Kamis, 19 April 2012

postheadericon makalah teologi islam; kehendak mutlak tuhan

*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi. ketentuan hak cipta berlaku

-awal dari nabi tidak ada permasalahan karena …..dsb


--pd zaman sohbat, tabiin dst mulai diperdebatkan karena berbedanya penangkapan/ pemahaman ttg masalah itu


---terjdi perbdaan pendpt, pemahman, pmikran dibawah naungan suatu aliran yg mmpunyai ideology masing2.








Bab I
Pendahuluan





Islam sebagimana yang kita ketahui adalah, ajaran yang di bawa oleh nabi Muhammad saw yang telah membawa kebudayaan yang lebih beradab dan mencerahkan bagi umat islam itu sendiri pada khususnya dan juga kepada umat non-islam pada umumnya, yang awalnya dari kebudayaan jahiliyyah yang penuh kemaksiyatan dan kebudayaan yang tidak beradab


Selama perkembangan islam pada masa rosululloh, pada masa itu tidak adanya perpecahan dalam islam, baik dari segi politik, pemerintahan maupun akidah. Namun setelah wafatnya nabi, maka banyak sekali perpecahan dalam tubuh islam itu sendiri, juga perubahan dalam segala aspek, mulai dari pemerintahan, pemilihan pemimpin dalam islam hingga sampai pada akidah islam yang pada masa rosulalloh tidak pernah dipermasalahkan dan tidak diperdebatkan kedudukannya dalam ajaran pokok islam. Namun pada sekarang ini banyak pemikiran-pemikiran tentang akidah islam yang mengharuskan munculnya beberapa kelompok atau aliran dalam dengan tokoh-tokoh yang merupakan panji –panji islam yang terjerembab kedalam lubang perpecahan dan perdebatan dalam islam.


Namun, akibat dari kelemahan akal daya manusia yang kurang mampunya memahami ajaran atau akidah islam yang telah diajarkan oleh rosululloh secara utuh serta tingkat keimanan dan kefahaman seseorang yang berbeda, mengakibatkan islam yang dulunya diibaratkan batang tubuh yang satu, kini mulai berpecah belah, saling menghujat antara satu dengan yang lain, saling membunuh demi memperebutkan kekuasaan, dan demi membenarkan argument masing-masing dalam masalah akidah, pemikiran, serta keyakinan akan suatu ajaran dalam peribadatan yang pada akhirnya memunculkan aliran-aliran yang mempunyai faham yang berbeda bahkan berseberangan dan merupakan awal dari munculnya ilmu teologi, ilmu kalam, ilmu tauhid dan filsafat dalam islam yang membahas tentang faham aliran-liran dalam islam, perdebatan dalam lingkup akidah islam dan bahkan perdebatan tentang ketuhidan Allah beserta sifat-sifatnya .









Bab II
Kekuasaan dan kehendak mutak tuhan




Sebagai akibat dari perbedaan faham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan faham tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan.


Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan tuhan adalah keberadaan tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta alam, tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas, karena tidak ada eksistensi lain yang melampaui eksistensi-NYA.


Ada aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. pendapat seperti itu, sebagaimana yang telah di doktrinkan oleh aliran yang menganut faham mu’tazilah, dan ada juga aliran yang mempunyai atau menganut faham bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan dan tidak pula berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak tuhan tetap bersifat mutlak1, seperti yang didoktrinkan oleh aliran yang menganut faham asy’ariah. Beberapa paham Kekuasaan dan kehendak mutak tuhan menurut beberapa aliran dalam teologi islam, diantaranya:



  1. Aliran mu’tazilah (manusia bebas berbuat)


-kekuasaan tuhan d batasi oleh: a) kebebasan yang diberikan pada manusia, b) sifat keadilan tuhan itu sendiri, c)kewajiban2 tuhan terhadap manusia (mksd nya jka @ melanggarnya maka @ dzalim, dan itu bukan sift @, dan tidak mungkin seperi itu), d)natur/ hokum alam/ sunah @ bukan suatu perubahan.


Efek dari natur itu bukan merupakan perbuatan tuhan (hokum alam)perbuatan tuhan hanya menciptakan.


Natur/ efek/ sunah @/ hokum alam itu ada pd stiap makhlk ciptaan @ akan ttpi brjaln scra alami, bukn merupkn khendak tuhan. Tuhn hanya menciptakan, ttpi tdk mengatur perjalann makhluknya (brjalan scara alami)


Natur/ efek ini berjalan scara alam, namun ada jalurnya masing2 ssuai sift dan tujuan bnda itu sendiri, jika d lakukn ssuai jalur mka akan sampai pd tujuan, jika tdk ssuai jalur maka tidak akan sampai pd tjuannya.





Aliram mu’tazilah yang berprinsip keadilan tuhan, mengatakan bahwa tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat dzalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-NYA kemudian mengharuskan hamba-NYA itu menanggung semua akibat dari perbuatannya2. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa adanya paksaan sedikitpun dari tuhan. Dan dengan kebebasan itulah manusia dapat mempertanggung jawabkan atas segala perbuatannya. Tidak adil jika Allah memberikan pahala atau siksa kepada hamba-NYA tanpa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.


kaum mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti yang terkandung dalam uraian nadir, kekuasaan mutlak tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya3. Seterusnya, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendaknya, tuhan telah terikat oleh norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat tuhan bersifat tidak adil bahkan berbuat dzalim. Sifat serupa ini tidak dapat diberikan kepada tuhan4, karena sifat tersebut adalah mustahil bagi Allah.. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban tuhan terhadap manusia yang menurut paham mu’tazilah memang ada5. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh natur atau hukum alam (sunah Allah) yang tidak mengalami perubahann. Al-qur’an memang mengatakan


ولن تجد لسنة الله تبد يلا6


Bahwa kaum mu’tazilah menganut paham bahwa tiap-tiap benda mempunya natur atau hukum alam sendiri.seperti yang ditulisan oleh pemuka-pemuka mu’tazilah lainnya, seperti:


Al-jahiz, ia mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing7. Lebih tegasnya al-khayyat menerangkan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu dan tak menghasilkan sesuatu kecuali efek dari benda itu sendiri. seperti, api tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali panas, dan es tidak menghasilkan apa-apa kecuali dingin8. menurut mu’ammar, Efek yang ditimbulkan tiap benda, seperti gerak, diam, warna, rasa, bau, panas, dingin, basah dan kering, timbul sesuai dengan natur dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukanlah perbuatan tuhan. Perbuatan tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai natur tertentu9.


Sebagai penjelasan selanjutnya tentang paham sunnah allah, kaum mu’tazilah mempercayai pada hukum alam atau sunnah allah dan menganut determinsme. Dan determinisme ini, mereka artikan sebagai kata nader, yang maksudnya “suatu keadaan tidak berubah-berubah”, sama dengan keadaan tuhan dan juga tidak berubah-berubah10. ada baiknya dibawa ini kita diuraikan tafsir al-manar. Yaitu, Segala sesuatu di alam ini berjalan menurut sunnah allah dan sunnah allah itu dibuat tuhan sedemikian rupa, sehingga sebab dan musabab di dalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu, tuhan menciptakan sunnah tertentu. Umpamanya sunnah mengatur hidup manusia berlainan dengan sunnah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-berubah untuk mencapai kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu ia akan mengalami kekalahan. Adapula sunnah yang membawa pada kesenangan dan ada pula yang membawa kesusahan. Keadaan seorang mukmin atau kafir tidak mempunyai pengaruh pada ini. Sunnah tidak kenal pada pengecualian, sekalipun itu pengecualian untuk para nabi-nabi. Sunnah tidak berubah-berubah dan tuhan tidak menghendaki sunnah itu menyelahi natur. Jelas bahwa sunnah allah tidak mengalami perubahan atas kehendak tuhan sendiri dan dengan demikian, hal itu merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan.


Menurut al-manar, tuhan sendiri tidak bersikap absolut seperti halnya dengan raja absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata. Keadaan tuhan dalam hal ini lebih dekat menyerupai keadaan raja konstitional yang kekuasaan dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi. Yang maksudnya adalah kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan tersebut mempunyai batasan-batasan. Abd al-jabar menjelaskan bahwa keadilan tuhan mengandung arti tuhan tidak berbuat baik dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajibanNYA kapada manusia, dan segala perbuatannya adalah baik dan juga mempunyai kewaiban-kewajiban yang ditentukan-NYA sendiri bagi diri-NYA11.


Tuhan tidak bersifat absolute tetapi konstitusi (ada batasan nya)


Ayat-ayat Al-qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat mu’tazilah adalah QS.al-anbya’ (21):47, QS. Yasin (36):54, QS. Fusshilat (41):46, QS. An-nisa’ (4):40 dan QS. Al-kahfi(18):49.


Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa semua perbuatan yang timbul dari tuhan dalam hubungannya dengan hamba-NYA, ditentukan oleh kebijakan atas dasar kemashalatan. Perbuatan tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan makhluk-NYA dan perbuatan tuhan itu baik karena tuhan tidak berbuat zalim terhadap hamba-NYA dengan membebani manusia yang tidak terpikul dan menyiksa pelaku perbuatan buruk dengan paksaan tanpa memberi kebebasan terlebih dahulu. Dan konsep menurut mu’tazilah ini merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak tuhan. Yaitu, keadilan tuhan terletak pada kaharusan dan kewajiban tuhan dalam berbuat baik pada makhluk-NYA dan memberi kebebasan kepada manusia, sedangkan kehendak mutlak tuhan dibatasi oleh keadilan tuhan itu sendiri.





  1. Aliran asy’ariyyah (tuhan berkuasa mutlak)


Al-ghozali menerangkan tuhan bwrkuasa mutlak akan hal berbuat, member pahala, member hokum, memeberi siksa kpd siapa sj yang @ kehendaki termsuk memasukkan smuanya ke neraka/ sorga


Kaum asy’ariah ,karena percaya pada kemutlakan kekuasaan tuhan,berpendapat bahwa perbuatan tuhan tidak mempunyai tujuan.yang mendorong tuhan untuk berbuat sesuatu, semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlaknya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain12.mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya,yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian, keadilan tuhan mengandung arti bahwa tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya13. Al-ghazali berpendapat. Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-NYA, dapat memberi hukum menurut kehendak-NYA14, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-NYA, dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-NYA15. Justru tidaklah adil jika tuhan tidak dapat berbuat sekehendak hatiNYA karena DIA adalah penguasa mutlak. Sekiranya tuhan menghendaki semua makhluknya masuk surga atau neraka semua itu adalah adil, karena tuhan berbut dan membuat hukum menurut kehendaknya16.


Dalam menjelaskan kemutlakkan, kekuasaan, dan kehendak tuhan ini, al-asy’ari menulis dalam al-ibanah bahwa tuhan tidak tunduk kepada siapapun, diatas tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan tidak dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh tuhan. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaannya. Seperti kata al-dawwani, tuhan adalah maha pemilik ( al-malik ) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-NYA didalam kerajaan-NYA dan tak ada seorangpun yang dapat mencela kekuasaan dan perbuatan-NYA17. sekalipun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik, tidak adil dan tidak masuk akal ( tidak rasional).


Dalam hubungan ini al-baghdadi mengatakan bahwa boleh saja tuhan melarang apa yang telah diperintahkan-NYA dan memerintahkan apa yang telah dilarang-NYA18. Lebih tegas ia menulis: “ tuhan bersifat adil dalam segala perbuatannya. Tidak ada suatu larangan apapun bagi tuhan. IA buat apa saja yang dikehendaki-NYA. Seluruh makhluk adalah milik-NYA dan perintah-NYA adalah diatas segala perintah. IA tak bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan-NYA kepada siapapun19”. Kemutlakkan, kekuasaan dan kehendak tuhan yang digambarkan diatas dapat pula dilihat dari paham kaum asy’ariah bahwa tuhan dapat meletakkan beban yang tak terpikul pada diri manusia20, dan dari keterangan asy’ari sendiri, bahwa sekiranya tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik21. Bagi kaum asy’ariah, tuhan memang tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan, dan sebagainya.


Ayat-ayat Al-qur’an yang dijadikan sandaran oleh aliran as’ariyyah untuk memperkuat pendapatnya adalah QS. Al- buruj (85):16, QS. Yunus (10):99, QS. As-sajadah (32):13, QS. Al-an’am (6):112, QS.al-baqoroh (2):253.


Ayat tersebut difahami Asy’ari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Kehendak mutlak tuhan mesti berlaku. Bila kehendak tuhan tidak berlaku, itu berarti tuhan lupa, lalai, dan lemah dalam melaksanakan kehendakNYA, sedangkan sifat itu adalah sifat yang mustahil ada bagi Allah. Manusia berkehendak setelah tuhan sendiri menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh tuhan, maka manusia tidak akan berkehendak apa-apa, ini berarti kehendak dan kekuasaan tuhan berlaku semutlak-mutlaknya.


Karena penekanan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, aliran asy’ariah memberi makna keadilan tuhan dengan pemahaman bahwa tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehandak hatiNYA. Sehingga ketidakadilan difahami dalam arti tuhan tidak dapat berbuat sekehendaknya terhadap makhluknya. Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa keadilan tuhan dalam konsep asy’ariyah terdapat pada kehendak mutlakNYA.





  1. Aliran maturidiyah


Samarkhand lebih deks\at dengan mu’tazilah yang menganut faham free will and free act (bebas berkehandak dan bebas berpendapat)


Bukhara lebih keras dibanding samarkhand


Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan tuhan, aliran ini terpisah menjadi 2, yaitu maturidiyah Samarkand dan maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak tuhan .Karena menganut faham free wiil dan free act ,serta adanya batasan bagi kukuasaan mutlak tuhan. Kaum maturidiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada mutazilah . tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak tuhan lebih kecil dari pada apa yang diberikan aliran mutazilah22 .


Kehendak mutlak tuhan menurut maturidiyah samarkhand, dibatasi oleh keadilan tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatanNYA adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk kepada manusia serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibanNYA terhadap manusia. Oleh karena itu tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum, karena tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya23.


Adapun kaum al-maturidiyah bukhara’ menganut pendapat bahwa tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakiNYA dan menentukan segala-galanya. Menurut al-bazdawi, tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya dan menentukan segala-galanya menurut kehendaknya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa tuhan, dan tidak larangan-larangan terhadap tuhan24. Dan tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, tuhan berbuat sekehendakNYA sendiri. Ini berarti, bahwa alam tidak diciptakan tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada tuhan pemilik mutlak. paham maturidiyyah Bukhara ini lebih dekat dengan paham asy’ariyah, namun paham mereka tentang kekuasaan tuhan tidaklah semutlak paham al-asy’ariyah.


Maturidiyah golongan samarkand, tidaklah sekeras golongan bukhara’ dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan tuhan, tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak tuhan. Batasan-batasan yang diberikan golongan samarkand ialah:


  1. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada tuhan.
  2. Keadaan tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
  3. Menurut al-bayadi , Keadaan-keadaan hukuman tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi25.


Dalam hal ini, tidak perlu kiranya ditegaskan bahwa yang menentukan batasan-batasan itu bukanlah zat selain dari tuhan, karena diatas tuhan tidak ada sesuatu zat pun yang lebih berkuasa. Tuhan diatas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh tuhan sendiri dan dengan kemauannya sendiri pula.


Tuhan/ makhluk memiliki kehendak dan kebebasan sesuai cakupan kekuasaan yang dimiliki


Tidak ada argument yang bisa dijadikan patokan/ mendekati kesempurnaan karena sama2 ada ayat yang mendukung (bisa dikatakan sama benarnya)








Bab III
Kesimpulan





Dari pembahasan mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara keilmuan yang membidangi pokok materi diatas, baik tuhan maupun makhluk ciptaanNYA sama-sama mempunyai kebebasan dalam mengerjakan apa yang menjadi kehendak masing-masing sesuai cakupan kekuasaan yang dimilikinya tersebut, namun dalam menentukan mana diantara arguman yang diungkapkan dalam makalah ini yang lebih mendekati pada kesempurnaan, maka tidak akan ada yang bisa menjawabnya secara pembuktian yang kongkret, karena semua itu merupakan suatu kajian yang tidak bisa diketahui nilainya konkretnya, sebab kajian ini muncul dari pemikiran manusia yang sejatinya manusia juga mempunyai banyak kekurangan dengan kemampuan yang terbatas pula.


Namun pada hakikatnya semua itu merupakan suatu proses untuk menuju tingkatan manusia yang bisa lebih dekat dengan sang pencipta dengan memahami atau mempelajari sifat-sifat yang ada pada tuhan dengan wahyu atau firman yang telah Allah turunkan untuk kemashalatan hidup manusia.


Diharapkan dengan dapat mengetahui sifat-sifat yang ada pada sang pencipta, kita bisa lebih taqorub ilalloh dan selalu bisa mengarjakan kebaikan agar bisa mencapai pada tingktan ma’rifat terhadap sang kholiq.





1 Harun nasution, teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Jakarta: UI prees.1974.hal 118


2 Asy-Syahrastani. Al-minal wa an- nihal. Dar al-fikr. Hal 47


3 LE systeme philosophique des mu’tazilah, (selanjutnya disebut LE systeme)


4 Infra, 117


5 Infra 122


6 Al-ahzab (33):62. “tidak akan engkau jumpai perubahan pada sunnah Allah”


7 Al-milal, I/75


8 Le systeme, 145


9 Maqalat, II/90


10 Le systeme, 193


11 yusuf, op. cit. hal 85


12 Nasution, op. cit. hal 123


13 Ibid, hal 125


14 Al- ‘iqtisad, 184


15 ‘Ibid , 165. 125=126


16 Nasution, op, cit, hal


17 abduh , 546


18 Usul al-din, 213


19 ‘Ibid ,82


20 Lihat umpamanya al-milal, I/135 dan al-‘iqtisad, 160


21 Supra, 81


22 Nasution. Op. cit. hal. 124


23 Ibid. hal 124-125


24 Usul al-din, 130


25 Isyarat, 159

0 komentar:

Popular Posts

Share