Sebab-sebab Tayamum
Tayamum di lakukan sebagai pengganti wudhu karena ada sebab-sebab sebagai berikut, yaitu :
a.       Karena tidak ada air
Setelah shalat tidak wajib mengulang lagi shalat apabila sudah mendapatkan air. Sedangkan dalam keadaan junub/hadats besar, maka wajib mandi bila mendapatkan air. Karena tayamum menghilangkan hadats.
b.      Karena sakit, yang tidak di bolehkan terkena air.
c.       Karena berada pada perjalanan jauh dimana tidak ada air.
d.      Karena air yang ada dibutuhkan untuk minum
Tayammum yang disunnahkan adalah ( yang dilakukan ) dengan satu kali tepakan tanggan ( ke debu ). Tapi jika seseorang bertayammum  dengan dua kali tepakkan tangan       ( ke debu ), maka hal itu dianggap cukup baginya. Al-Qadhi berkata,” status cukup itu diraih dengan satu tepakan, sedangkan status sempurna itu di capai dengan dua kali tepakan. Adapun yang dinyatakan secara tertulis ( dari Ahmad ) adalah pendapat yang telah disebutkan ( sekali tepakan tangan ke debu )”

Bila seseorang itu sebagian besar tubuhnya terluka maka ia diperbolehkan untuk bertayammum tanpa membasuh tubuhnya, akan tetapi sebagian besar tubuhnya itu sehat maka ia harus membasuh bagian tubuh lainnya dan bertayammum untuk bagian tubuh yang terluka saja.
 Allah  dalam salah satu syari’at-syari’atNya untuk memberikan kemudahan bagi mereka (makhlukNya) sesuai dengan kemampuan mereka dan yang menjadi salah satu bentuk kemudahan itu adalah mengeser sesuatu yang berat dengan mendatangkannya sebuah pengganti agar jiwa mereka menjadi tenang dan tidak memberikan jiwa mereka dengan melalaikan kewajiban mereka sekaligus dan pada saat yang sama tidak meninggalkan thaharah. Maka Allah menggugurkan wudhu dan mandi pada saat seseorang sedang sakit atau berada dalam perjalanan dan menggantinya dengan tayammum.
 
DAFTAR PUSTAKA
Qudaimah, Ibnu.2007.Al-Mugni.Jakarta: Pustaka Azam.
Bin fauzan, Shalih.2001. Ringkasan Fiqh Islam.Depok:Daar Al-Ashimah.
Rahman, Samsul.2006.Edisi Indonesia: Fikih Thaharah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Fiqh-am.blogspoot.com


[1] Dikeluarkan oleh Muslim dari hadist Hudzaifah (1165) Masajid
[2] Ahmad Adnan Fadzil,2008,Bersuci,fiqh-am.blogspot.com
[3] HR.Al-Bukhari (Fath Bari/1/hadist nomor 337) dan Muslim (1/281/114) dari hadist Ibnu Ash-shimmah.
READ MORE - Fiqh 1 bab Tayamum

Popular Posts

Share