Kamis, 19 April 2012

postheadericon makalah teologi islam; aliran mu'tazilah

*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi. ketentuan hak cipta berlaku


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW untuk mengatur interaksi antar manusia dengan Allah, sesamanya dan dirinya sendiri1.manusia yang membentuk kesatuan politik, yang diikiat oleh aqidah dan system yang sama disebut umat2.dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa umat islam merupakan akumulasi manusia yang membentuk kesatuan politik, meskipun terdiri dari berbagai bangsa, etnik dan bahasa yang bebeda.
Sejarah umat islam dimulai dari sejarah nabi Muhammad SAW yang diutus oleh Allah SWT di mekah dengan tujuan untuk kemashalatan hidup manusia di dunia dan di akherat, yang menjadi pedoman hidup dan petunjuk menuju jalan kebenaran dengan syari’at-syari’at yang telah ditentukan oleh Allah dalam firmannya (Al-Qur’an).
Beliaulah yang menjadi pendiri dan Pembina umat ini hingga mengalami perkembangan yang sangat pesat melalui ajaran-ajaran dan dakwahnya, yang bertujuan untuk mengajak umat manusia mau terbangun dari kehidupan jahiliyyah mereka dan kembali beribadah dan beriman kepada Allah dengan ibadah yang murni yang dikehendaki oleh Allah dengan keyakinan dan pemahaman yang satu.
Perkembangan dakwah yang begitu pesat itu dapat dicapai, sebab umat islam pada waktu itu berada pada satu komando dan satu kefahaman dalam aqidah dibawah bimbingan rosulalloh. Namun. Setelah rosululloh wafat, dalam tubuh islam mengalami banyak sekali perpecahan mulai dari segi politik, dan pemerintahan hingga akhirnya menjalar pada masalah akidah. Sehingga memunculkan banyak pemikiran, faham aliran.
Namun, akibat dari kelemahan akal daya manusia yang kurang mampunya memahami ajaran atau akidah islam yang telah diajarkan oleh rosululloh secara utuh serta tingkat keimanan dan kefahaman seseorang yang berbeda, mengakibatkan tokoh-tokoh islam yang juga merupakan kumpulan orang-orang shalih sebagai panji –panjinya islam, ikut terjerembab kedalam lubang perpecahan dan perdebatan dalam islam. Dan islam sendiri yang dulunya diibaratkan batang tubuh yang satu, kini mulai berpecah belah, saling menghujat antara satu dengan yang lain, saling membunuh demi memperebutkan kekuasaan, dan demi membenarkan argumen masing-masing dalam masalah akidah, pemikiran, serta keyakinan akan suatu ajaran dalam peribadatan yang pada akhirnya memunculkan aliran-aliran yang mempunyai faham yang berbeda bahkan berseberangan dan merupakan awal dari munculnya ilmu teologi, ilmu kalam, ilmu tauhid dan filsafat dalam islam yang membahas tentang faham aliran-liran dalam islam, perdebatan dalam lingkup akidah islam dan bahkan perdebatan tentang ketuhidan Allah beserta sifat-sifatnya .

I.2 Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah Sejarah lahirnya aliran mu’tazilah dan penamaannya ?
  2. Apakah Sebutan Lain Untuk Aliran “Mu’tazilah” ?
  3. Siapakah Tokoh-Tokoh dalam aliran Mu’tazilah ?
  4. Bagaimanakah Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah ?
  5. Bagaimanakah Pemahaman mu’tazilah terhadap pelaku dosa besar ?
  6. Bagaimanakah Pemahaman mu’tazilah terhadap paham iman dan kufur ?
  7. Bagaimanakah Pemahaman mu’tazilah terhadap paham perbuatan tuhan dan perbuatan manusia ?
  8. Bagaimanakah Pemahaman mu’tazilah terhadap paham sifat-sifat tuhan ?
  9. Bagaimanakah pemahaman Kekuasaan dan kehendak mutak tuhan ?




BAB II
ALIRAN MU’TAZILAH

A. Sejarah Lahirnya Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah adalah golongan yamg membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan lebih bersifat filosofis dari pada persolan yang dibawa oleh golongan khawarij dan murji’ah. Dalam pembahasan, mereka lebih menggunakan akal sehingga mereka mendapat julukan “kaum rasionalis islam”
Aliran mu’tazilah merupakan suatu golongan atau aliran teologi islam yang cukup besar dan telah mengambil peran penting dalam sejarah pemikiran umat islam3. Dan merupakan golongan tertua dalam perkembangan alam pikiran umat islam. Mereka adalah ulama-ulama yang rasionalistis dan kritis, bukan saja terhadap hadis-hadis nabi dan cara-cara penafsiran Al-qur’an, tetapi juga terhadap pengaruh ajaran filsafat yunani.
Orang yang hendak mengetahui filsafat islam yang sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof islam.
Golongan mu’tazilah lahir sekitar abad pertama (1) hijriyah pada zaman permulaan daulah abasiyah di kota basrah (Iraq), yang merupakan pusat ilmu dan peradaban islam4. Disamping sebagai tempat perpaduan aneka ragam kebudayaan asing serta tempat pertemuan agama-agama. Dan juga akibat berkembang pesatnya bidang keilmuan logika dan filsafat yang besar perannnya dalam pemikiran agama, khususnya dibidang akidah. Karena pada waktu itu banyak orang-orang yang hendak menghancurkan islam dari segi akidah, baik mereka yang menamai dirinya islam maupun bukan. Sebagaimana diketahui, sejak islam meluas banyak bangsa-bangsa yang masuk islam dan hidup dibawah naungannya.
Akan tetapi, tidak semuanya memeluk islam dengan segala keikhlasan. Ketidak ikhlasan ini terutama dimulai sejak permulaan masa pemerintahan khilafah umawi. Karena khilafah-khilafah umawi memonopoli segala kekuasaan Negara kapada orang-orang islam dan bangsa arab sendiri. Tindakan mereka menimbulkan kebencian terhadap bangsa arab dan menyebabkan adanya keinginan untuk menghancurkan islam itu sendiri dari dalam, karena islam menjadi sumber kejayaan dan kekuatan mereka, baik fisik maupun mental.
Diantara lawan-lawan islam dari dalam adalah golongan rafidah atau golongan syi’ah ekstrim yang banyak memasukkan unsur-unsur kepercayaan yang jauh sama sekali dari ajaran-ajaran islam, seperti kepercayaan agama manu, aliran agnostic yang pada waktu itu tersebar luas di kuffah dan basrah. Termasuk lawan islam juga, ialah golongan tasawuf-hulul (inkarnasi) yang mempercayai bertempatnya tuhan pada diri manusia. Aliran mu’tazilah menjawab bahwa tuhan tidak mungkin mengambil tempat papun juga. Dalam hal inilah muncul golongan mu’tazilah yang kemudian berkembang dengan pesatnya, serta mempunyai metode dan faham sendiri5.


B. Asal Usul dan Sejarah Penamaan Golongan Mu’tazilah
Secara harfiah, kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri6. Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan. Yaitu:
  1. Golongan pertama (yang selanjutnya disebut mu’tazilah 1) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik tanpa stigma teologis yang menjauhi pertikaian masalah khilafa’, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menyikapi atau menangani pertentangan antara ali bin abi thalib dan lawan-lawannya, terutama muawiyyah, aisyah, Abdullah bin zubair7
  2. Golongan kedua (yang selanjutnya disebut mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir terhadap orang yang berdosa besar.
Awal dari pemberian nama mu’tazilah ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ato’ serta temannya, Amr bin Ubaid dan Hasan Al-basri di daerah Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-basri di masjid basrah, datanglah seseorang yang bertanya tentang pendapat hasan al-basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika hasan al-basri masih berfikir, wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mu’min dan bukan pula kafir, tetapi berada diposisi diantara keduanya”. Kemudian wasil menjauhkan diri dari hasan al-basri dan pergi ketempat lain di lingkungan masjid, disana wasil mengulangi pendapatnya dihadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, hasan al-basri berkata: “wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna)” menurut asy-syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa ini lah yang disebut kaum mu’tazilah8.
Dalam versi lain yang diungkapkan oleh al-baghdadi, ia mengatakan bahwa wasil dan temannya, amr bin ubaid diusir oleh hasan al-basri dari majelisnya karena ada pertikaian diantara mereka tentang masalah qodar dan orang yang berdosa besar. Keduanya memisahkan diri dari hasan al-basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu bukanlah mu’min dan bukan pula kafir. Olek karena itu, golongan ini disebut kaum mu’tazilah9
Versi lain yang dikemukakan oleh tasy kubra zadah adalah bahwa qatadah bin da’mah pada suatu hari masuk masjid basrah dan bergabung dengan majlis amr bin ubaid yang disangkanya majlis hasan al-basri. Ketika mengetahui bahwa itu bukan majelis hasan al-basri, Qatadah bin da’mah berdiri dan meninggalkannya sambil berkata”ini kaum mu’tazilah” dan sejak saat itulah kaum itu disebut kaum mu’tazilah10
Al-mas’udi memberi keterangan tentang asal-usul kemunculan mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara wasil dan hasan al-basri. Mereka diberi nama mu’tazilah sebab pendapat mereka bahwa orang yang berdosa besar bukan termasuk orang mukmin maupun kafir, tetapi dintara keduanya (al manzilah bainal al-manzilataini)11. Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan orang mukmin dan kafir. Mereka fasiq dan nantinya akan masuk kedalam neraka untuk selama-lamanya12.
Teori baru yang dikemukakan oleh ahmad amin, menerangkan bahwa nama mu’tazilah sudah ada sebelum peristiwa wasil dan hasan al-basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama mu’tazilah diberikan kepada golongan orang yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman utsman bin affan dan ali bin abi thalib. Ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan mengikuti pertikaian itu sedangkan yang lain memisahkan diri ke kharbita ( I’tazalat ila kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang dikirim oleh Qais kepada ali bin abi thalib, ia menamakan golongan yang menjauhkan diri tersebut dengan nama mu’tazilin, sedang abu al-fida menamainya dengan mu’tazilah.13
C.A nallino14, mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan ahmad amin dan selaras dengan mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama mu’tazilah sebenarnya bukan berarti “memisahka diri dengan umat islam yang lainnya” sebagaiamana pendapat asy-syahrastani al-baghdadi dan tasy-qubra zadah, nama mu’tazilah diberikan kepada mereka, karena mereka berdiri netral diantara khawarij dan murji’ah15. Pendapat ini dibantah oleh al-isami an-nasysyar yang mengatakan bahwa golongan mu’tazilah ini timbul dari orang-orang yang memisahi diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan karena sikap netral terhadap situasi politik16.
Dengan demikian kata I’tazala dan mu’tazila telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa wasil dan hasan al-basri yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya17.


C. Sebutan Lain Untuk Aliran “Mu’tazilah”
Sebenarnya orang-orang mu’tazilah tidak senang dengan penyebutan “mu’tazilah”, karena bisa disalah tafsirkan oleh lawannya untuk mengejek, akan tetapi karena nama itu sudah melekat pada diri mu’tazilah dan tidak ada jalan untuk menghindarinya, maka mereka mulai mengemukakan alasan-alasan kebaikan, seperti yang dikatakan bahwa aliran mu’tazilah itu sendiri yang memberikan sebutan tersebut atas diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyalahi ijma’, bahkan memakai apa yang telah di ijma’kan pada masa pertama islam. Jika ada bid’ah dan pendapat baru, maka itulah yang mereka jauhi18.
Seolah-olah Ahmad bin al-murtadho ingin menjelaskan alasan mereka dalam penyingkirannya mereka yang menjadi sebab dinamainya mereka dengan nama “mu’tazilah”, seperti salah satu ayat Al-qur’an yang dijadikan sandaran bagi aliran mu’tazilah, yaitu dalam QS. Al-muzammil (73): 10
       
Artinya: “dan bersabarlah dengan apa-apa yang mereka katakan, dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik”.
Golongan mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain, seperti:
  1. ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan tuhan
  2. ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan tuhan19.
  3. Lawan mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan al-qodariyyah karena mereka menganut faham free wiil dan free act, yakni manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat.
  4. selain itu, mereka juga menamai dengan nama al-mu’attilah karena golongan mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat, yaitu mempunyai wujud diluar dzat tuhan (attala= mengosongkan)20.
  5. Mereka juga menamainya dengan wa’idah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum tuhan.






D. Mazhab Dan Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
Mu’tazilah secara harfiah adalah kelompok yang terisolir21. Secara terminologis, pendapat yang paling termahsyur dan kuat, menyatakan bahwa istilah mu’tazilah digunakan untuk menyebut wasil bin ata’ dan para pengikutnya yang diisolir oleh gurunya, hasan al-basri akibat isu al-manzilah bayn al-manzilataini22. Mu’tazilah kadang kala disebut qodariyyah, Karena isu al-qodar yang dikemukakan dalam madzhab ini23.
Menurut sejarah islam di bidang teologi islam atau ilmu kalam, mu’tazilah menjadi dua puluh dua (22) aliran24 atau mazhab, yaitu:
( 1 )Wasiliyyah ( 2 ) amrawiyyah ( 3 ) hudhayliyyah
( 4 ) nannamiyyah ( 5 ) aswariyyah ( 6 ) ma’mariyyah
( 7 ) iskafiyyah ( 8 ) ja’fariyyah ( 9 ) bisyriyyah
(10) murdariyyah (11) hisyamiyyah (12) thumamiyyah
(13) jahiziyyah (14) khabitiyyah (15) himariyyah
(16) khayatiyyah (17) murisiyyah (18) syahammiyyah
(19) ka’biyyah (20) jubba’iyyah (21) bahsyamiyyah
(22) salihiyyah.
Dua dari aliran tersebut, menurut al-baghdadi merupakan kelompok yang paling ekstrim, mereka adalah khabitiyyah dan himariyyah. Adapun yang dua puluh (20) lainnya adalah qodariyyah murni25.
Dari segi geografis dan kebudayaan (kultur), aliran mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran mu’tazilah bashra dan aliran mu’tazilah Baghdad. Aliran bashra lebih dahulu muncul, lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama-tama mendirikan aliran mu’tazilah.
Kota bashrah lebih dahulu didirikan dari pada kota Baghdad dan lebih dahulu mengenal perpaduan aneka ragam kebudayaan dan agama. Walaupun kota baghdad didirikan setelah kota bashrah dan lebih akhir dalam menerima kebudayaan, namun kota Baghdad sempat dijadikan ibu kota pada masa pemerintahan khalifa abbasiyyah.26
Pada aliran mu’tazilah Baghdad, pengaruh filsafat yunani lebih tampak dibandingkan dengan faham mu’tazilah bashra. Hal itu disebabkan karena kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat yang dilakukan di Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khalifah abbasiyyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama islam dengan ahli-ahli pikir (filsafat) golongan lain. Aliran bashrah lebih menekankan segi teori dan keilmuan, sedangkan aliran Baghdad lebih menekankan pada pelaksanaan ajaran mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan dan kehidupan soal-soal yang telah dibahas oleh aliram bashra, yang kemudian diperluas pembahasannya27.
Diantara puluh (20) aliran/ mazhab tersebut tokoh yang dianggap terkenal dan telah memberikan Kontribusi positif bagi aliran bashrah antara lain wasil bin ‘ata, al-allaf, an-nazzham, al-jubbai. Sedangkan untuk aliran Baghdad antara lain bisyr bin al-mu’tamir, al-khayyat, al-qadhi abdul jabar dan az-zamachsyari. Uraian berikut ini didasarkan atas urutan geografis dan kronologinya, yaitu:
  1. Wasil bin ata’
Nama lengkapnya wasil bin ‘ata al-gazzal (80-131 H/ 699-784 M). Ia terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah dan pimpinan pertama yang meletakkan lima (5) prinsip ajaran mu’tazilah dan terkenal sebab pandangannya tentang al-manzilah bayn al-manzilataini
  1. al-allaf
Namanya Abdul huzail Muhammad bin al-huzail al-allaf atau abu hudhayl al-allaf (135-226 H/ 752-840 M), wafat pada tahun 231 H/ 845 M. sebutan al-allaf diperolehnya karena rumahnya terletak di kampung penjual makanan binatang (‘alaf= makanan binatang). Ia berguru pada usman at-tawil, murid wasil. Puncak kebesarannya dicapai pada masa al-ma’un, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh dengan perdebatan-perdebatan dengan orang zindiq (orang yang pura-pura islam), skeptic, majusi, zoroaster, dan menurut riwayat ada 3000 orang yang masuk islam ditangannya. ia banyak membaca buku-buku dan banyak hafalannya terhadap syair-syair arab, ia banyak berhubungan dengan filosod-filosof dan buku-buku filsafat dan juga Terkenal dengan konsepnya mengenai tawallud28
An-nazam pernah mengatakan tentang dirinya, bahwa ketika ia tinggal di kuffah, ia mempelajari buku-buku filsafat. Setelah datang di basrah, ia mengira bahwa dirinya lebih menguasai kata-kata filsafat yang pelik dari pada al-allaf. Akan tetapi Setelah berhadapan dengan al-allaf, barulah ia mengetahui bahwasannya al-allaf lebih pandai dari pada dirinya. Sehingga an-nazam beranggapan bahwa sebab pertalian al-allaf dengan filsafat itulah yang membuat al-allaf mampu mengatur dan menyusun ajaran-ajaran mu’tazilah dan membuka pembahasan baru yang belum pernah dimasuki orang sebelumnya29
  1. an-nazzham
Namanya Ibrahim bin sayyar bin hani an-nazzham. Tokoh mu’tazilah terkemuka, lancar bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak pula karyanya. Ketika kecil ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan islam,dan setelah dewasa ia berhubungan dengan orang-orang filosof yang hidup pada masanya dan banyak mengambil pendapat mereka.
Mula-mula ia berguru pada abdl huzail al-‘allaf, kemudian mengadakan aliran sendiri, terkenal dengan namanya dan meninggal dunia pada usia 36 tahun (231 H/ 845 M). banyak pendapatnya yang berbeda dengan tokoh-tokoh mu’tazilah lainnya. An-nazzham mempunyai otak yang luar biasa, dimana beberapa pemikirannya telah mendahului masanya. Seperti,metode “keraguan” (method of doubt) dam empirika (percobaan) yang menjadi dasar kebangunan baru di eropa. Ia mengatakan “orang yang ragu-ragu lebih dekat kepadamu dari pada orang yang engkar-enggan. Tiap-tiap keyakinan dan peralihan pasti didahului keragu-raguan”30
  1. ali al-jubbai
Nama lengkapnya abu ali Muhammad nin ali al-jubba’i, tokoh mu’tazilah basrah dan merupakan murid dari as-syahham dan wafat pada tahun 267 H/ 885 M. al-jubba’i dan anaknya, hasym al-jubba’i mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah31. Sebutan al-jubba’I diambil dari suatu nama tempat, yaitu jubba, chuzestan (iran), tempat kelahirannya. Terkenal sebagai penulis buku al-intisar.
Al-jubba’I adalah guru imam al-asy’ari, tokoh ulama aliran ahlussunah. Ia membantah buku yang dikarang ibnu ar-rawandi yang menyerang mu’tazilah dan juga membalas serangan imam al-asy’ari ketika keluar dari barisan mu’tazilah
Antar al-jubba’i dan anaknya, hasyim sering dikelirukan banyak orang, sebab anaknya juga merupakan tokah mu’tazilah juga dengan aliran yang dikenal dengan “bahsyamiah”. Aliran ini banyak berkembang di Rai (iran) dan sekitarnya, karena mendapat dukungan dari shahib bin ‘abad, menteri kerajaan bani buwaihi32.
  1. Bisyr bin al-mu’tamir
Ia adalah pendiri aliran mu’tazilah di Baghdad, dan wafat pada tahun 226 H/840 M). Dan tiga tokoh setelah ini yang akan dijelaskan adalah tokoh aliran mu’tazilah Baghdad. Ia merupakan murid dari abu hudhayl al-allaf. Jika diteliti dari pandangannya mengenai kesusasteraan, menimbulkan dugaan bahwa bisyr bin al-mu’tamir adalah orang yang pertama kali mengadakan ilmu balaghah33. Ia adalah orang yang pertama-tama mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya34.
Diantara murid-muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran-penyebaran kemu’tazilahan di Baghdad ialah abu musa al-mudar, tsumamah bin al-asyras dan ahmad bin abi fu’ad.
  1. Al-khayyat
ia adalah abu husein al-khayyat,termasuk tokoh mu’tazilah di baghdad dan wafat pada tahun 300 H/ 912M). Terkenal sebagai penulis buku “al-intisar” yang dimaksudkan untuk membela mu’tazilah dari serangan ar-wandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran mu’tazilah.




  1. al-qadhi abdul jabbar atau abd al-jabbar
Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi al-qudhat) oleh ibnu ‘abad. Wafat 1024 M di ray. Merupakan murid dari abu hasyim al-jubba’i, anak dari ali al-jubba’i. diantara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as-syarif al-murtaha35. Buku tersebut sedang dalam penerbitan di kairo dengan nama :al-mughni”.
  1. az-zamaihsyari
Namanya jar allah abul qosyim Muhammad bin umar kelahiran zamachsyar, sebuah dusun di negeri chawarazm (sebelah selatan lautan qazwen), iran. Sebutan “jarullah” yang berarti “tetangga tuhan” dipakai karena ia lama tinggal di mekah dan bertempat di sebuah rumah dekat dengan ka’bah. Sepanjang hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan, dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke mekah untuk bertempat disana untuk beberapa tahun lamanya kemudian pindah ke jurjan (persi-iran) dan disana ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 467- 538H/ 1075-1144 M36
Pada diri az-zamaihsyari terkumpul karya aliran mu’tazilah selama kurang lebih empat (4) abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (gramatika) dan paramasastera (lexicologi), seperti yang dapat kita lihat dalam tafsirnya “al-kassyaf”, dan kitab-kitab lainnya seperti al-faiq, assasul balaghah dan al-mufassal.
Hakim kota iskandariah37, menyusun sebuah buku untuk menunjukkan pikiran-pikiran kemu’tazilahan dalam al-kassyaf, dengan dibantahnya pula, kemudian memberikan tafsiran menurut faham ahlussunah terhadap ayat-ayat yang telah ditafsirkan menurut faham kemu’tazilahan oleh az-zamaihsyari.
Namun bagaimanapun juga, di kalangan aliran mu’tazilah az-zamaihsyari merupakan sosok tokoh yang sukar dicari tandingannya38.




BAB III
AJARAN DAN FAHAM-FAHAM MU’TAZILAH


A. Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-ushul al-khamsah adalah at-tauhid (pengesaan tuhan), al-adl (keadilan tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-mungkar (menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).
  1. At-Tauhid
at-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-NYA. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya dialah yang qodim. Jika ada lebih dari satu yang qodim, maka telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan)39. Untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin ata’ mengungkapkan40siapa yang mengatakan sifat yang qodim, berarti telah menduakan tuhan41. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik42.
yang disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat tuhan itu sendiri. Abu hudzail43 berkata “tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaannya, dan kekuasaan itu adalah tuhan itu sendiri44. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan tuhan adalah tuhan itu sendiri, yaitu dzat dan esensi tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzatnya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an adalah manifestasi dari kalam tuhan, Al-qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
Perbedaan antara Al-jubba’i45 dengan abu hasyim46 adalah pernyataan bahwa “tuhan mengetahui dengan esensinya”47. Menurut al-jubba’i, arti pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui bahwa tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut abu hasyim, pernyataan tersebut berarti tuhan memliki keadaan mengetahui, sungguhpun demikian, mereka sepakat bahwa tuhan tidak memilikki sifat48.
Terlepas dari adanya anggapan bahwa abu al-hudzail mengambil konsep nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat aristoteles49. Agaknya beralasan, bila para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut faham keadilan dan keesaan tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan menempatkannya benar-bemar adil.
Doktrin tauhid mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai tuhan. Begitu pula sebaliknya, tuhan tidaklah sama dengan makhluknya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itut tidak layak baginya setiap atribut materi. Segala mengesankan adanya kejisiman tuhan, bagi mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan nya. Tegasnya, mu’tazil antropomorfisme50.
Penolakan terhadap faham antropomorfostik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:
   
Artinya: “tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”(QS. Asy syuraa 42:11)
Memang tidak dapat dibantah bahwa mu’tazilah sebagaimana aliran lain , telah terkena pengaruh filsafat yunani, namun hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut buta hellenisme. Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi benar-benar membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran hellenistik yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap serangan para penentangnya,yakni para muhadditsin rafidah manichscanisme, dan berbagai aliran keagamaan yang lain di india51.
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman tuhan. Mereka mamalingkan arti kata-kata tersebut pada arti kata yang lain, sehingga hilanglah kejisiman tuhan. Tentu saja pemindahan ini dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa arab. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini, misalnya kata-kata tangan (Q.S shad 38:75) diartikan “kekuasaan”. Pada konteks yang lain (Q.S. al-maidah 5:64) di artikan “nikmat”. Kata wajah ((Q.S. ar-rahman 55:27) diartikan “esensi” dan “dzat”, sedangkan al-asyri ((Q.S. toha 20:5) diartikan “kekuasaan”.
Penolakan mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan yang memiliki ruang saja. Andaikan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akherat, tentu diduniapin dia dapat dilihat oleh mata kepala52. Oleh karena itu,melihat (Q.S. al-qiyamah 75:22-23) di takwilkan dengan “mengetahui”.
  1. Al-Adl
Ajaran dasar mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/ melanggar janjinya53. Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
  1. perbuatan manusia
manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau tidak54. Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
  1. Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha sempurna55. Bahkan menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, tuhan tidak dapat berbuat jahat56. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila tuhan tidak bertindak seperti itu berarti dia tidak bijaksana, pelit dan kasar/kejam57.






  1. Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-alasan berikut ini :
  1. Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
  2. Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus rasul
  3. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.58


3. Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya59.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya60.


4. Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit)61.” Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya62.
Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar, tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan dan rasulnya, dan masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir63. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik besar maupun yang kecil.
5. Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (al- amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam ber ‘amar ma’ruf nahy munkar64:
  1. ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah munkar
  2. ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
  3. ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
  4. ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan diri dan hartanya65.


al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar bukan monopoli Konsep mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena Mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah66. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan67.






Perbedaan mazhab mutazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut mu’tazila, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyirkan ajaran-ajarannya68




B. Pemahaman Mu’tazilah Terhadap Pelaku Dosa Besar
Kemunculan aliran mu’tazilah dalam teologi islam diawali oleh masalah yang hampir sama dengan aliran khawarij dan murjia’ah, yaitu status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaannya, bila khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar sedangkan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar. Dan mu’tazilah sendiri tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar tersebut, apakah dia tetap mu’min atau kafir. Atau berada pada sebutan yang terkenal dalam ajaran mu’tazilah, yaitu al-manzilan bain manzilatain. Bagi pelaku dosa besar menurut mu’tazilah berada pada posisi tengah antara mu’min dan kafir. Jika pelakunya belum bertobat hingga ia meninggal, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya selama-lamanya. Walaupun demikian siksaan yang diterimanya lebih ringan dibandingkan dengan orang kafir69. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh mu’tazilah, seperti wasil bin ata’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasiq, yang menandakan bahwa bukan mu’min dan bukan pula kafir70 melainkan masuk kedalam kategori netral dan independen.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan dosa besar, aliran mu’tazilah merumuskan secara lebih kontekstual ketimbang aliran khawarij. Yang dimaksud dosa besar menurut mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan dengan tegas dalam nas, sedangkan kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas71.tampaknya mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi pelaku dosa besar maupun pelaku dosa kecil.




C. Pemahaman Mu’tazilah Terhadap Paham Iman Dan Kufur
Seluruh pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman72. Bahkan hampir mengidentikkannya dengan iman73. Ini mudah dipahami, karena konsep mereka tentang amal yaitu sebagai bagian terpenting dari keimanan, memiliki keterkaitan langsung dengan al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancama) yang merupakan salah satu dari “pancasila” mu’tazilah.
Aspek penting lainnya tentang keimanan menurut mu’tazilah adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi unsur yang tak kalah penting dari iman, karena pandangan mu’tazilah yang bercorak rasional74. Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman berimplikasipada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-aman bi at- taqlid75). Segala Pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam76. Iman menurut mu’tazilah sangatlah sarat dengan konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal, karena hanya para mutakallim (teolog) yang dapat menjadi orang yang beriman, sedangkan orang awam yang jumlahnya mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar iman77.
Masalah fluktuasi keimanan, yang merupakan permasalahan teologi yang diwariskan aliran murji’ah, disinggung pula oleh mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa manakala seseorang melaksanakan/ berbuat amal kebaikan, maka keimanannya akan semakin bertambah. Dan sebaliknya, jika ia mengerjakan amal kejelekan, maka keimanannya akan semakin berkurang78.




D. Pemahaman Mu’tazilah Terhadap Paham Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan Manusia
Aliran mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, bukan berarti tuhan tidak mampu melakukan hal yang buruk, akan tetapi tuhan tidak melakukan perbuatan buruk dan tidak pula berbuat zalim79. Sebagaimana dalil Al-Qu’an yang mendukung pendapat tersebut,berbunyi:
      
Artinya: “dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya, dan merekalah yang akan ditanyai”80.
                        
Artinya: “Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar”81.
Dari penjelasan dari ayat pertama diatas, Qadi abd al-jabar mengatakan bahwa tuhan hanya berbuat yang baik dan maha suci dari perbuatan buruk, dan Allah tidak perlu ditanyai tentang apa yang telah diperbuatnya, dan bagi orang yang baik dan ketika berbuat baik dan itu nyata, maka dia tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu82. Sedangkan pada ayat kedua, al-jabbar menerangkan jika tuhan melakukan perbuatan buruk, maka kabar bahwa tuhan menciptakan semua Ini dengan haq, tentulah tidak benar atau merupakan kabar bohong83.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan, mendorong kelompok mu’tazilah untuk berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia, yaitu berbuat baik bagi manusia84. Dari faham ini mengonsekuensikan aliran mu’tazilah memunculkan faham kewajiban Allah sebagai berikut :
  1. kewajiban tidak memberikaan beban diluar manusia
  2. kewajiban mengirimkan rasul
  3. kewajiban menempati janji




E. Pemahaman Mu’tazilah Terhadap Paham Sifat-Sifat Tuhan
Pertentangn faham antara kaum mu’tazilah dengan kaum asy’ariyyah berkisar antara persoalan apakah tuhan mempunyai sifat ataukah tidak. Jika tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan dan mestinya tidak hanya satu, melainkan banyak. Tegasnya, kekalnya sifat membawa pada faham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama atau multiplicity of eternals) yang akhirnya membawa pada faham syirik atau politheisme, suatu hal yang tak diterima dalam teologi85. lanjutnya, wasil bin ata’ menegaskan “siapa saja yang menetapkan sifat qodim bagi tuhan, maka berarti ia telah menetapkan adanya dua tuhan”86. Defisi tentang tuhan menurut kaum mu’tazilah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh asy’ari, yaitu tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat dan sebagainya87.




F. Kekuasaan Dan Kehendak Mutak Tuhan
Aliram mu’tazilah yang berprinsip keadilan tuhan, mengatakan bahwa tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat dzalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-NYA kemudian mengharuskan hamba-NYA itu menanggung semua akibat dari perbuatannya88. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa adanya paksaan sedikitpun dari tuhan. Dan dengan kebebasan itulah manusia dapat mempertanggung jawabkan atas segala perbuatannya.
kaum mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti yang terkandung dalam uraian nadir, kekuasaan mutlak tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya89. Seterusnya, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendaknya, tuhan telah terikat oleh norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat tuhan bersifat tidak adil bahkan berbuat dzalim. Sifat serupa ini tidak dapat diberikan kepada tuhan90. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban tuhan terhadap manusia yang menurut paham mu’tazilah memang ada91. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh natur atau hukum alam (sunah Allah) yang tidak mengalami perubahann. Al-qur’an memang mengatakan
ولن تجد لسنة الله تبد يلا92
Bahwa kaum mu’tazilah menganut paham bahwa tiap-tiap benda mempunya natur atau hukum alam sendiri.seperti yang ditulisan oleh pemuka-pemuka mu’tazilah lainnya, seperti:
Al-jahiz, ia mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing93. Lebih tegasnya al-khayyat menerangkan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu dan tak menghasilkan sesuatu kecuali efek dari benda itu sendiri. seperti, api tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali panas, dan es tidak menghasilkan apa-apa kecuali dingin94. menurut mu’ammar, Efek itu mmang diciptakan oleh tuhan tapi berjannya efek tersebut bukan karena tuhan, melainkan secara alami dan tuhan tidak ada campur tangan dalam hal ini95.
Sebagai penjelasan selanjutnya tentang paham sunnah allah, kaum mu’tazilah mempercayai pada hukum alam atau sunnah allah dan menganut determinsme. Dan determinisme ini, mereka artikan sebagai kata nader96,yang sama dengan keadaan tuhan yang juga tidak berubah-berubah97.
Menurut al-manar, tuhan sendiri tidak bersikap absolut seperti halnya dengan raja absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata. Keadaan tuhan dalam hal ini lebih dekat menyerupai keadaan raja konstitional yang kekuasaan dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi/ batasan-batasan. Abd al-jabar menjelaskan bahwa keadilan tuhan mengandung arti tuhan tidak berbuat baik dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajibanNYA kapada manusia, dan segala perbuatannya adalah baik dan juga mempunyai kewaiban-kewajiban yang ditentukan-NYA sendiri bagi diri-NYA98.
Ayat-ayat Al-qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat mu’tazilah adalah QS.al-anbya’ (21):47, QS. Yasin (36):54, QS. Fusshilat (41):46, QS. An-nisa’ (4):40 dan QS. Al-kahfi(18):49.
Dan konsep menurut mu’tazilah ini merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak tuhan. Yaitu, keadilan tuhan terletak pada kaharusan dan kewajiban tuhan dalam berbuat baik pada makhluk-NYA dan memberi kebebasan kepada manusia, sedangkan kehendak mutlak tuhan dibatasi oleh keadilan tuhan itu sendiri.


















BAB IV
PENUTUP


Kesimpulan
Dari meteri yang disajikan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa aliran mu’tazilah itu muncul akibat dari ketegangan politk yang terjadi pada masa itu yang menjadikan sekelompok majelis keluar dari barisan majelis gurunya dan memunculkan pemikiran tersendiri sesuai akal pikiran, naluri dan pemahaman mereka serta menjadikannya sebuah pedoman atau dasar dalam mereka mendirikan aliran baru dalam dunia teologi islam dan mengembangkanya. Dalam aliran mu’tazilah ada beberapa pandangan atau konsep yang sama dengan aliran-aliran sebelumnya dalam beberapa konsep pemahaman aliran dalam tubuh mereka, namun ada pula yang berseberangan dengan aliran lain.
Adapun perbedaan ataupun perpecahan yang terjadi diantara kaum islam pada masa itu merupakan suatu jalan keluar alternatif menurut pandangan mereka dalam menyikapi permasalahan yang ada pada masa itu.
Namun semua perbedaan dalam masing-masing aliran yang ada didalam teologi islam pada haikatnya mempunyai tujuan dan misi yang sama, yaitu mencapai tingkatan mukmin yang sebenar-benarnya dan sempurna.






















DAFTAR PUSTAKA




M.A, A.Hanafi. Pengantar Theologi Islam. Jakarta : Pt. Al Husna Zikra.1995


Nasution, Harun. Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 2009

Abu Zahrah, Prof.Dr. Imam Muhammad. Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House. 1996

Bashori,Drs. Ilmu Tauhid.Malang.2001

Rozak, Dr.Abdul Dkk. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia



1 h Samih ‘Atif Al-Zayn. “Al-Islam Wa Idiyulujiyah Al-Insan”. Beirut, lubnan: Dar al-kitab al-lubnani. cet.III, 1982,hal.66

2 Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyyah. “Al-Mu’jam Al-Wajiz”.Misr al-‘Arabiyyah: Jumhuriyyah. Cet.1. 1980. Hal.25

3 A. Hanafi, MA,op.cit. hal 46

4 Ibid. hal 64

5 Tarikhul Falsafah Al-Arabiyyah I: 142-143

6 Luwis Ma’luf, Al Munjid Fi Al-Lughoh. Darul kitab al-arobi. Cet X. Beirut. Hal 207

7 Nurcholish Madjid. Islam Doktrin Dan Peradaban,Jakarta: yayasan wakaf paradina.1995. cet II. Hal 17

8 Muhammad Bin Bd Al-Karim Asy-Syahrastani. Al Miwal Wa An-Nihal. Kairo. 1951. Hal 48

9 Abu Mansyur Al-Baghdadi. Al-Farq Bain Al-Firq. Kairo: maktabah subeih. Hal 20-21

10 Ahmad Mahmud Subhi. Fi’ilm Al-Kalam. Kairo. 1969. Hal. 75

11 Ibid. hal 76

12 Ibid. hal 64

13 Ahmad Amin. Fajr Al-Islam. Kairo: an-nahdah. 1965. Hal. 290

14 seorang orientalis itali

15 Abd Ar-Rahman Badawi. At-Turas Al-Yunani Fi Al-Hadarah Al-Islamiyyah. Kairo. 1965. Hal 185

16 Al-Nasysyar. Nisyi’ah Al-Fikr Al-Fasafi Fi Al-Islam. Kairo. 1966. Jilid I. hal 429-430

17 Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI press. 1986

18 Ahmad Bin Al-Murtadho. “Al-Munayatulwal Amal”

19 Nasution. Op. cit. hal 42

20 Ibnul qayyim

21 Ibn manzur. Lisan. Juz XI. Hal 440

22 Al-Syahrastani. Al-Milal. Hal. 22; al-jurjani. At-ta’rifat. Hal. 282

23 Al-Baghdadi. Al-Farq. Hal 131; al-syahrastani, ibid hal. 22

24 Al-baghdadi

25 Al-baghdadi, ibid. hal 131

26 A.Hanafi M.A. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: PT.al-husna zikra.1995. hal.70

27 Ahmad yamin

28 Secara umum, tawallud adalah perbuatan yang dihasilkan oleh pelakunya melalui perantara.

29 Dhuhal islam III: 80-99

30 Ibid; 112

31 Al-mu’tazilah. 149

32 Dhuhrul Islam III: 141

33 Al-Jahiz. Al-Bayan Wat-Tabyin

34 A.Hanafi M.A. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: PT.al-husna zikra.1995. hal.73

35 Ibid IV : 44

36 Ibid. hal 70

37 Ibnu munir

38 Dhuhrul Islam III: 59 dan Tarikh Adabil Lughah Al-Arabiyyah IV: 48

39 Abd Al-Jabbar Bin Ahmad. Isyarah Al-Ushul Al-Khamsah. Kairo: maktab wahbah. 1965. Hal. 196

40 Asy-Syahrastani

41 Abi Al-Fath Muhammad Adb Al-Karim Asy-Syahrastani. Al-Milal Wa An- Nahl. Bairut: dar al-fikr. Hal 46

42 Adbul Rozak; Rosihun Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: pustaka setia. hal. 81

43 Abdul huzail al-allaf (135-226 H) adalah maula abd. Al-qois. Seorang tokoh mu’tazilsah aliran basrah.

44 Asy-Syahrastani

45 Nama aslinya abu muhamad bin abd al-wahhab al-jubba’I, wafat 195 H

46 Abu hasyim abd as-salam adalah anak al-jubba’I, wafat 321 H. keduanya adalah tokoh mu'tazilah aliran basrah

47 Harun nasution

48 Nasution. Op.cit. hal.135-136

49 Imam abi al-hasan al-asy’ari. Maqalat islamiyyin wa ikhtilaf al-mushallin. Al- Baghdad al-misriyyah, kairo: maktabah. 1969. Hal. I/178

50 Al-Jabbar, op. cit. hlm. 217

51 W. wontgomerry watt. Early islam. Edindburgh university prees. Edindburgh. 1990. Hal. 86; M. T.h. houtsman, Et. Al. first encyclopedia of islam. Jilid VI. E.J.Brill, leiden. Hal 791

52 Al-jabbar. Op. cit. hal 227

53

54 Mahmud Mazru’ah. Tarikh Al-Faraq Al-Islamiyah. Dar al-manar. Kairo. 1991 hal. 122

55 Mazru’ah. Op. cit. hal 127

56 Syahrastani. Op.cit. hal 54

57 Mazru’ah. Op.cit. hal 128

58 Ibid. hal 130-131

59 Ibid. hal 138-139

60 Houstsma. Op. cit. hal 792

61 Tosihiko Izutsu. Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam. Terj.agus fahri husein dkk. Tiara wacana.cet I. yogykarta. 1994. Hal 53

62 Ibid.hal. 53

63 Syahrastani. Op. cit. hal. 48

64 Abd al-jabbar, tokoh mu’tazilah

65 Al-jabbar. Op. cit. hal. 142-143

66 Izutsu. Op. cit. hal. 257-258

67 Ibid. hal. 259-260

68 Nasution. Op.cit. hal 56

69 Asy-syahrastani. Op.cit. hal 26

70 ibid

71 Al-asy’ari. Op. cit. hal 270-271

72 Wensinck. Op. cit. hal 135

73 Definisi iman menurut wasil bin ata’: iman adalah suatu ungkapan dari budi pekerti yang baik
Menurut abu al-huzail, hisyam al-fuwati, abbad bin sulaeman, abu bakar al-asama dan al-jubba’i: iman
adalah seluruh perbuatan taat, baik yang merupakan kewajiban maupun anjuran dari perinta Allah swt.
Menurut an-nazzam : iman adalah menghindari dosa-dosa besar. Lihat asy-syahrastani, ibid, al-asy’ari.
Op. cit. hal 266-270

74 ibid

75 ibid

76 Harun nasution

77 Toshihiko izutsu, seorang pakar teologi islam dari jepang

78 Ibn Hazm. Al-Fizal Al-Ahwa Wa An-Nihal. Juz III. Hal 188

79 M. Yunan Yusuf. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam. Perkasa Jakarta. 1990. Hal 89

80 Q.S al-anbiya’ (21):23

81 Q.S ar-rum (30):8

82 Yusuf. Op.cit.hal 90

83 ibid

84 Dalam istilah arab berbuat baik bahkan terbaik untuk manusia disebut ash-shalah wa al-aslah. Term ini dalam teologi islam dikenal dengan term mu’tazilah dan merupaka keyakinan yang terpenting dalam aliran mu’tazilah

85 Harun Nasution. Teologi Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.UI press. Jakarta.986. hal 135

86 Asy-Syahrastani. Al-Miwal Wa An-Nihal. Dar al-fikr. Beirut. Hal 46

87 Al-Asy’ari. Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Aliran Teologi Islam, buku 2 terj.rosihon anwardan taufiq rohman.
Pustaka setia. bandung. 2000

88 Asy-Syahrastani. Al-minal wa an- nihal. Dar al-fikr. Hal 47

89 LE Systeme Philosophique Des Mu’tazilah, (selanjutnya disebut LE systeme)

90 Infra, 117

91 Infra 122

92 Al-ahzab (33):62. “tidak akan engkau jumpai perubahan pada sunnah Allah”

93 Al-milal, I/75

94 Le systeme, 145

95 Maqalat, II/90

96 suatu keadaan tidak berubah-berubah

97 Le systeme, 193

98 yusuf, op. cit. hal 85

0 komentar:

Popular Posts

Share