Kamis, 19 April 2012
Browse » Home »
mu'tazilah
» makalah teologi islam; aliran mu'tazilah
makalah teologi islam; aliran mu'tazilah
10.27 | Diposting oleh
eko aw |
Edit Entri
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber referensi. ketentuan hak cipta berlaku
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Islam
adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW
untuk mengatur interaksi antar manusia dengan Allah, sesamanya dan
dirinya sendiri1.manusia
yang membentuk kesatuan politik, yang diikiat oleh aqidah dan system
yang sama disebut umat2.dengan
demikian dapat dinyatakan, bahwa umat islam merupakan akumulasi
manusia yang membentuk kesatuan politik, meskipun terdiri dari
berbagai bangsa, etnik dan bahasa yang bebeda.
Sejarah
umat islam dimulai dari sejarah nabi Muhammad SAW yang diutus oleh
Allah SWT di mekah dengan tujuan untuk kemashalatan hidup manusia di
dunia dan di akherat, yang menjadi pedoman hidup dan petunjuk menuju
jalan kebenaran dengan syari’at-syari’at yang telah ditentukan
oleh Allah dalam firmannya (Al-Qur’an).
Beliaulah
yang menjadi pendiri dan Pembina umat ini hingga mengalami
perkembangan yang sangat pesat melalui ajaran-ajaran dan dakwahnya,
yang bertujuan untuk mengajak umat manusia mau terbangun dari
kehidupan jahiliyyah mereka dan kembali beribadah dan beriman kepada
Allah dengan ibadah yang murni yang dikehendaki oleh Allah dengan
keyakinan dan pemahaman yang satu.
Perkembangan
dakwah yang begitu pesat itu dapat dicapai, sebab umat islam pada
waktu itu berada pada satu komando dan satu kefahaman dalam aqidah
dibawah bimbingan rosulalloh. Namun. Setelah rosululloh wafat, dalam
tubuh islam mengalami banyak sekali perpecahan mulai dari segi
politik, dan pemerintahan hingga akhirnya menjalar pada masalah
akidah. Sehingga memunculkan banyak pemikiran, faham aliran.
Namun,
akibat dari kelemahan akal daya manusia yang kurang mampunya memahami
ajaran atau akidah islam yang telah diajarkan oleh rosululloh secara
utuh serta tingkat keimanan dan kefahaman seseorang yang berbeda,
mengakibatkan tokoh-tokoh islam yang juga merupakan kumpulan
orang-orang shalih sebagai panji –panjinya islam, ikut terjerembab
kedalam lubang perpecahan dan perdebatan dalam islam. Dan islam
sendiri yang dulunya diibaratkan batang tubuh yang satu, kini mulai
berpecah belah, saling menghujat antara satu dengan yang lain, saling
membunuh demi memperebutkan kekuasaan, dan demi membenarkan argumen
masing-masing dalam masalah akidah, pemikiran, serta keyakinan akan
suatu ajaran dalam peribadatan yang pada akhirnya memunculkan
aliran-aliran yang mempunyai faham yang berbeda bahkan berseberangan
dan merupakan awal dari munculnya ilmu teologi, ilmu kalam, ilmu
tauhid dan filsafat dalam islam yang membahas tentang faham
aliran-liran dalam islam, perdebatan dalam lingkup akidah islam dan
bahkan perdebatan tentang ketuhidan Allah beserta sifat-sifatnya .
I.2
Rumusan Masalah
- Bagaimanakah Sejarah lahirnya aliran mu’tazilah dan penamaannya ?
- Apakah Sebutan Lain Untuk Aliran “Mu’tazilah” ?
- Siapakah Tokoh-Tokoh dalam aliran Mu’tazilah ?
- Bagaimanakah Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah ?
- Bagaimanakah Pemahaman mu’tazilah terhadap pelaku dosa besar ?
- Bagaimanakah Pemahaman mu’tazilah terhadap paham iman dan kufur ?
- Bagaimanakah Pemahaman mu’tazilah terhadap paham perbuatan tuhan dan perbuatan manusia ?
- Bagaimanakah Pemahaman mu’tazilah terhadap paham sifat-sifat tuhan ?
- Bagaimanakah pemahaman Kekuasaan dan kehendak mutak tuhan ?
BAB
II
ALIRAN
MU’TAZILAH
A.
Sejarah Lahirnya Mu’tazilah
Kaum
mu’tazilah adalah golongan yamg membawa persoalan-persoalan teologi
yang lebih mendalam dan lebih bersifat filosofis dari pada persolan
yang dibawa oleh golongan khawarij dan murji’ah. Dalam pembahasan,
mereka lebih menggunakan akal sehingga mereka mendapat julukan “kaum
rasionalis islam”
Aliran
mu’tazilah merupakan suatu golongan atau aliran teologi islam yang
cukup besar dan telah mengambil peran penting dalam sejarah pemikiran
umat islam3.
Dan merupakan golongan tertua dalam perkembangan alam pikiran umat
islam. Mereka adalah ulama-ulama yang rasionalistis dan kritis, bukan
saja terhadap hadis-hadis nabi dan cara-cara penafsiran Al-qur’an,
tetapi juga terhadap pengaruh ajaran filsafat yunani.
Orang
yang hendak mengetahui filsafat islam yang sesungguhnya dan yang
berhubungan dengan agama dan sejarah islam, haruslah menggali
buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah, bukan oleh
mereka yang lazim disebut
filosof-filosof
islam.
Golongan
mu’tazilah lahir sekitar abad pertama (1) hijriyah pada zaman
permulaan daulah abasiyah di kota basrah
(Iraq), yang
merupakan pusat ilmu dan peradaban islam4.
Disamping sebagai tempat perpaduan aneka ragam kebudayaan asing serta
tempat pertemuan agama-agama. Dan juga akibat berkembang pesatnya
bidang keilmuan logika dan filsafat yang besar perannnya dalam
pemikiran agama, khususnya dibidang akidah. Karena pada waktu itu
banyak orang-orang yang hendak menghancurkan islam dari segi akidah,
baik mereka yang menamai dirinya islam maupun bukan. Sebagaimana
diketahui, sejak islam meluas banyak bangsa-bangsa yang masuk islam
dan hidup dibawah naungannya.
Akan
tetapi, tidak semuanya memeluk islam dengan segala keikhlasan.
Ketidak ikhlasan ini terutama dimulai sejak permulaan masa
pemerintahan khilafah umawi. Karena khilafah-khilafah umawi
memonopoli segala kekuasaan Negara kapada orang-orang islam dan
bangsa arab sendiri. Tindakan mereka menimbulkan kebencian terhadap
bangsa arab dan menyebabkan adanya keinginan untuk menghancurkan
islam itu sendiri dari dalam, karena islam menjadi sumber kejayaan
dan kekuatan mereka, baik fisik maupun mental.
Diantara
lawan-lawan islam dari dalam adalah golongan
rafidah atau
golongan syi’ah ekstrim yang banyak memasukkan unsur-unsur
kepercayaan yang jauh sama sekali dari ajaran-ajaran islam, seperti
kepercayaan agama manu, aliran agnostic yang pada waktu itu tersebar
luas di kuffah dan basrah. Termasuk lawan islam juga, ialah golongan
tasawuf-hulul (inkarnasi)
yang mempercayai bertempatnya tuhan pada diri manusia. Aliran
mu’tazilah menjawab bahwa tuhan tidak mungkin mengambil tempat
papun juga. Dalam hal inilah muncul golongan mu’tazilah yang
kemudian berkembang dengan pesatnya, serta mempunyai metode dan
faham sendiri5.
B.
Asal Usul dan Sejarah Penamaan Golongan Mu’tazilah
Secara
harfiah, kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti
berpisah atau memisahkan diri6.
Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Yaitu:
- Golongan pertama (yang selanjutnya disebut mu’tazilah 1) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik tanpa stigma teologis yang menjauhi pertikaian masalah khilafa’, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menyikapi atau menangani pertentangan antara ali bin abi thalib dan lawan-lawannya, terutama muawiyyah, aisyah, Abdullah bin zubair7
- Golongan kedua (yang selanjutnya disebut mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir terhadap orang yang berdosa besar.
Awal
dari pemberian nama mu’tazilah ini berpusat pada peristiwa yang
terjadi antara Wasil
bin Ato’ serta
temannya, Amr bin
Ubaid dan Hasan
Al-basri di daerah Basrah. Ketika Wasil
mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
Hasan Al-basri di
masjid basrah, datanglah seseorang yang bertanya tentang pendapat
hasan al-basri
tentang orang yang berdosa besar. Ketika hasan al-basri masih
berfikir, wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “saya
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mu’min dan
bukan pula kafir, tetapi berada diposisi diantara keduanya”.
Kemudian wasil menjauhkan diri dari hasan al-basri dan pergi ketempat
lain di lingkungan masjid, disana wasil mengulangi pendapatnya
dihadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, hasan
al-basri berkata: “wasil
menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna)”
menurut asy-syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa
ini lah yang disebut kaum mu’tazilah8.
Dalam
versi lain yang diungkapkan oleh
al-baghdadi, ia
mengatakan bahwa wasil dan temannya, amr bin ubaid diusir oleh hasan
al-basri dari majelisnya karena ada pertikaian diantara mereka
tentang masalah qodar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
memisahkan diri dari hasan al-basri dan berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar itu bukanlah mu’min dan bukan pula kafir. Olek karena
itu, golongan ini disebut kaum mu’tazilah9
Versi
lain yang dikemukakan oleh tasy
kubra zadah adalah
bahwa qatadah bin da’mah pada suatu hari masuk masjid basrah dan
bergabung dengan majlis amr bin ubaid yang disangkanya majlis hasan
al-basri. Ketika mengetahui bahwa itu bukan majelis hasan al-basri,
Qatadah bin da’mah berdiri dan meninggalkannya sambil berkata”ini
kaum mu’tazilah” dan sejak saat itulah kaum itu disebut kaum
mu’tazilah10
Al-mas’udi
memberi keterangan tentang asal-usul kemunculan mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara wasil dan hasan
al-basri. Mereka diberi nama mu’tazilah sebab pendapat mereka bahwa
orang yang berdosa besar bukan termasuk orang mukmin maupun kafir,
tetapi dintara keduanya (al
manzilah bainal al-manzilataini)11.
Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu
jauh dari golongan orang mukmin dan kafir. Mereka fasiq dan nantinya
akan masuk kedalam neraka untuk selama-lamanya12.
Teori
baru yang dikemukakan oleh ahmad amin, menerangkan bahwa nama
mu’tazilah sudah ada sebelum peristiwa wasil dan hasan al-basri dan
sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama
mu’tazilah diberikan kepada golongan orang yang tidak mau
berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman utsman
bin affan dan ali bin abi thalib. Ia menjumpai pertikaian disana,
satu golongan mengikuti pertikaian itu sedangkan yang lain memisahkan
diri ke kharbita
( I’tazalat ila kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang
dikirim oleh Qais kepada ali bin abi thalib, ia menamakan golongan
yang menjauhkan diri tersebut dengan nama mu’tazilin, sedang abu
al-fida menamainya dengan mu’tazilah.13
C.A
nallino14,
mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan ahmad amin dan selaras
dengan mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama mu’tazilah sebenarnya
bukan berarti “memisahka diri dengan umat islam yang lainnya”
sebagaiamana pendapat asy-syahrastani al-baghdadi dan tasy-qubra
zadah, nama mu’tazilah diberikan kepada mereka, karena mereka
berdiri netral diantara khawarij dan murji’ah15.
Pendapat ini dibantah oleh al-isami an-nasysyar yang mengatakan bahwa
golongan mu’tazilah ini timbul dari orang-orang yang memisahi diri
untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan karena sikap netral terhadap
situasi politik16.
Dengan
demikian kata I’tazala dan mu’tazila telah dipakai kira-kira
seratus tahun sebelum peristiwa wasil dan hasan al-basri yang
mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian
politik yang terjadi pada zamannya17.
C.
Sebutan Lain Untuk Aliran “Mu’tazilah”
Sebenarnya
orang-orang mu’tazilah tidak senang dengan penyebutan “mu’tazilah”,
karena bisa disalah tafsirkan oleh lawannya untuk mengejek, akan
tetapi karena nama itu sudah melekat pada diri mu’tazilah dan tidak
ada jalan untuk menghindarinya, maka mereka mulai mengemukakan
alasan-alasan kebaikan, seperti yang dikatakan bahwa aliran
mu’tazilah itu sendiri yang memberikan sebutan tersebut atas diri
mereka sendiri, dan mereka tidak menyalahi ijma’, bahkan memakai
apa yang telah di ijma’kan pada masa pertama islam. Jika ada bid’ah
dan pendapat baru, maka itulah yang mereka jauhi18.
Seolah-olah
Ahmad bin al-murtadho ingin menjelaskan alasan mereka dalam
penyingkirannya mereka yang menjadi sebab dinamainya mereka dengan
nama “mu’tazilah”, seperti salah satu ayat Al-qur’an yang
dijadikan sandaran bagi aliran mu’tazilah, yaitu dalam QS.
Al-muzammil (73): 10
Artinya:
“dan bersabarlah dengan apa-apa yang mereka katakan, dan
tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik”.
Golongan
mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain, seperti:
- ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan tuhan
- ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan tuhan19.
- Lawan mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan al-qodariyyah karena mereka menganut faham free wiil dan free act, yakni manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat.
- selain itu, mereka juga menamai dengan nama al-mu’attilah karena golongan mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat, yaitu mempunyai wujud diluar dzat tuhan (attala= mengosongkan)20.
- Mereka juga menamainya dengan wa’idah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum tuhan.
D.
Mazhab Dan Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
Mu’tazilah
secara harfiah adalah kelompok yang terisolir21.
Secara terminologis,
pendapat yang paling termahsyur dan kuat, menyatakan bahwa istilah
mu’tazilah digunakan untuk menyebut wasil bin ata’ dan para
pengikutnya yang diisolir oleh gurunya, hasan al-basri akibat isu
al-manzilah bayn
al-manzilataini22.
Mu’tazilah kadang
kala disebut qodariyyah, Karena isu al-qodar yang dikemukakan dalam
madzhab ini23.
Menurut
sejarah islam di bidang teologi islam atau ilmu kalam, mu’tazilah
menjadi dua puluh dua (22) aliran24
atau mazhab, yaitu:
(
1 )Wasiliyyah ( 2 ) amrawiyyah ( 3 ) hudhayliyyah
(
4 ) nannamiyyah ( 5 ) aswariyyah ( 6 ) ma’mariyyah
(
7 ) iskafiyyah ( 8 ) ja’fariyyah ( 9 ) bisyriyyah
(10)
murdariyyah (11) hisyamiyyah (12) thumamiyyah
(13)
jahiziyyah (14) khabitiyyah (15) himariyyah
(16)
khayatiyyah (17) murisiyyah (18) syahammiyyah
(19)
ka’biyyah (20) jubba’iyyah (21) bahsyamiyyah
(22)
salihiyyah.
Dua
dari aliran tersebut, menurut al-baghdadi merupakan kelompok yang
paling ekstrim, mereka adalah khabitiyyah
dan himariyyah.
Adapun yang dua puluh (20) lainnya adalah qodariyyah murni25.
Dari
segi geografis dan kebudayaan (kultur), aliran mu’tazilah dibagi
menjadi dua, yaitu aliran mu’tazilah bashra dan aliran mu’tazilah
Baghdad. Aliran bashra lebih dahulu muncul, lebih banyak mempunyai
kepribadian sendiri dan yang pertama-tama mendirikan aliran
mu’tazilah.
Kota
bashrah lebih dahulu didirikan dari pada kota Baghdad dan lebih
dahulu mengenal perpaduan aneka ragam kebudayaan dan agama. Walaupun
kota baghdad didirikan setelah kota bashrah dan lebih akhir dalam
menerima kebudayaan, namun kota Baghdad sempat dijadikan ibu kota
pada masa pemerintahan khalifa abbasiyyah.26
Pada
aliran mu’tazilah Baghdad, pengaruh filsafat yunani lebih tampak
dibandingkan dengan faham mu’tazilah bashra. Hal itu disebabkan
karena kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat yang dilakukan di
Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khalifah abbasiyyah di
Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama islam dengan ahli-ahli
pikir (filsafat) golongan lain. Aliran bashrah lebih menekankan segi
teori dan keilmuan, sedangkan aliran Baghdad lebih menekankan pada
pelaksanaan ajaran mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan
dan kehidupan soal-soal yang telah dibahas oleh aliram bashra, yang
kemudian diperluas pembahasannya27.
Diantara
puluh (20) aliran/ mazhab tersebut tokoh yang dianggap terkenal dan
telah memberikan Kontribusi positif bagi aliran bashrah antara lain
wasil bin ‘ata, al-allaf, an-nazzham, al-jubbai. Sedangkan untuk
aliran Baghdad antara lain bisyr bin al-mu’tamir, al-khayyat,
al-qadhi abdul jabar dan az-zamachsyari. Uraian berikut ini
didasarkan atas urutan geografis dan kronologinya, yaitu:
- Wasil bin ata’
Nama
lengkapnya wasil bin ‘ata al-gazzal
(80-131 H/ 699-784 M). Ia terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah
dan pimpinan pertama yang meletakkan lima (5) prinsip ajaran
mu’tazilah dan terkenal sebab pandangannya tentang al-manzilah
bayn al-manzilataini
- al-allaf
Namanya
Abdul huzail
Muhammad bin al-huzail al-allaf atau
abu hudhayl
al-allaf (135-226
H/ 752-840 M), wafat pada tahun 231 H/ 845 M. sebutan al-allaf
diperolehnya karena
rumahnya terletak di kampung penjual makanan binatang (‘alaf=
makanan binatang). Ia berguru pada usman at-tawil, murid wasil.
Puncak kebesarannya dicapai pada masa al-ma’un, karena khalifah ini
pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan
aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh dengan
perdebatan-perdebatan dengan orang zindiq (orang yang pura-pura
islam), skeptic, majusi, zoroaster, dan menurut riwayat ada 3000
orang yang masuk islam ditangannya. ia banyak membaca buku-buku dan
banyak hafalannya terhadap syair-syair arab, ia banyak berhubungan
dengan filosod-filosof dan buku-buku filsafat dan juga Terkenal
dengan konsepnya mengenai tawallud28
An-nazam
pernah mengatakan tentang dirinya, bahwa ketika ia tinggal di kuffah,
ia mempelajari buku-buku filsafat. Setelah datang di basrah, ia
mengira bahwa dirinya lebih menguasai kata-kata filsafat yang pelik
dari pada al-allaf. Akan tetapi Setelah berhadapan dengan al-allaf,
barulah ia mengetahui bahwasannya al-allaf lebih pandai dari pada
dirinya. Sehingga an-nazam beranggapan bahwa sebab pertalian al-allaf
dengan filsafat itulah yang membuat al-allaf mampu mengatur dan
menyusun ajaran-ajaran mu’tazilah dan membuka pembahasan baru yang
belum pernah dimasuki orang sebelumnya29
- an-nazzham
Namanya
Ibrahim bin sayyar bin hani an-nazzham.
Tokoh mu’tazilah terkemuka, lancar bicara, banyak mendalami
filsafat dan banyak pula karyanya. Ketika kecil ia banyak bergaul
dengan orang-orang bukan islam,dan setelah dewasa ia berhubungan
dengan orang-orang filosof yang hidup pada masanya dan banyak
mengambil pendapat mereka.
Mula-mula
ia berguru pada abdl huzail al-‘allaf, kemudian mengadakan aliran
sendiri, terkenal dengan namanya dan meninggal dunia pada usia 36
tahun (231 H/ 845 M). banyak pendapatnya yang berbeda dengan
tokoh-tokoh mu’tazilah lainnya. An-nazzham mempunyai otak yang luar
biasa, dimana beberapa pemikirannya telah mendahului masanya.
Seperti,metode “keraguan” (method of doubt) dam empirika
(percobaan) yang menjadi dasar kebangunan baru di eropa. Ia
mengatakan “orang yang ragu-ragu lebih dekat kepadamu dari pada
orang yang engkar-enggan. Tiap-tiap keyakinan dan peralihan pasti
didahului keragu-raguan”30
- ali al-jubbai
Nama
lengkapnya abu ali
Muhammad nin ali al-jubba’i,
tokoh mu’tazilah basrah dan merupakan murid dari as-syahham dan
wafat pada tahun 267 H/ 885 M. al-jubba’i dan anaknya, hasym
al-jubba’i mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah31.
Sebutan al-jubba’I diambil dari suatu nama tempat, yaitu jubba,
chuzestan (iran), tempat kelahirannya. Terkenal sebagai penulis buku
al-intisar.
Al-jubba’I
adalah guru imam al-asy’ari, tokoh ulama aliran ahlussunah. Ia
membantah buku yang dikarang ibnu ar-rawandi yang menyerang
mu’tazilah dan juga membalas serangan imam al-asy’ari ketika
keluar dari barisan mu’tazilah
Antar
al-jubba’i dan anaknya, hasyim sering dikelirukan banyak orang,
sebab anaknya juga merupakan tokah mu’tazilah juga dengan aliran
yang dikenal dengan “bahsyamiah”. Aliran ini banyak berkembang di
Rai (iran) dan sekitarnya, karena mendapat dukungan dari shahib bin
‘abad, menteri kerajaan bani buwaihi32.
- Bisyr bin al-mu’tamir
Ia
adalah pendiri aliran mu’tazilah di Baghdad, dan wafat pada tahun
226 H/840 M). Dan tiga tokoh setelah ini yang akan dijelaskan adalah
tokoh aliran mu’tazilah Baghdad. Ia merupakan murid dari abu
hudhayl al-allaf. Jika diteliti dari pandangannya mengenai
kesusasteraan, menimbulkan dugaan bahwa bisyr bin al-mu’tamir
adalah orang yang pertama kali mengadakan ilmu balaghah33.
Ia adalah orang yang pertama-tama mengemukakan soal “tawallud”
(reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan untuk mencari batas-batas
pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya34.
Diantara
murid-muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran-penyebaran
kemu’tazilahan di Baghdad ialah abu musa al-mudar, tsumamah bin
al-asyras dan ahmad bin abi fu’ad.
- Al-khayyat
ia
adalah abu husein
al-khayyat,termasuk
tokoh mu’tazilah di baghdad dan wafat pada tahun 300 H/ 912M).
Terkenal sebagai penulis buku “al-intisar” yang dimaksudkan untuk
membela mu’tazilah dari serangan ar-wandi. Ia hidup pada masa
kemunduran aliran mu’tazilah.
- al-qadhi abdul jabbar atau abd al-jabbar
Ia
juga hidup pada masa kemunduran aliran mu’tazilah. Ia diangkat
menjadi kepala hakim (qadhi al-qudhat) oleh ibnu ‘abad. Wafat 1024
M di ray. Merupakan murid dari abu hasyim al-jubba’i, anak dari ali
al-jubba’i. diantara karangan-karangannya ialah ulasan tentang
pokok-pokok ajaran aliran mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid,
dan banyak dikutip oleh as-syarif al-murtaha35.
Buku tersebut sedang dalam penerbitan di kairo dengan nama
:al-mughni”.
- az-zamaihsyari
Namanya
jar allah abul qosyim Muhammad bin umar
kelahiran zamachsyar, sebuah dusun di negeri chawarazm (sebelah
selatan lautan qazwen), iran. Sebutan “jarullah” yang berarti
“tetangga tuhan” dipakai karena ia lama tinggal di mekah dan
bertempat di sebuah rumah dekat dengan ka’bah. Sepanjang hidupnya
ia banyak mengadakan perlawatan, dari negeri kelahirannya menuju
Baghdad, kemudian ke mekah untuk bertempat disana untuk beberapa
tahun lamanya kemudian pindah ke jurjan (persi-iran) dan disana ia
menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 467- 538H/ 1075-1144 M36
Pada
diri az-zamaihsyari terkumpul karya aliran mu’tazilah selama kurang
lebih empat (4) abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu
(gramatika) dan paramasastera (lexicologi), seperti yang dapat kita
lihat dalam tafsirnya “al-kassyaf”, dan kitab-kitab lainnya
seperti al-faiq, assasul balaghah dan al-mufassal.
Hakim
kota iskandariah37,
menyusun sebuah buku untuk menunjukkan pikiran-pikiran kemu’tazilahan
dalam al-kassyaf, dengan dibantahnya pula, kemudian memberikan
tafsiran menurut faham ahlussunah terhadap ayat-ayat yang telah
ditafsirkan menurut faham kemu’tazilahan oleh az-zamaihsyari.
Namun
bagaimanapun juga, di kalangan aliran mu’tazilah az-zamaihsyari
merupakan sosok tokoh yang sukar dicari tandingannya38.
BAB
III
AJARAN
DAN FAHAM-FAHAM MU’TAZILAH
A.
Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
Kelima
ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-ushul al-khamsah
adalah at-tauhid
(pengesaan tuhan), al-adl
(keadilan tuhan), al-waad
wa al-wa’id
(janji dan ancaman tuhan), al-manzilah
bain al-manzilatain
(posisi diantara dua posisi) dan al-amr
bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-mungkar
(menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).
- At-Tauhid
at-tauhid
(pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran
mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang
doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang
spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat
mengurangi arti kemahaeseaan-NYA. Tuhanlah satu-satunya yang esa,
yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu,
hanya dialah yang qodim. Jika ada lebih dari satu yang qodim, maka
telah menjadi ta’addud
al-qudama
(berbilangnya dzat yang tak berpermulaan)39.
Untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih),
mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan
fisik tuhan (antromorfisme
tajassum), dan
tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat
bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha
melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu
semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat
adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang
qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin ata’
mengungkapkan40
“siapa yang
mengatakan sifat yang qodim, berarti telah menduakan tuhan”41.
Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik42.
yang
disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat tuhan itu
sendiri. Abu hudzail43
berkata “tuhan
mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah tuhan itu sendiri. Tuhan
berkuasa dengan kekuasaannya, dan kekuasaan itu adalah tuhan itu
sendiri”44.
Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan tuhan adalah tuhan itu
sendiri, yaitu dzat dan esensi tuhan, bukan sifat yang menempel pada
dzatnya.
Mu’tazilah
berpendapat bahwa Al-qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an
adalah manifestasi dari kalam tuhan, Al-qur’an terdiri atas
rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang
lainnya.
Perbedaan
antara Al-jubba’i45
dengan abu hasyim46
adalah pernyataan bahwa “tuhan mengetahui dengan esensinya”47.
Menurut al-jubba’i, arti pernyataan tersebut adalah untuk
mengetahui bahwa tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk
pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut abu hasyim,
pernyataan tersebut berarti tuhan memliki keadaan mengetahui,
sungguhpun demikian, mereka sepakat bahwa tuhan tidak memilikki
sifat48.
Terlepas
dari adanya anggapan bahwa abu al-hudzail mengambil konsep nafy
ash-shifat
(peniadaan sifat Allah) dari pendapat aristoteles49.
Agaknya beralasan, bila para pendiri mazhab ini lebih berbangga
dengan sebutan ahl
al-adli wa at-tauhid
(pengikut faham keadilan dan keesaan tuhan). Ini terlihat dari upaya
keras mereka untuk mengesakan Allah dan menempatkannya benar-bemar
adil.
Doktrin
tauhid mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun
yang dapat menyamai tuhan. Begitu pula sebaliknya, tuhan tidaklah
sama dengan makhluknya. Tuhan adalah
immateri. Oleh
karena itut tidak layak baginya setiap atribut materi. Segala
mengesankan adanya kejisiman tuhan, bagi mu’tazilah tidak dapat
diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari
penyerupaan dengan yang diciptakan nya. Tegasnya, mu’tazil
antropomorfisme50.
Penolakan
terhadap faham antropomorfostik
bukan semata-mata
atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat
di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan Al-Qur’an
yang berbunyi:
Artinya:
“tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”(QS. Asy syuraa
42:11)
Memang
tidak dapat dibantah bahwa mu’tazilah sebagaimana aliran lain ,
telah terkena pengaruh filsafat yunani, namun hal itu tidak
menjadikannya sebagai pengikut buta hellenisme.
Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi
benar-benar membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan
yang kuat, pemikiran hellenistik yang telah mereka pelajari,
dijadikan senjata mematikan terhadap serangan para penentangnya,yakni
para muhadditsin
rafidah
manichscanisme, dan
berbagai aliran keagamaan yang lain di india51.
Untuk
menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme,
mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir
menggambarkan kejisiman tuhan. Mereka mamalingkan arti kata-kata
tersebut pada arti kata yang lain, sehingga hilanglah kejisiman
tuhan. Tentu saja pemindahan ini dilakukan secara semena-mena, tetapi
merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa
arab. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini, misalnya
kata-kata tangan (Q.S shad 38:75) diartikan “kekuasaan”. Pada
konteks yang lain (Q.S. al-maidah 5:64) di artikan “nikmat”. Kata
wajah ((Q.S. ar-rahman 55:27) diartikan “esensi” dan “dzat”,
sedangkan al-asyri ((Q.S. toha 20:5) diartikan “kekuasaan”.
Penolakan
mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata
kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap
antropomorfisme.
Tuhan adalah
immateri,
tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan
tidak berbentuk. Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk
dan yang memiliki ruang saja. Andaikan tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala di akherat, tentu diduniapin dia dapat dilihat oleh mata
kepala52.
Oleh karena itu,melihat (Q.S. al-qiyamah 75:22-23) di takwilkan
dengan “mengetahui”.
- Al-Adl
Ajaran
dasar mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan
maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk
menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti
adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil
menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini
sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan dikatakan adil jika
bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan
bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika
tidak menyalahi/ melanggar janjinya53.
Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya.
Ajaran
tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
- perbuatan manusia
manusia
menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri,
terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau
tidak54.
Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau
buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang
buruk.
- Berbuat baik dan terbaik
Dalam
istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah
wa al-ashlah.
Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang
terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya
karena akan membuat kesan bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya,
dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat
kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti tuhan
tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha sempurna55.
Bahkan menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, tuhan tidak
dapat berbuat jahat56.
Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan
kepengasihan tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya,
bila tuhan tidak bertindak seperti itu berarti dia tidak bijaksana,
pelit dan kasar/kejam57.
- Mengutus rasul
Mengutus
rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-alasan
berikut ini :
- Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
- Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus rasul
- Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.58
3.
Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran
ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas.
Al-wa’d wa
al-wa’id berarti
janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak
akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh
janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang
mau berbuat baik (al-muthi)
dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi).
Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau
bertobat nashuha, pasti benar adanya59.
Ini
sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik
akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang
berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini
tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu
memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang
berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada
harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan
kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka
,merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah
mengampuninya60.
4.
Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah
ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran mu’tazilah. Ajaran ini
terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa
besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang
tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat
bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan
sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun
pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab mu’tazilah) lain lagi.
Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah
bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan
sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari
majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia
membangun mazhabnya.
Pokok
ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum
tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan
mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut
“orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin
. Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik
(hipokrit)61.”
Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap
mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan
antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya
binatang sembelihannya62.
Menurut
pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan
sebagai mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut
adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan
pembenaran. Bagi pelaku dosa besar, tidak dapat dikatakan kafir
secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan dan rasulnya, dan
masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum
bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal
didalamnya. Orang fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja
siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir63.
Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan
kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”.
Tampaknya disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak
meremehkan dosa, baik besar maupun yang kecil.
5.
Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran
dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada
kemunkaran (al- amr
bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar).
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini
merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan
keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan
mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam ber ‘amar
ma’ruf nahy munkar64:
- ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah munkar
- ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
- ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
- ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan diri dan hartanya65.
al-amr
bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar
bukan monopoli Konsep mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan
dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf
adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena
Mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf
adalah apa yang diterima dan diakui Allah66.
Sedangkan al-munkar
adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima,
atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu
sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan
mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan67.
Perbedaan
mazhab mutazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini
terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut mu’tazila, jika
memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran
tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah
dilakukannya ketika menyirkan ajaran-ajarannya68
B.
Pemahaman Mu’tazilah Terhadap Pelaku Dosa Besar
Kemunculan
aliran mu’tazilah dalam teologi islam diawali oleh masalah yang
hampir sama dengan aliran khawarij dan murjia’ah, yaitu status
pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi kafir.
Perbedaannya, bila khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar sedangkan
murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar. Dan mu’tazilah
sendiri tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku
dosa besar tersebut, apakah dia tetap mu’min atau kafir. Atau
berada pada sebutan yang terkenal dalam ajaran mu’tazilah, yaitu
al-manzilan bain
manzilatain. Bagi
pelaku dosa besar menurut mu’tazilah berada pada posisi tengah
antara mu’min dan kafir. Jika pelakunya belum bertobat hingga ia
meninggal, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal
didalamnya selama-lamanya. Walaupun demikian siksaan yang diterimanya
lebih ringan dibandingkan dengan orang kafir69.
Dalam perkembangannya, beberapa tokoh mu’tazilah, seperti wasil bin
ata’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah
fasiq, yang menandakan bahwa bukan mu’min dan bukan pula kafir70
melainkan masuk kedalam kategori netral dan independen.
Mengenai
perbuatan apa saja yang dikategorikan dosa besar, aliran mu’tazilah
merumuskan secara lebih kontekstual ketimbang aliran khawarij. Yang
dimaksud dosa besar menurut mu’tazilah adalah segala perbuatan yang
ancamannya disebutkan dengan tegas dalam nas, sedangkan kecil adalah
sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas
dalam nas71.tampaknya
mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi pelaku
dosa besar maupun pelaku dosa kecil.
C.
Pemahaman Mu’tazilah Terhadap Paham Iman Dan Kufur
Seluruh
pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah
satu unsur terpenting dalam konsep iman72.
Bahkan hampir mengidentikkannya dengan iman73.
Ini mudah dipahami, karena konsep mereka tentang amal yaitu sebagai
bagian terpenting dari keimanan, memiliki keterkaitan langsung dengan
al-wa’d wa al-wa’id
(janji dan ancama) yang merupakan salah satu dari “pancasila”
mu’tazilah.
Aspek
penting lainnya tentang keimanan menurut mu’tazilah adalah apa yang
mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal).
Ma’rifah menjadi unsur yang tak kalah penting dari iman, karena
pandangan mu’tazilah yang bercorak rasional74.
Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman
berimplikasipada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang
lain (al-aman bi at-
taqlid75).
Segala Pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan segala
kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam76.
Iman menurut mu’tazilah sangatlah sarat dengan konsekuensi dan
implikasi yang cukup fatal, karena hanya para mutakallim (teolog)
yang dapat menjadi orang yang beriman, sedangkan orang awam yang
jumlahnya mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar
iman77.
Masalah
fluktuasi keimanan, yang merupakan permasalahan teologi yang
diwariskan aliran murji’ah, disinggung pula oleh mu’tazilah.
Aliran ini berpendapat bahwa manakala seseorang melaksanakan/ berbuat
amal kebaikan, maka keimanannya akan semakin bertambah. Dan
sebaliknya, jika ia mengerjakan amal kejelekan, maka keimanannya akan
semakin berkurang78.
D.
Pemahaman Mu’tazilah Terhadap Paham Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan
Manusia
Aliran
mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional,
berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang
dikatakan baik. Namun, bukan berarti tuhan tidak mampu melakukan hal
yang buruk, akan tetapi tuhan tidak melakukan perbuatan buruk dan
tidak pula berbuat zalim79.
Sebagaimana dalil Al-Qu’an yang mendukung pendapat
tersebut,berbunyi:
Artinya:
“dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya, dan merekalah
yang akan ditanyai”80.
Artinya:
“Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara
keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar”81.
Dari
penjelasan dari ayat pertama diatas, Qadi abd al-jabar mengatakan
bahwa tuhan hanya berbuat yang baik dan maha suci dari perbuatan
buruk, dan Allah tidak perlu ditanyai tentang apa yang telah
diperbuatnya, dan bagi orang yang baik dan ketika berbuat baik dan
itu nyata, maka dia tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan
perbuatan baik itu82.
Sedangkan pada ayat kedua, al-jabbar menerangkan jika tuhan melakukan
perbuatan buruk, maka kabar bahwa tuhan menciptakan semua Ini dengan
haq, tentulah tidak benar atau merupakan kabar bohong83.
Dasar
pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan
sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan
kehendak tuhan, mendorong kelompok mu’tazilah untuk berpendapat
bahwa tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia, yaitu berbuat baik
bagi manusia84.
Dari faham ini mengonsekuensikan aliran mu’tazilah memunculkan
faham kewajiban Allah sebagai berikut :
- kewajiban tidak memberikaan beban diluar manusia
- kewajiban mengirimkan rasul
- kewajiban menempati janji
E.
Pemahaman Mu’tazilah Terhadap Paham Sifat-Sifat Tuhan
Pertentangn
faham antara kaum mu’tazilah dengan kaum asy’ariyyah berkisar
antara persoalan apakah tuhan mempunyai sifat ataukah tidak. Jika
tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat
tuhan dan mestinya tidak hanya satu, melainkan banyak. Tegasnya,
kekalnya sifat membawa pada faham banyak yang kekal (ta’addud
al-qudama atau
multiplicity of
eternals) yang
akhirnya membawa pada faham syirik atau politheisme, suatu hal yang
tak diterima dalam teologi85.
lanjutnya, wasil bin ata’ menegaskan “siapa saja yang menetapkan
sifat qodim bagi tuhan, maka berarti ia telah menetapkan adanya dua
tuhan”86.
Defisi tentang tuhan menurut kaum mu’tazilah sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh asy’ari, yaitu tuhan tidak mempunyai pengetahuan,
kekuasaan, hajat dan sebagainya87.
F.
Kekuasaan Dan Kehendak Mutak Tuhan
Aliram
mu’tazilah yang berprinsip keadilan tuhan, mengatakan bahwa tuhan
itu adil dan tidak mungkin berbuat dzalim dengan memaksakan kehendak
kepada hamba-NYA kemudian mengharuskan hamba-NYA itu menanggung semua
akibat dari perbuatannya88.
Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan
perbuatannya tanpa adanya paksaan sedikitpun dari tuhan. Dan dengan
kebebasan itulah manusia dapat mempertanggung jawabkan atas segala
perbuatannya.
kaum
mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak
bersifat mutlak lagi. Seperti yang terkandung dalam uraian nadir,
kekuasaan mutlak
tuhan telah
dibatasi
oleh kebebasan yang menurut paham mu’tazilah telah diberikan
kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya89.
Seterusnya, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan
tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendaknya, tuhan telah
terikat oleh norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat tuhan
bersifat tidak adil bahkan berbuat dzalim. Sifat serupa ini tidak
dapat diberikan kepada tuhan90.
Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan dibatasi lagi oleh
kewajiban-kewajiban tuhan terhadap manusia yang menurut paham
mu’tazilah memang ada91.
Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh
natur
atau hukum alam (sunah Allah) yang tidak mengalami perubahann.
Al-qur’an memang mengatakan
ولن
تجد لسنة الله تبد يلا92
Bahwa
kaum mu’tazilah menganut paham bahwa tiap-tiap benda mempunya natur
atau hukum alam sendiri.seperti
yang ditulisan
oleh
pemuka-pemuka
mu’tazilah lainnya, seperti:
Al-jahiz,
ia
mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri
yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing93.
Lebih tegasnya al-khayyat
menerangkan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu dan tak
menghasilkan sesuatu kecuali efek dari benda itu sendiri. seperti,
api tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali panas, dan es tidak
menghasilkan apa-apa kecuali dingin94.
menurut
mu’ammar,
Efek itu mmang diciptakan oleh tuhan tapi berjannya efek tersebut
bukan karena tuhan, melainkan secara alami dan tuhan tidak ada campur
tangan dalam hal ini95.
Sebagai
penjelasan selanjutnya tentang
paham sunnah allah,
kaum mu’tazilah
mempercayai
pada hukum alam atau sunnah allah dan menganut determinsme. Dan
determinisme ini, mereka artikan sebagai kata nader96,yang
sama
dengan keadaan tuhan yang
juga
tidak berubah-berubah97.
Menurut
al-manar,
tuhan sendiri tidak bersikap absolut seperti halnya dengan raja
absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata.
Keadaan tuhan dalam hal ini lebih dekat menyerupai keadaan raja
konstitional yang kekuasaan dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi/
batasan-batasan. Abd
al-jabar
menjelaskan bahwa keadilan tuhan mengandung arti tuhan tidak berbuat
baik dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan
kewajiban-kewajibanNYA kapada manusia, dan segala perbuatannya adalah
baik dan juga mempunyai kewaiban-kewajiban yang ditentukan-NYA
sendiri bagi diri-NYA98.
Ayat-ayat
Al-qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat
mu’tazilah adalah QS.al-anbya’ (21):47, QS. Yasin (36):54, QS.
Fusshilat (41):46, QS. An-nisa’ (4):40 dan QS. Al-kahfi(18):49.
Dan
konsep menurut mu’tazilah ini merupakan titik tolak dalam
pemikirannya tentang kehendak mutlak tuhan. Yaitu, keadilan tuhan
terletak pada kaharusan dan kewajiban tuhan dalam berbuat baik pada
makhluk-NYA dan memberi kebebasan kepada manusia, sedangkan kehendak
mutlak tuhan dibatasi oleh keadilan tuhan itu sendiri.
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
meteri yang disajikan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa aliran
mu’tazilah itu muncul akibat dari ketegangan politk yang terjadi
pada masa itu yang menjadikan sekelompok majelis keluar dari barisan
majelis gurunya dan memunculkan pemikiran tersendiri sesuai akal
pikiran, naluri dan pemahaman mereka serta menjadikannya sebuah
pedoman atau dasar dalam mereka mendirikan aliran baru dalam dunia
teologi islam dan mengembangkanya. Dalam aliran mu’tazilah ada
beberapa pandangan atau konsep yang sama dengan aliran-aliran
sebelumnya dalam beberapa konsep pemahaman aliran dalam tubuh mereka,
namun ada pula yang berseberangan dengan aliran lain.
Adapun
perbedaan ataupun perpecahan yang terjadi diantara kaum islam pada
masa itu merupakan suatu jalan keluar alternatif menurut pandangan
mereka dalam menyikapi permasalahan yang ada pada masa itu.
Namun
semua perbedaan dalam masing-masing aliran yang ada didalam teologi
islam pada haikatnya mempunyai tujuan dan misi yang sama, yaitu
mencapai tingkatan mukmin yang sebenar-benarnya dan sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
M.A,
A.Hanafi. Pengantar
Theologi Islam.
Jakarta : Pt. Al Husna Zikra.1995
Nasution,
Harun. Teologi Islam
: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press. 2009
Abu
Zahrah, Prof.Dr. Imam Muhammad. Aliran
Politik Dan Aqidah Dalam Islam.
Jakarta: Logos Publishing House. 1996
Bashori,Drs.
Ilmu
Tauhid.Malang.2001
Rozak,
Dr.Abdul Dkk. Ilmu
Kalam. Bandung :
Pustaka Setia
1 h
Samih ‘Atif Al-Zayn. “Al-Islam Wa Idiyulujiyah Al-Insan”.
Beirut, lubnan: Dar al-kitab al-lubnani. cet.III, 1982,hal.66
2
Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyyah. “Al-Mu’jam Al-Wajiz”.Misr
al-‘Arabiyyah: Jumhuriyyah. Cet.1. 1980. Hal.25
3
A. Hanafi, MA,op.cit. hal 46
4
Ibid. hal 64
5
Tarikhul Falsafah Al-Arabiyyah I: 142-143
6
Luwis Ma’luf, Al Munjid Fi Al-Lughoh. Darul kitab al-arobi.
Cet X. Beirut. Hal 207
7
Nurcholish Madjid. Islam Doktrin Dan Peradaban,Jakarta:
yayasan wakaf paradina.1995. cet II. Hal 17
8
Muhammad Bin Bd Al-Karim Asy-Syahrastani. Al Miwal Wa An-Nihal.
Kairo. 1951. Hal 48
9
Abu Mansyur Al-Baghdadi. Al-Farq Bain Al-Firq. Kairo:
maktabah subeih. Hal 20-21
10
Ahmad Mahmud Subhi. Fi’ilm Al-Kalam. Kairo. 1969. Hal. 75
11
Ibid. hal 76
12
Ibid. hal 64
13
Ahmad Amin. Fajr Al-Islam. Kairo: an-nahdah. 1965. Hal. 290
14
seorang orientalis itali
15
Abd Ar-Rahman Badawi. At-Turas Al-Yunani Fi Al-Hadarah
Al-Islamiyyah. Kairo. 1965. Hal 185
16
Al-Nasysyar. Nisyi’ah Al-Fikr Al-Fasafi Fi Al-Islam. Kairo.
1966. Jilid I. hal 429-430
17
Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI press. 1986
18
Ahmad Bin Al-Murtadho. “Al-Munayatulwal Amal”
19
Nasution. Op. cit. hal 42
20
Ibnul qayyim
21
Ibn manzur. Lisan. Juz XI. Hal 440
22
Al-Syahrastani. Al-Milal. Hal. 22; al-jurjani. At-ta’rifat.
Hal. 282
23
Al-Baghdadi. Al-Farq. Hal 131; al-syahrastani, ibid hal. 22
24
Al-baghdadi
25
Al-baghdadi, ibid. hal 131
26
A.Hanafi M.A. Pengantar Teologi Islam.
Jakarta: PT.al-husna zikra.1995. hal.70
27
Ahmad yamin
28
Secara umum, tawallud adalah perbuatan yang dihasilkan oleh
pelakunya melalui perantara.
29
Dhuhal islam III: 80-99
30
Ibid; 112
31
Al-mu’tazilah. 149
32
Dhuhrul Islam III: 141
33
Al-Jahiz. Al-Bayan Wat-Tabyin
34
A.Hanafi M.A. Pengantar Teologi Islam.
Jakarta: PT.al-husna zikra.1995. hal.73
35
Ibid IV : 44
36
Ibid. hal 70
37
Ibnu munir
38
Dhuhrul Islam III: 59 dan Tarikh Adabil Lughah
Al-Arabiyyah IV: 48
39
Abd Al-Jabbar Bin Ahmad. Isyarah Al-Ushul Al-Khamsah. Kairo:
maktab wahbah. 1965. Hal. 196
40
Asy-Syahrastani
41
Abi Al-Fath Muhammad Adb Al-Karim Asy-Syahrastani. Al-Milal Wa
An- Nahl. Bairut: dar al-fikr. Hal 46
42
Adbul Rozak; Rosihun Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: pustaka
setia. hal. 81
43
Abdul huzail al-allaf (135-226 H) adalah maula abd. Al-qois. Seorang
tokoh mu’tazilsah aliran basrah.
44
Asy-Syahrastani
45
Nama aslinya abu muhamad bin abd al-wahhab al-jubba’I, wafat 195 H
46
Abu hasyim abd as-salam adalah anak al-jubba’I, wafat 321 H.
keduanya adalah tokoh mu'tazilah aliran basrah
47
Harun nasution
48
Nasution. Op.cit. hal.135-136
49
Imam abi al-hasan al-asy’ari. Maqalat islamiyyin wa ikhtilaf
al-mushallin. Al- Baghdad al-misriyyah, kairo: maktabah. 1969.
Hal. I/178
50
Al-Jabbar, op. cit. hlm. 217
51
W. wontgomerry watt. Early islam. Edindburgh university
prees. Edindburgh. 1990. Hal. 86; M. T.h. houtsman, Et. Al. first
encyclopedia of islam. Jilid VI. E.J.Brill, leiden. Hal 791
52
Al-jabbar. Op. cit. hal 227
54
Mahmud Mazru’ah. Tarikh Al-Faraq Al-Islamiyah. Dar
al-manar. Kairo. 1991 hal. 122
55
Mazru’ah. Op. cit. hal 127
56
Syahrastani. Op.cit. hal 54
57
Mazru’ah. Op.cit. hal 128
58
Ibid. hal 130-131
59
Ibid. hal 138-139
60
Houstsma. Op. cit. hal 792
61
Tosihiko Izutsu. Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam.
Terj.agus fahri husein dkk. Tiara wacana.cet I. yogykarta. 1994. Hal
53
62
Ibid.hal. 53
63
Syahrastani. Op. cit. hal. 48
64
Abd al-jabbar, tokoh mu’tazilah
65
Al-jabbar. Op. cit. hal. 142-143
66
Izutsu. Op. cit. hal. 257-258
67
Ibid. hal. 259-260
68
Nasution. Op.cit. hal 56
69
Asy-syahrastani. Op.cit. hal 26
70
ibid
71
Al-asy’ari. Op. cit. hal 270-271
72
Wensinck. Op. cit. hal 135
73
Definisi iman menurut wasil bin ata’: iman adalah suatu ungkapan
dari budi pekerti yang baik
Menurut
abu al-huzail, hisyam al-fuwati, abbad bin sulaeman, abu bakar
al-asama dan al-jubba’i: iman
adalah
seluruh perbuatan taat, baik yang merupakan kewajiban maupun anjuran
dari perinta Allah swt.
Menurut
an-nazzam : iman adalah menghindari dosa-dosa besar. Lihat
asy-syahrastani, ibid, al-asy’ari.
Op.
cit. hal 266-270
74
ibid
75
ibid
76
Harun nasution
77
Toshihiko izutsu, seorang pakar teologi islam dari jepang
78
Ibn Hazm. Al-Fizal Al-Ahwa Wa An-Nihal. Juz III. Hal 188
79
M. Yunan Yusuf. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam. Perkasa
Jakarta. 1990. Hal 89
80
Q.S al-anbiya’ (21):23
81
Q.S ar-rum (30):8
82
Yusuf. Op.cit.hal 90
83
ibid
84
Dalam istilah arab berbuat baik bahkan terbaik untuk manusia disebut
ash-shalah wa al-aslah. Term ini dalam teologi islam dikenal dengan
term mu’tazilah dan merupaka keyakinan yang terpenting dalam
aliran mu’tazilah
85
Harun Nasution. Teologi Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan.UI press. Jakarta.986. hal 135
86
Asy-Syahrastani. Al-Miwal Wa An-Nihal. Dar al-fikr. Beirut.
Hal 46
87
Al-Asy’ari. Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Aliran Teologi Islam,
buku 2 terj.rosihon anwardan taufiq rohman.
Pustaka
setia. bandung. 2000
88
Asy-Syahrastani. Al-minal wa an- nihal. Dar al-fikr. Hal 47
89
LE Systeme Philosophique Des Mu’tazilah, (selanjutnya disebut
LE systeme)
90
Infra, 117
91
Infra 122
92
Al-ahzab (33):62. “tidak akan engkau jumpai perubahan pada sunnah
Allah”
93
Al-milal, I/75
94
Le systeme, 145
95
Maqalat, II/90
96
suatu keadaan tidak berubah-berubah
97
Le systeme, 193
98
yusuf, op. cit. hal 85
Label:
mu'tazilah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya. makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2011 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Sebagai mana yang telah di sebutkan dalam ...
-
*Hak cipta 2012 oleh Eko Andri Wijaya makalah ini bebas untuk dibagikan kepada siapapun secara gratis, namun harus dijadikan sebagai sumber ...
Blog Archive
-
2012
(23)
- Juni(6)
-
April(17)
- penyebutan manusia dalam Al-Qur'an
- landasan hukum pendidikan
- makalah teologi islam; aliran mu'tazilah
- makalah teologi islam; kehendak mutlak tuhan
- makalah Filosofi Tarbiyah Ulul Albab; logo uin malang
- makalah ilmu alamiah dasar (iad); besi
- bahasa indonesia; surat lamaran pekerjaan
- bahasa indonesia; wacana
- TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH; bahasa indonesia
- sistematika penulisan karya ilmiah
- proposal
- makalah bahasa indonesia; berbahasa lisan
- makalah bahasa indonesia; siroh nabi sulaiman dala...
- makalah teori belajar; teori kognitivistik
- makalah strategi pembelajaran; tahapan-tahapan dal...
- makalah fiqih ; memahami pemecahan masalah-masalah...
- makalah akidah akhlaq ; zuhud dan tawakal
- 2011 (3)
0 komentar:
Posting Komentar